DI KOTA besar seperti Jakarta, jalan raya kerap jadi ajang “adu mekanik” — meminjam istilah penggemar game, tapi maknanya sudah dibelokkan ke arah negatif. Semacam perseteruan dan pertarungan untuk membuktikan siapa yang terkuat, siapa yang paling berani menyerobot, adu klakson sampai adu keras-kerasan teriakan, cacian, makian, hinaan, bahkan sampai adu fisik segala. Semua merasa benar, atau setidaknya tidak boleh terlihat salah dan kalah, karena berisiko dituntut ganti rugi, dirundung ramai-ramai, hingga dilaporkan ke polisi.
Amarah pun dilangitkan dengan beragam bentuk. Suara digeletarkan seolah hendak mengalahkan lengking petir dan gemuruh guntur. Amok dibumikan dengan merusak kendaraan orang lain atau bahkan dengan ringannya melayangkan tangan dan bogem ke tubuh orang lain. Tak peduli orang itu lemah, tua renta atau masih balita, yang belum stabil mengayuh sepeda mininya, dan karenanya tak sengaja menyenggol Sang Tuan dan Sang Puan yang sedang berjalan, berolahraga pagi di tepian jalan.
Sejatinya, itu bukan cuma terjadi di jalan raya ibukota. Lihat saja video hasil rekaman tersembunyi atau terang-terangan, yang tersebar di media sosial, entah itu twitter, instagram atau facebook. Bagaimana orang-orang “adu mekanik” di jalanan kampung, di gang sempit, di ruang pelayanan publik, di rumah makan, di warung kopi, antartetangga di perumahan karena urusan parkir kendaraan di jalanan sempit dan lain sebagainya.
Hal itu sebenarnya kurang tepat juga untuk disebut “adu mekanik”, karena yang terjadi bukan pertarungan, melainkan seseorang atau sekelompok orang yang melampiaskan amarahnya kepada orang lain atau kelompok lain yang lebih lemah, lebih kecil dan lebih tak punya kuasa dibanding dirinya. Hanya karena menyenggol meja catur, seorang balita pun dihajar oleh seorang dewasa yang bergelar sarjana, misalnya. Relasi kuasa dipertontonkan di mana-mana, meski mulut-mulut mereka bisa bertutur manis tentang kesetaraan, keadilan, kasih dan sayang.
Kolom-kolom komentar di media sosial pun sama saja, sebagaimana juga yang terjadi di acara bincang-bincang layar kaca. Semua nama pengisi kebun binatang disebutkan untuk menyerang liyan, sebagaimana nada suara menggelegar disertai tarikan napas memburu seperti hendak menerkam liyan, yang dipertontonkan narasumber di layar kaca.
***
BANYAK alasan yang jadi penyebab kemarahan tersulut. Merasa diremehkan, diperlakukan tidak adil dan setara, disakiti, terancam, diserang, gagal mencapai tujuan, frustrasi, tidak berdaya, atau juga karena putus asa.
Selain itu, ada sejumlah faktor fisik dan mental yang menjadi penyebab orang mudah marah. Kurang tidur yang menyebabkan emosi jadi susah dikelola dan dikendalikan, gangguan kecemasan dan masalah kesehatan mental, adalah beberapa di antaranya.
Jadi, kira-kira begini sederhananya, kalau mau menjadi narasumber sebuah acara bincang-bincang dan sudah jelas temanya “panas”, sebaiknya tidur lebih awal dari biasanya. Jangan sampai kurang tidur! Atau, setidaknya, marah boleh dan wajar apalagi terhadap kesemena-menaan, kejahatan dan ketidakadilan, tapi tekankan sedari dini untuk memelihara dan merawat jenis marah “Level 1”: diam, menarik diri, atau mengabaikan biang kemarahan.
Pertahankan prinsipmu, yang kepala dan hatimu yakini kebenarannya dengan didukung oleh data dan fakta yang kuat serta akurat. Baca berulang-ulang hingga diyakini betul, sebelum disampaikan. Setelah itu, paparkan setenang mungkin, kelola intonasi suaramu. Percayalah, “bisikan” itu lebih cepat sampai ke hati, tinimbang teriakan membabi-buta. Karena bisikan dilakukan oleh dua orang yang “jaraknya berdekatan”, dan mudah merasuk sampai ke hati. Sementara teriakan dilakukan oleh dua orang yang “jaraknya berjauhan”, dan karenanya harus saling teriak untuk bisa terdengar. Itu pun sangat mudah terdistraksi oleh gabungan gaung dan gangguan emosional kedua pihak.
Marah, tetapi bisa mengelolanya, juga bisa menjauhkan diri dari beragam penyakit yang ditimbulkan oleh “hobi” marah yang meledak-ledak tak terkendali. Menurut penelitian, marah meningkatkan risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, tukak lambung, hingga stroke.
Ini sejalan dengan apa yang pernah diingatkan seorang sahabat. “Jangan marah-marah melulu, Man. Kendalikan dengan baik. Perjuangan menegakkan keadilan masih panjang, kami butuh kamu panjang umur. Jangan cepat mati, hanya karena memanjakan kemarahanmu.”
Selain itu, katanya, ketika kamu menampilkan ekspresi negatif — marah, cemberut, dan kesal — 43 ototmu harus bekerja keras untuk menunjukkan ekspresi tersebut. Sebaliknya, saat kamu menunjukkan ekspresi positif, hanya 14 otot yang dibutuhkan untuk membentuk lengkungan senyum di bibirmu. Ia sejatinya mau bilang, “Aku lebih senang melihatmu awet muda daripada cepat tua, berkerut peot karena suka marah-marah.”
Bahasa gaulnya, kalau menghadapi Si Tukang Amuk, “Senyumin aja.” Ini sebenarnya sudah banyak dipraktikkan oleh manusia-manusia hebat di layar kaca. Ekspresi senyum mereka kerap mewarnai layar kaca, kala narasumber tukang ngotot, hobi amuk, maki, hina dan marah-marah sedang beraksi, berisik tanpa berisi.
Aku jadi teringat sosok mulia yang pernah mengingatkan:
Jangan marah
Jangan marah
Jangan marah
Berkata yang baik atau diam.