Apa Itu Cancel Culture? Fenomena Sosial yang Kontroversial

JNEWS – Cancel culture semakin sering dibahas di media sosial. Fenomena ini terjadi ketika seseorang atau suatu pihak mendapat kecaman besar-besaran karena ucapan atau tindakannya yang dianggap salah.

Banyak yang melihatnya sebagai bentuk hukuman sosial, sementara yang lain menganggapnya sebagai ajang persekusi. Dampaknya bisa sangat besar, mulai dari kehilangan pekerjaan hingga reputasi yang hancur.

Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture adalah fenomena sosial ketika ada sekelompok atau orang-orang yang memboikot, mengkritik, atau mengeluarkan seseorang dari komunitas. Hal ini umumnya diakibatkan oleh adanya tindakan, ucapan, atau perilaku yang dianggap ofensif, tidak etis, atau bertentangan dengan norma sosial yang berlaku.

Perilaku “canceling” ini biasanya dilakukan melalui media sosial dengan tujuan menghukum atau meminta pertanggungjawaban seseorang atas perbuatannya.

Cancel culture sering kali dikaitkan dengan gerakan keadilan sosial. Hal ini terutama seputar isu rasisme, seksisme, pelecehan seksual, dan diskriminasi. Namun, praktik ini juga menuai kontroversi karena dianggap dapat mengarah pada persekusi tanpa melalui proses hukum yang adil.

Baca juga: Tip Agar Tak Oversharing di Media Sosial dan Terhindar dari Penyalahgunaan Data Pribadi

Sejarah dan Kasus-Kasus Cancel Culture yang Pernah Terjadi

Cancel Culture: Fenomena Sosial Kontroversial

Dulu, bentuk protes semacam ini sudah ada dalam berbagai bentuk, seperti boikot terhadap perusahaan atau selebritas. Hanya saja, waktu itu protes terhadap seseorang atau suatu institusi butuh waktu lama untuk menyebar.

Sekarang, Twitter, Instagram, dan TikTok bisa membuat sebuah skandal viral dalam hitungan jam. Satu tweet atau video yang telah mengudara di dunia maya bisa memicu gelombang kritik yang besar.

Salah satu yang sangat memorable adalah gerakan #MeToo di tahun 2010-an. Gerakan ini membuka banyak kasus pelecehan oleh figur publik yang sebelumnya tertutupi. Harvey Weinstein, produser Hollywood terkenal, menjadi salah satu contoh besar. Kevin Spacey juga mengalami hal serupa. Aktor ini dituduh melakukan pelecehan, yang langsung membuatnya dikeluarkan dari serial House of Cards dan proyek-proyek besar lainnya.

Contoh yang juga pernah terjadi pada artis Korea, Seo Ye-ji. Aktris yang terkenal lewat drama It’s Okay to Not Be Okay tersebut mengalami pembatalan dukungan besar-besaran setelah muncul tuduhan bahwa ia pernah memanipulasi mantan pacarnya, aktor Kim Jung-hyun. Seo diduga meminta Kim untuk tidak berinteraksi dengan lawan main wanitanya dalam drama yang sedang ia bintangi.

Setelah kabar ini tersebar, banyak orang langsung mengkritiknya. Kontrak iklan dan proyek aktingnya dibatalkan. Seo Ye-ji sempat menghilang dari dunia hiburan, meskipun akhirnya kembali beberapa waktu kemudian.

Lucas, anggota boy group NCT dan WayV, juga pernah terseret skandal setelah beberapa wanita yang mengaku mantan pacarnya menuduhnya telah memanfaatkan mereka secara finansial dan bersikap manipulatif. Tuduhan ini langsung menyebar di media sosial, dan banyak penggemar yang kecewa.

Lucas akhirnya hiatus dari aktivitas grup dan meminta maaf secara terbuka. Namun, hingga kini ia belum kembali secara penuh ke dunia hiburan, menunjukkan betapa kerasnya dampak cancel culture di Korea Selatan.

Dampak Cancel Culture pada Selebritas

Cancel culture memang bisa memberikan dampak besar, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, budaya ini bisa membuat orang-orang berkuasa lebih bertanggung jawab. Banyak korban pelecehan atau diskriminasi yang akhirnya berani bicara karena mendapat dukungan besar dari publik.

Tapi, di sisi lain, hal ini juga bisa menjadi bumerang. Seseorang bisa langsung dihukum secara sosial tanpa ada proses hukum yang jelas. Banyak yang kehilangan pekerjaan atau reputasi hanya karena kesalahan di masa lalu. Bahkan ketika mereka sudah meminta maaf atau berubah menjadi lebih baik.

Fenomena ini juga bisa memicu efek “serangan massa”. Orang-orang di media sosial jadi terbawa emosi dan ikut mengecam tanpa benar-benar memahami situasi. Banyak kasus yang akhirnya berujung pada ketidakadilan. Ada orang yang sebenarnya tidak bersalah, tetapi sudah terlanjur dicap buruk oleh publik.

Korea Selatan adalah salah satu negara yang cancel culture-nya cukup ekstrem. Industri hiburan di sana sangat bergantung pada citra publik. Satu skandal saja bisa menghancurkan karier seorang selebritas dalam hitungan jam. Bahkan, beberapa di antaranya sulit untuk kembali meskipun sudah mengklarifikasi atau meminta maaf.

Dibandingkan dengan Hollywood atau negara lain, selebritas Korea memang tampak lebih sulit untuk bangkit setelah terkena cancel culture. Beberapa dari mereka memilih hiatus dalam waktu lama. Bahkan, ada juga yang akhirnya pensiun dari dunia hiburan karena tekanan yang terlalu besar.

Bagaimana Kita Harus Menyikapinya?

Cancel culture memang bisa menjadi alat untuk menuntut akuntabilitas, tapi juga bisa berubah menjadi ajang persekusi sosial yang tidak adil. Sikap bijak sangat diperlukan agar tidak terjebak dalam euforia menghakimi seseorang tanpa dasar yang kuat.

1. Jangan Langsung Percaya, Cari Fakta Dulu

Di era media sosial, informasi bisa menyebar sangat cepat, tapi belum tentu semuanya benar. Sebelum ikut mengecam atau membela seseorang, pastikan informasi yang beredar berasal dari sumber yang kredibel. Jangan hanya mengandalkan cuplikan video atau tangkapan layar yang bisa saja diambil di luar konteks.

2. Bedakan Kesalahan dan Kejahatan

Setiap orang bisa melakukan kesalahan, terutama di masa lalu. Namun, ada perbedaan besar antara kesalahan kecil, opini kontroversial, dan tindakan kriminal. Tidak semua kesalahan layak untuk “dibatalkan”. Jika seseorang sudah meminta maaf dan menunjukkan perubahan, beri kesempatan untuk memperbaiki diri.

3. Jangan Ikut-ikutan Hanya Karena Tren

Sering kali, netizen ikut-ikutan hanya karena melihat orang lain melakukannya. Fenomena ini disebut mob mentality atau mentalitas kerumunan. Jika ingin berpendapat, pastikan itu berdasarkan pemahaman sendiri, bukan hanya karena mengikuti arus.

4. Beri Ruang untuk Klarifikasi dan Perbaikan

Seseorang yang terkena “pembatalan” sering kali langsung dihukum tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Padahal, ada kemungkinan berita yang beredar tidak sepenuhnya benar. Jika mereka bersalah, lihat apakah mereka mau bertanggung jawab dan memperbaiki diri sebelum langsung menghukum mereka seumur hidup.

5. Gunakan Kritik yang Membangun, Bukan Serangan Pribadi

Menyampaikan kritik itu sah-sah saja, tapi jangan sampai berubah menjadi cyberbullying. Menghujat, menyerang keluarga, atau mengancam seseorang tidak akan menyelesaikan masalah. Kritik yang sehat harus fokus pada tindakan atau ucapan yang salah, bukan menyerang pribadinya.

6. Pahami Konteks Budaya dan Hukum

Setiap negara punya standar moral dan hukum yang berbeda. Apa yang dianggap kontroversial di satu negara belum tentu bermasalah di tempat lain.

Di Indonesia, cancel culture sering terjadi pada figur publik yang tersandung kasus moral atau hukum. Padahal ada jalur hukum yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah, bukan sekadar tekanan dari media sosial.

7. Ingat Bahwa Semua Orang Bisa Berubah

Cancel culture seharusnya bukan hukuman seumur hidup. Jika seseorang sudah menunjukkan penyesalan dan perubahan, penting untuk memberi kesempatan kedua. Sikap ini tidak hanya adil bagi orang yang bersangkutan, tapi juga menciptakan budaya yang lebih sehat di media sosial.

Baca juga: Mengenal Meta AI: Teknologi Canggih yang Mudah Digunakan

Cancel culture bisa menjadi alat untuk memperbaiki norma sosial, tapi juga bisa menjadi senjata yang merugikan banyak orang. Netizen, khususnya di Indonesia, perlu lebih bijak dalam menyikapi fenomena ini. Jangan mudah terpancing, selalu cek fakta, dan gunakan kritik yang membangun.

Dengan begitu, media sosial bisa menjadi tempat diskusi yang lebih sehat tanpa harus menghancurkan hidup seseorang hanya karena kesalahan yang mungkin masih bisa diperbaiki.

Exit mobile version