“Rasanya tidak asam di lambung dan awet bisa delapan bulan. Meskipun, dia tidak terlalu wangi,”
Soal omset, Sikdam mengaku bisa mengantongi Rp 5-10 juta per bulan. Ia memasarkan per bungkus Blind Kopi Gayo dengan harga Rp 45 ribu. Sebanyak Rp 10 ribu ia donasikan untuk para penyandang disabilitas.
“Kita membeli kopi kan sekaligus berdonasi. Dari Rp 45 ribu, Rp 10 ribu untuk para penyandang disabilitas,”
Karena kualitasnya, Blind Kopi Gayo menjadi buruan para pecinta kopi. Sikdam mengatakan, ia memiliki beberapa pembeli loyal yang telah menjadi langganannya sejak awal. Mereka biasa membeli Blind Kopi Gayo mulai dari lima hingga 20 bungkus. “Alhamdulillah, saya bersukur sekali ada mereka,” ujar pria yang pernah mengajar Bahasa Inggris di SMA Adria Pratama Mulya, Tangerang.
Ketika pandemi covid-19 menerpa Indonesia Maret 2020, bisnis Blind Kopi Gayo milik Sikdam goyah. Pasalnya, bazar-bazar luring (offline) yang menjadi andalan Sikdam untuk memasarkan produknya menghilang. Itu setelah Pemerintah sempat melarang kerumunan demi mencegah penyebaran covid-19.
Padahal sebagai penyandang tuna netra, Sikdam sangat mengandalkan penjualan di bazar-bazar tersebut. Omset Sikdam pun menurun drastis ke angka di bawah Rp 5 juta. “Jatuh banget waktu awal pandemi,” katanya mengenang.
Agar bisnisnya tak gulung tikar, Sikdam aktif menghubungi para pembeli loyalnya via whatsapp. Ia tak ingin Blind Kopi Gayo bubar sebab akan berdampak kepada para pekerjanya yang mayoritas penyandang disabilitas.
“Kalau semakin banyak omset dan pekerjaan, teman-teman disabilitas akan semakin banyak terbantu,” ujar Sikdam yang pernah pula berbicara di depan Parlemen Korea Selatan pada 2015 lalu.
Di tengah pandemi covid-19, Sikdam mengamati ada perubahan pada pembelinya. Kini, semakin banyak masyarakat lokal yang melirik Blind Kopi Gayo. Pembelinya pun berasal dari berbagai wilayah di Indonesia antara lain Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, dan Kalimantan.