JNEWS – Suku Jawa dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia yang masih memegang erat tradisi. Meski demikian, banyak kelengkapan atau urutan tata cara adat yang dikurangi atau dihilangkan agar lebih praktis sesuai zaman dan untuk menghemat biaya. Tradisi atau upacara adat yang lengkap masih dilakukan oleh keluarga-keluarga dari ekonomi menengah ke atas atau di desa-desa.
Dikutip dari laman Kraton Jogja, secara garis besar upacara adat Jawa didasarkan daur hidup manusia, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Masing-masing fase tersebut masih dibagi lagi menjadi beberapa tradisi. Misalnya untuk kelahiran ada tradisi tiap bulan berupa ngabor-ngabori (bulan pertama), ngloroni (bulan kedua), neloni (bulan ketiga), hingga mitoni (bulan ketujuh) dan sebagainya. Namun sekarang, apalagi di keluarga biasa, tidak semuanya dilakukan.
Tradisi Suku Jawa yang Masih Dilakukan
Tradisi atau upacara adat Jawa makin lama makin simpel karena berbagai penyebab. Salah satunya tentang kesibukan dan padatnya jadwal kegiatan sehari-hari, sehingga tidak memungkinkan untuk merencanakan acara yang terlalu besar atau panjang.
Berikut adalah beberapa tradisi atau upacara adat suku Jawa yang masih dilakukan hingga sekarang.
1. Mitoni
Perempuan zaman sekarang banyak yang berkarier sehingga upacara adat tiap bulan ketika hamil akan terasa melelahkan. Namun, khusus untuk mitoni, banyak perempuan atau keluarganya yang merasa penting untuk menyelenggarakan ucapara adat tersebut. Pertimbangannya adalah posisi kandungan sudah kuat sekaligus minta doa restu pada orang-orang terdekat mengingat sudah mendekati HPL (Hari Perkiraan Lahir).
Upacara mitoni meliputi sungkeman, siraman, pecah telur, memutus lawe, brojolan, memecah kelapa gading, ganti busana, jualan rujak, dan selamatan.
Baca juga: 9 Ragam Baju Adat Jawa yang Harus Diketahui
2. Sepasaran dan Puputan
Sepasaran adalah memperingati lima hari kelahiran. Dalam penanggalan Jawa, dikenal siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran. Bagi yang muslim, acara ini sering digabungkan dengan akikah dan pengumuman nama si bayi. Tradisi ini diisi dengan pembacaan doa-doa dan gunting rambut. Jamuan yang dihidangkan khas akikah, yaitu menu dari kambing akikah.
Sedangkan puputan adalah lepasnya tali pusar dari perut bayi. Umumnya puputan diperingati dengan lebih sederhana, yaitu membagikan bubur merah putih kepada kerabat atau tetangga.
3. Tedhak Siten
Tedhak siten dilakukan ketika bayi berusia 7 bulan dalam penanggalan Jawa atau 8 bulan pada penanggalan Masehi. Tedak siten adalah memperingati pertama kali bayi menginjak tanah. Pasangan muda sudah jarang melakukan ini, tetapi biasanya para sesepuh (kakek dan nenek) antusias membantu penyelenggaraannya.
Tedhak siten terdiri dari membersihkan kaki bayi, berjalan melewati 7 jadah, menuruni tangga yang terbuat dari tebu wulung, kurungan, memandikan bayi, dan memberikan udhik-udhik.
4. Supitan
Supitan adalan upacara khitanan pada anak laki-laki. Zaman dahulu khitanan dilakukan di bong supit. Sekarang khitanan dilakukan oleh dokter. Isi acaranya sudah menyatu dengan agama Islam, yaitu berupa tasyakuran.
Sebenarnya pada perempuan juga ada tradisi tetesan tapi sudah jarang dilakukan oleh masyarakat biasa. Tetesan masih dilakukan oleh keluarga kraton.
5. Lamaran
Lamaran adalah acara meminang seorang anak perempuan dari orang tuanya. Dalam lamaran, kedua keluarga diwakili salah satu orang yang ditunjuk sebagai juru bicara. Biasanya, keluarga laki-laki akan membawa buah tangan sebagai simbol kesungguhan. Jika lamaran diterima, maka wakil keluarga tersebut akan membicarakan tanggal pernikahan. Dalam adat Suku Jawa tidak ada pertunangan.
6. Midodareni
Midodareni adalah acara sehari sebelum upacara pernikahan. Jika prosesinya lengkap, sebelum midodareni akan diawali pemasangan bleketepe, pengajian, dulang pungkasan, siraman dan dodol dawet.
Midodareni ini digunakan kedua belah pihak untuk memeriksa kesiapan lahir dan batin kedua pengantin, sekaligus memperkenalkan keluarga besar yang belum ikut hadir dalam acara lamaran. Biasanya pengombyong (anggota rombongan) acara lamaran tidak sebanyak pengombyong midodareni dalam resepsi pernikahan.
7. Daup
Pernikahan merupakan upacara adat terbesar dalam siklus kehidupan suku Jawa. Umumnya rangkaian pernikahan terdiri dari ijab kabul dan resepsi. Acara resepsi dapat dilaksanakan segera setelah ijab, ada pula yang dilaksanakan di hari lain.
Lengkap atau tidaknya prosesi tergantung bujet yang tersedia. Umumnya prosesi penikahan suku Jawa terdiri dari memberikan sanggan (seserahan), panggih, lempar-lemparan sirih, ngidak endog (pengantin laki-laki menginjak telur), pengantin perempuan membasuh kaki pengantin laki-laki, kacar kucur, dhahar walimah (pengantin saling menyuapi makanan), dan sungkeman kepada orang tua.
Bentuk resepsi juga bermacam-macam, ada yang berupa pesta berdiri, prasmanan atau piring terbang (dihidangkan per piring oleh peladen). Di beberapa daerah di Jawa, peladen dan rewang (yang membantu memasak) merupakan tradisi tersendiri untuk saling membantu tetangga.
8. Ngeslupi
Setelah berumah tangga, banyak pasangan pengantin muda memutuskan untuk tinggal di rumah yang terpisah dari orangtua. Ada yang kontrak, ada pula yang sudah menyiapkan rumah milik sendiri.
Apa pun status kepemilikannya, setiap memasuki rumah lain untuk tinggal, keluarga dari suku Jawa akan melakukan tradisi ngeslupi, yaitu berdoa bersama agar selama tinggal di rumah tersebut dijauhkan dari gangguan dan diberi banyak rezeki yang berkah.
9. Ngrukti Laya
Siklus terakhir dalam suku Jawa adalah kematian. Tradisi memandikan hingga menguburkan jenazah dalam suku Jawa disebut ngrukti laya. Petugasnya disebut pangrukti laya.
Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam, ada tradisi brobosan, yaitu suami atau istri serta anak-cucu jenazah berjalan di bawah keranda yang diangkat sebanyak tiga kali.
Dalam rangkaian pemakaman ini juga ada tradisi bedhah bumi. Namun sekarang hanya dilakukan oleh petugas penggali kubur, sementara keluarga memusatkan perhatian pada persiapan di rumah agar jenazah bisa segera diberangkatkan ke makam.
10. Selametan
Menurut adat suku Jawa, keluarga yang ditinggalkan karena kematian memiliki tradisi untuk menyelenggarakan doa bersama atau yasinan, yaitu 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendhak pisan (satu tahun), pendhak pindo (dua tahun), dan nyewu (1000 hari) setelah hari kematian.
Biasanya pada peringatan 1000 hari, ada upacara ngijing (memasang batu nisan yang bagus), menyembelih kambing, dan melepaskan burung merpati.
Baca juga: 8 Tradisi dan Upacara Adat Bali: Warisan Budaya yang Terjaga
Selain tradisi atau upacara yang mengikuti siklus kehidupan manusia seperti di atas, masih banyak upacara lain tetap jarang dilakukan oleh masyarakat umum atau rutin dilakukan tapi hanya oleh komunitas tertentu. Contohnya, ruwatan, bersih deso, nyadran, dan sebagainya. Agar tidak hanya dianggap sebagai acara rutin, penting untuk memahami nilai-nilai filosofi yang terkandung di tiap acara adat tersebut.