JNEWS – Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia yang ditempati oleh 151,59 juta penduduk atau 56,10% dari penduduk Indonesia. Porsi besar ini tidak lepas dari banyaknya suku Jawa yang mendiami pulau ini.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan suku bangsa memiliki 1.340 suku yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Menurut data dari Badan Pusat Statistika (BPS), pada tahun 2010 suku Jawa menjadi suku terbesar dengan populasi mencapai 95.217.022 jiwa atau 40,22% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sebagai suku dengan jumlah terbesar, adat dan budaya suku Jawa telah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Sebut saja tradisi seperti wetonan, ruwatan, Syawalan, popokan yang masih lestari hingga saat ini. Tak hanya itu saja, kesenian seperti wayang kulit, gamelan, dan tari tradisional pun masih terus hidup di tengah gempuran modernisasi serta budaya bangsa luar yang masuk ke Indonesia.
Kesenian dari suku Jawa masih bisa ditemui di beragam event seni budaya, festival tingkat nasional hingga mancanegara. Untuk lebih mengenal dan mempelajari seni budaya bangsa ini, berikut ulasan kesenian dari suku terbesar di Indonesia.
Mengenal Kesenian Suku Jawa yang Kaya Akan Nilai Budaya dan Filosofi Kehidupan
1. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah kesenian tradisional suku Jawa yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat. Tak sekadar pertunjukan saja, awal mula kesenian ini sebagai bentuk media perenungan menuju roh spiritual para dewa.
Dari catatan sejarah, wayang kulit tertulis di dalam Prasasti Kuti bertarikh 840 M dari Joho, Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam prasasti ini menyebut kata haringgit atau dalang.
Adapun istilah wayang berasal dari kata “ma hyang” yang berarti menuju spiritualitas Sang Kuasa. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa wayang berasal dari teknik pertunjukan yang mengandalkan bayangan di layar.
Di zaman awal kemunculan wayang ini, bahan untuk membuatnya dari daun lontar. Seiring perkembangan zaman, bahan pembuatan wayang pun beralih ke kulit hewan ternak.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang, diiringi musik gamelan yang dimainkan oleh sekelompok nayaga (pemain gamelan) dan tembang dinyanyikan oleh sinden. Tiap bagian dalam pertunjukkan wayang kulit memiliki simbol dan makna filosofis yang kuat.
Dari segi isi, cerita yang diangkat dalam pewayangan kerap mengajarkan budi pekerti luhur, saling menghormati, saling mencintai dan terkadang diselipkan kritik sosial serta peran lucu lewat adegan goro-goro.
Pada masa kesultanan Islam, wayang kulit yang dulunya hanya ada di lingkaran istana, sudah bisa dinikmati oleh masyarakat akar rumput. Hal tersebut tidak lepas dari pendakwah Islam yang menggunakan wayang sebagai media menyebarkan agama Islam. Salah satu Sunan yang dikenal dengan dakwah lewat wayang dan seorang dalang andal yaitu Sunan Kalijaga.
Di masa tersebut, lakon pertunjukan wayang kulit masih mengambil kisah Mahabarata. Tapi, pendakwah Islam memasukkan istilah dan tokoh baru. Tokoh terkenal yang muncul adalah Punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng.
Walaupun wayang kulit terbuka dengan ‘sentuhan baru’, tapi di daerah Surakarta dan Yogyakarta masih mempertahankan pakem. Para dalang di dua daerah ini membuat sejumlah ketentuan terkait pementasan wayang kulit. Mulai dari lakon, bentuk wayang, tokoh hingga teknis lainnya. Pakem yang dibuat merujuk pada pementasan wayang kulit di masa Mataram Kuna.
Wayang kulit masih lestari hingga saat ini. Bahkan UNESCO di tahun 2008 telah menetapkan wayang kulit sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia. Mau menyaksikan pementasan wayang pun bisa dilihat di berbagai festival budaya. Kalau tertarik dengan sejarah serta perkembangan wayang, bisa mengunjungi Museum Wayang yang berada di beberapa daerah seperti Jakarta, Banyumas, Wonogiri, Mojokerto, Purwakarta.
Baca juga: Menyelami Warisan Budaya Indonesia di Museum Wayang
2. Gamelan Jawa
Gamelan merupakan alat musik ansambel atau perpaduan dari beberapa alat musik seperti gendang, gong, dan gambang. Apabila dimainkan akan menghasilkan alunan musik yang indah.
Kata gamelan berasal dari bahasa Jawa yakni ‘gamel’ yang berarti memukul atau menabuh. Namun, merujuk juga pada jenis palu yang digunakan untuk bisa memukul instrumen. Adapun akhiran “an”, merujuk pada kata benda.
Alat musik sejenis gamelan memang mudah ditemui di berbagai daerah misalnya Lombok, Bali, Madura. Kendati demikian istilah gamelan Jawa lebih merujuk pada gamelan suku Jawa di Jawa Tengah.
Dikutip dari Direktorat Sekolan Menengah Pertama Kemendikbud, alat musik ini diduga sudah ada di pulau Jawa sejak tahun 404 M. Hal ini bisa dilihat dari penggambaran masa lalu di relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Awal mula munculnya gamelan dari budaya Hindu-Buddha yang mendominasi nusantara di masa lampau. Adapun instrumen serta bentuknya dikembangkan di zaman Kerajaan Majapahit. Bentuk tersebut tidak mengalami perubahan lagi hingga saat ini.
Di mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru Eka Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa. Istana dewa ada di Medang Kamulan (Gunung Lawu). Awalnya, Sang Hyang Guru menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Lalu gong menjadi dua lalu disusul set gamelan.
Dari waktu ke waktu, gamelan masih terus digunakan untuk berbagai kegiatan. Gamelan Jawa umumnya dipakai untuk mengiringi pementasan wayang kulit, seni tari dan beragam pertunjukan dengan alunan lembut.
Tak hanya itu saja, gamelan juga berfungsi sebagai sarana pendidikan, menyambut tamu penting, membangun suasana religius hingga menjadi sarana dakwah.
Pada tahun 2021, UNESCO menetapkan gamelan sebagai Warisan Budaya Takbenda.
3. Tari Tradisional
Tari tradisional Jawa atau biasa disebut tari Jawa adalah bentuk tari dan seni suku Jawa yang tercipta serta dipengaruhi oleh budaya Jawa. Gerakan dalam tarian ini teratur, halus dan begitu tenang. Penari tari Jawa akan menampilkan kemahiran mereka dalam gerakan yang halus dalam keheningan.
Selain menjadi seni gerak tubuh, tari tradisional ini juga perwujudan dari pemahaman akan nilai budaya. Budaya Jawa akan memproses sebuah pemahaman oleh rasa dan olah pikir, tetapi tetap mengutamakan sisi kesantunan serta kelembutan. Adapun proses penciptaan tari tradisional dari Jawa ini mengacu pada konsep wirasa, wirama, wiraga. Konsep ini merupakan keseimbangan serta harmoni antara gerak, rasa dan irama.
Umumnya gerakan dari tari tradisional Jawa lemah gemulai. Makna dari gerakan gemulai tersebut mengajarkan seseorang untuk bisa lebih bertutur lembut, sabar, dan fokus.
Tari tradisional Jawa ini kental berhubungan dengan budaya keraton Jawa yang menunjukkan keanggunan serta halus. Salah satu contohnya Tari Bedhaya dan Srimpi. Namun, lebih luas lagi tari Jawa juga mencakup tarian dari orang awam atau penduduk desa seperti Reog, Kuda Lumping, Tari Tayu, dan Ronggeng. Tarian dari masing-masing provinsi memiliki ciri khas baik dari segi gerakan, pakaian dan pola tari.
Baca juga: Wisata Budaya di Jawa: 5 Destinasi untuk Menyelami Kebudayaan Suku Jawa
Ketiga kesenian suku Jawa di atas sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan. Semuanya hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Terlebih setiap seni tersebut memiliki makna filosofis yang mendalam tentang kehidupan.