Kurangnya gizi pada anak rentan mengakibatkan stunting. Sayangnya, banyak masyarakat umum masih awam, bahkan kurang menyadari ancamannya yang bisa menyerang anak dan berpengaruh pada pertumbuhannya.
Dari laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), stunting sendiri diartikan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan minim asupan gizi dalam jangka waktu cukup lama. Efeknya, mengakibatkan ganguan tumbuh kembang anak, yang berpengaruh pada tinggi badan anak lebih pendek dari standarnya.
Tak hanya itu, dampak dari infeksi berulang dan kurangnya stimulasi psikososial pada seribu hari pertama juga meningkatkan risiko stunting pada anak. Anak yang terkena, rupanya tak hanya memiliki ciri tubuh pendek saja, tapi juga kemampuan berpikir yang cenderung di bawah rata-rata anak lainnya.
BACA JUGA : 3 Cara Ajak Anak Berkreasi Jadi Content Creator
Bahkan dari salah satu sumber disebutkan, anak yang mengalami stunting akan mudah terserang penyakit. Hal ini cukup wajar karena asupan gizi yang diterima sangat kurang secara drastis. Selain itu juga bisa berpengaruh pada gangguan fungsi tubur permanen, seperti fisik dan organ metaboliknya.
Ganguan pada anak stunting akan sangat berpengaruh pada masa depannya. Ketika perkembangan otak tak optimal, maka bisa menganggu kemampuan kognitif anak.
Melansir dari salah satu media, anak akan berisiko mengalami hipertensi, obesitas, sakit jantung dan lain sebagainya. Bukan hanya masalah kesehatan fisik, stunting juga berdampak pada psikologis anak, mulai dari emosi, kemampuan bersosialisasi, hingga masalah motorik.
Lantas bagaimana memerangi atau mengatasi stunting?
Menjawab hal ini, Dirjen Kesehatan Masyarakat dr. Maria Endang Sumiwi, MPH, Kemekes, ada empat masalah besar yang harus dipecahkan.
“Kalau mau menurunkan stunting maka harus menurunkan masalah gizi sebelumnya yaitu weight faltering, underweight, gizi kurang, dan gizi buruk. Kalau kasus keempat masalah gizi tersebut tidak turun, akan susah turunnya,” kata Endang.
BACA JUGA : Yuk Bikin Sehat Mobil Usai Dipakai Liburan
Pencegahan stunting yang lebih tepat harus dimulai dari hulu, yaitu sejak masa kehamilan sampai anak umur 2 tahun atau 1000 hari pertama kehidupan.
Dalam periode setelah lahir yang harus diutamakan adalah pemantauan pertumbuhan yang dilakukan setiap bulan secara rutin. Dengan demikian dapat diketahui sejak dini apabila anak mengalami gangguan pertumbuhan.
Menurut Dirjen Endang, gangguan pertumbuhan dimulai dengan terjadinya weight faltering atau berat badan tidak naik sesuai standar.
“Anak-anak yang weight faltering apabila dibiarkan maka bisa menjadi underweight dan berlanjut menjadi wasting. Ketiga kondisi tersebut bila terjadi berkepanjangan maka akan menjadi stunting,” katanya.