JNEWS – Benua Sundaland mungkin belum sepopuler Atlantis atau Lemuria dalam cerita daratan yang hilang, tapi kisahnya tak kalah menarik. Bukan dongeng atau mitos, Sundaland benar-benar pernah ada, sebagai daratan nyata di Asia Tenggara yang pernah menyatukan banyak pulau besar yang kini terpisah laut.
Wilayah daratan ini sangat luas, dan sebagian besarnya sekarang berada di bawah permukaan laut dangkal. Tapi meski begitu, jejaknya masih bisa kita temukan hari ini, baik lewat peta dasar laut maupun sisa-sisa biodiversitas dan budaya yang masih bertahan di wilayah yang dulu menjadi bagiannya.
Apa Itu Benua Sundaland?

Benua Sundaland adalah istilah dalam geologi dan biogeografi yang merujuk pada wilayah dataran rendah yang dulunya menyatu sebagai satu daratan besar di Asia Tenggara. Wilayah ini berada di atas Paparan Sunda (Sunda Shelf), yaitu bagian dari kerak benua Eurasia yang kini sebagian besar berada di bawah laut.
Sundaland sebenarnya bukan nama resmi benua. Tapi karena ukurannya yang luas dan perannya dalam sejarah geologi, beberapa peneliti menyebutnya sebagai benua mikro atau kontinen mini.
Pada masa zaman es terakhir, sekitar 20.000 tahun lalu, Sundaland membentang luas sebagai satu daratan besar. Periode ini dikenal sebagai Last Glacial Maximum (LGM).
Saat itu, permukaan laut dunia turun sekitar 120 meter karena banyak air terperangkap dalam bentuk es di kutub. Penurunan ini menyebabkan daratan yang kini terpisah oleh laut, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Jawa, menjadi satu daratan luas yang saling terhubung. Inilah bentuk daratan purba yang disebut Benua Sundaland.
Secara geografis, wilayah daratan utamanya mencakup:
- Semenanjung Malaya (Malaysia dan bagian selatan Thailand)
- Sumatra
- Jawa
- Bali
- Kalimantan (termasuk wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei)
Selain itu, Sundaland juga mencakup kawasan laut dangkal yang kini menjadi bagian dari:
- Laut Jawa
- Selat Malaka
- Selat Karimata
- Laut Natuna
- Bagian barat Laut China Selatan
Laut-laut ini memiliki kedalaman kurang dari 120 meter, sehingga pada masa LGM, wilayah tersebut masih berupa daratan kering. Dengan begitu, manusia dan hewan purba bisa berjalan kaki dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa harus menyeberangi laut.
Ukuran Sundaland pada masa puncaknya diperkirakan mencapai sekitar 1,8 juta kilometer persegi. Ini kira-kira setara dengan setengah luas India saat ini. Tapi seiring berakhirnya zaman es dan mencairnya es kutub, permukaan laut naik kembali dan menenggelamkan sebagian besar wilayah ini, menyisakan hanya pulau-pulau besar seperti yang kita kenal sekarang.
Baca juga: Ketika Pemandangan Alam dan Pelestarian Menjadi Satu dalam 6 Kawasan Konservasi Indonesia
Teori Sundaland Adalah Atlantis
Beberapa peneliti alternatif mengemukakan teori bahwa Atlantis yang disebut dalam tulisan Plato bisa jadi merujuk pada wilayah Sundaland. Teori ini tidak diakui secara resmi oleh komunitas arkeologi atau geologi arus utama, tapi menarik untuk dibahas karena menggabungkan data geologis nyata dengan interpretasi teks kuno.
Teori Atlantis adalah Benua Sundaland pertama kali dikemukakan secara sistematis oleh Arysio Nunes dos Santos, seorang insinyur nuklir asal Brasil, dalam bukunya “Atlantis: The Lost Continent Finally Found” (2005). Ia mengklaim bahwa banyak deskripsi Plato dalam Timaeus dan Critias lebih cocok dengan wilayah Asia Tenggara, khususnya Sundaland, dibandingkan wilayah lain yang selama ini jadi kandidat (seperti Laut Tengah atau Samudra Atlantik).
Setelahnya, teori ini dikembangkan dan dipopulerkan ulang oleh penulis seperti Stephen Oppenheimer, seorang ahli genetika dan antropolog asal Inggris, dalam bukunya “Eden in the East” (1998). Meski Oppenheimer tidak secara eksplisit menyebut Sundaland sebagai Atlantis, ia mengemukakan bahwa Asia Tenggara adalah pusat peradaban purba yang tenggelam dan menyebar ke dunia. Gagasan ini kemudian sering dikaitkan dengan mitos Atlantis.
Teori yang mengaitkan Atlantis dengan Sundaland memang menarik dan punya dasar geologis yang nyata. Benua Sundaland memang tenggelam karena naiknya permukaan laut setelah zaman es, dan itu bisa terjadi dalam periode waktu yang sesuai dengan klaim Plato.
Namun, hingga kini belum ada bukti arkeologis atau tekstual kuat yang membuktikan bahwa Sundaland memang adalah Atlantis. Teori ini tetap berada di ranah alternatif atau spekulatif, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya penelitian lebih lanjut di Asia Tenggara.
Keanekaragaman Hayati di Sundaland
Wilayah Benua Sundaland dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati paling penting di dunia. Meski sebagian besar wilayahnya kini berada di bawah laut, bagian yang tersisa, seperti Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Semenanjung Malaya. menyimpan kekayaan hayati yang luar biasa.
Bahkan, lembaga konservasi internasional seperti Conservation International menetapkan Sundaland sebagai salah satu dari 36 Biodiversity Hotspots global. Ini berarti wilayah ini sangat kaya spesies, tapi juga sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan.
Flora dan Fauna Khas Sundaland
Hutan hujan tropis di Benua Sundaland termasuk yang tertua di dunia, bahkan lebih tua dari Hutan Amazon. Vegetasinya sangat beragam, dari hutan dataran rendah hingga pegunungan tropis. Di Kalimantan dan Sumatra, kita bisa menemukan ratusan jenis pohon dalam satu hektare hutan saja. Beberapa pohon khas wilayah ini antara lain meranti (Shorea spp.), rengas (Gluta spp.), dan tengkawang, yakni pohon penghasil lemak nabati yang hanya tumbuh di Kalimantan.
Faunanya tak kalah menarik. Wilayah ini menjadi rumah bagi banyak spesies endemik, yaitu hewan yang hanya bisa ditemukan di satu tempat dan tidak ada di tempat lain di dunia. Keberadaan spesies ini menunjukkan betapa unik dan pentingnya ekosistem Sundaland secara global.
Beberapa spesies endemik yang sangat dikenal antara lain:
- Orangutan (Pongo pygmaeus dan Pongo abelii): hanya ditemukan di Kalimantan dan Sumatra. Mereka merupakan salah satu kerabat terdekat manusia, namun kini masuk daftar spesies kritis menurut IUCN.
- Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae): satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia. Populasinya diperkirakan tinggal sekitar 400 ekor di alam liar, berdasarkan data WWF Indonesia.
- Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus): salah satu mamalia paling langka di dunia. Kini hanya tersisa sekitar 80 ekor yang semuanya hidup di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
- Gajah Sumatra, macan dahan Kalimantan, bekantan, dan trenggiling Sunda juga termasuk dalam daftar spesies yang terancam.
Kawasan Konservasi dan Hutan Tropis
Untuk melindungi kekayaan ini, beberapa kawasan di Benua Sundaland telah ditetapkan sebagai taman nasional dan hutan lindung. Di Sumatra, kita punya Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan Selatan, yang ketiganya masuk dalam situs warisan dunia UNESCO. Di Kalimantan, ada Taman Nasional Betung Kerihun, Kayan Mentarang, dan Sebangau, yang jadi habitat penting orangutan liar.
Meski demikian, tantangan di lapangan sangat besar. Perambahan hutan, kebakaran, dan ekspansi kebun sawit terus menggerus habitat alami satwa liar. Menurut data Global Forest Watch, Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektare cakupan hutan primer tropis antara tahun 2002 dan 2021 saja.
Status sebagai Biodiversity Hotspot
Penetapan Sundaland sebagai Biodiversity Hotspot bukan tanpa alasan. Wilayah ini memiliki lebih dari 25.000 spesies tumbuhan, dan sekitar 60% di antaranya bersifat endemik (Myers et al., 2000, Nature). Untuk mamalia, tercatat sekitar 380 spesies, dan sekitar 173 di antaranya hanya ditemukan di Sundaland. Angka ini menunjukkan tingkat endemisitas yang sangat tinggi.
Namun, status ini juga berarti bahwa kawasan ini dalam kondisi terancam. Deforestasi, polusi, perburuan liar, dan fragmentasi habitat menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan ekosistem Sundaland. Jika tidak dijaga, bukan tak mungkin spesies-spesies unik di sini akan punah dalam beberapa dekade ke depan.
Baca juga: Eksplorasi Taman Nasional Betung Kerihun: Keajaiban Alam di Kalimantan Barat
Benua Sundaland menyimpan cerita panjang tentang bagaimana alam membentuk ulang wajah bumi dari waktu ke waktu. Meski sebagian besar wilayahnya kini tenggelam, peninggalannya masih bisa kita lihat di daratan-daratan yang tersisa, di keragaman hayati yang unik, dan di jejak budaya manusia purba yang tersebar di Asia Tenggara.
Memahami kisah Sundaland membuat kita belajar tentang perubahan yang bisa terjadi di masa depan, lalu bagaimana kita, manusia modern, sebaiknya menyikapi bumi tempat kita berpijak hari ini.