JNEWS – Hari Raya Nyepi merupakan Hari Raya Tahun Baru Saka bagi umat Hindu di Bali yang unik karena dirayakan dalam suasana sunyi. Kata Nyepi berasal dari kata sepi yang berarti sunyi, senyap, atau hening. Dikutip dari situs Disbud Buleleng, tujuan utama ritual ini adalah memohon ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar Bhuana Alit, atau alam diri/manusia, dan Bhuana Agung, yakni alam semesta, disucikan kembali pada pergantian tahun.
Untuk mencapai tujuan tersebut, umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian – empat pantangan atau brata yang wajib dijalankan selama Nyepi. Keempat prinsip ini akan menuntun umat pada suasana hening demi introspeksi dan penyucian diri.
Berikut penjelasan mengenai sejarah, makna filosofis, serta penerapan Catur Brata Penyepian dalam kehidupan masyarakat Bali.
Sejarah Catur Brata Penyepian yang Dilakukan di Hari Raya Nyepi
Hari Raya Nyepi sebagai Tahun Baru Saka berakar dari sejarah kuno di India. Penanggalan Saka dimulai pada tahun 78 Masehi, ketika Raja Kaniskha I dari suku Saka berhasil mempersatukan berbagai suku yang lama berkonflik.
Kemenangan dan penobatan Raja Kaniskha I pada 1 bulan 1 tahun 1 Saka (sekitar Maret 78 M) menandai berakhirnya pertikaian antar suku, yakni Saka, Pahlava, Yueh Chi, Yavana, dan Malaya. Dengan demikian, era baru yang penuh kedamaian pun dimulai.
Tahun Baru Saka tersebut diperingati sebagai momentum kebangkitan dan pembaruan kehidupan yang dilandasi persatuan, toleransi, dan kerukunan. Dalam tradisi Hindu, kemenangan dan perdamaian ini disyukuri dengan ritual penyucian. Hari Tahun Baru Saka diperingati sebagai Hari Raya Nyepi, yaitu hari penyepian atau penyucian dunia dari segala keburukan sebelum memasuki tahun yang baru.
Sejak masa itu, Nyepi dijalankan dengan melakukan tapa brata yang berat sebagai bentuk yadnya, atau korban suci, ke hadapan Tuhan. Umat Hindu meyakini bahwa dengan melaksanakan pengorbanan suci berupa empat pantangan saat Nyepi, doa yang dipanjatkan akan lebih tulus dan dunia dapat kembali ke keadaan suci.
Inilah asal mula diterapkannya Catur Brata Penyepian dalam Hari Raya Nyepi. Tradisi Nyepi kemudian menyebar hingga ke Nusantara seiring berkembangnya agama Hindu.
Menjelang Nyepi di Bali, dilaksanakan upacara-upacara pendahuluan seperti Melasti, yakni ritual pensucian sarana persembahyangan ke sumber air laut, dan Tawur Kesanga, yakni persembahan di hari pengerupukan untuk menetralisir roh-roh negatif.
Puncaknya, pada Hari Raya Nyepi, umat menjalankan Catur Brata Penyepian selama 24 jam penuh. Ritual juga dilanjutkan keesokan harinya dengan Ngembak Geni sebagai penutup rangkaian, yaitu menyalakan api kembali dan saling memaafkan antar umat.
Dengan demikian, sejak zaman dahulu hingga kini, Catur Brata Penyepian menjadi inti perayaan Nyepi sebagai upaya menyucikan diri dan alam di setiap pergantian Tahun Saka.
Baca juga: Hari Raya Nyepi, Wisatawan di Bali Wajib Paham 5 Aturan Ini
Makna Filosofis Catur Brata Penyepian
Secara harfiah, Catur Brata Penyepian berarti empat pantangan utama selama Hari Raya Nyepi. Keempat prinsip ini bukan sekadar larangan fisik, tetapi sarat makna filosofis yang bertujuan untuk membersihkan jiwa, mengendalikan nafsu, serta mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Adapun empat brata tersebut sebagai berikut.
1. Amati Geni (Tidak Menyalakan Api)
Pada hari Raya Nyepi, umat Hindu dilarang menyalakan api atau cahaya apa pun, termasuk lampu, listrik, maupun api dalam arti luas seperti api emosi.
Makna filosofis dari amati geni adalah pengendalian diri dari amarah dan nafsu yang diibaratkan seperti api. Dengan tidak menyalakan api, umat berupaya memadamkan “api” dalam diri, seperti ego, amarah, hawa nafsu, sehingga hati menjadi dingin dan tenang.
Larangan menyalakan api juga melambangkan pengekangan konsumsi dan aktivitas material, sehingga umat dapat fokus pada cahaya batin dan mendekatkan diri secara spiritual kepada Tuhan.
2. Amati Karya (Tidak Bekerja)
Selama 24 jam Hari Raya Nyepi, segala bentuk pekerjaan dan aktivitas dihentikan. Secara filosofis, amati karya mengajarkan pentingnya berhenti sejenak dari kesibukan duniawi untuk memberikan waktu melakukan kontemplasi dan evaluasi diri.
Dengan tidak bekerja, umat mendapat kesempatan merefleksikan perjalanan hidup dan pekerjaannya sepanjang tahun, serta memperkuat hubungan spiritual lewat doa dan meditasi.
Selain itu, menghentikan aktivitas sehari-hari juga bermakna memberikan alam semesta waktu untuk beristirahat sejenak. Dengan kata lain, manusia menghormati ritme alam dengan tidak mengekploitasi energi pada hari suci ini.
3. Amati Lelungan (Tidak Bepergian)
Pada Hari Raya Nyepi, umat Hindu dilarang keluar rumah atau melakukan perjalanan ke mana pun. Semua tetap berada di rumah atau lokasi penyepian masing-masing.
Larangan amati lelungan bermakna bahwa manusia perlu membatasi gerak fisik dan pikirannya agar tidak liar mengembara ke hal-hal negatif. Berdiam diri menciptakan suasana tenang sehingga dapat merenungkan kehidupan dengan lebih mendalam.
Dengan tidak bepergian dan tinggal di rumah, umat diharapkan dapat mencapai ketenangan batin, mengendalikan pikiran, dan melakukan introspeksi terhadap langkah hidup yang telah dijalani. Ini selaras dengan falsafah mulat sarira atau introspeksi diri dalam ajaran Hindu Bali.
4. Amati Lelanguan (Tidak Bersenang-senang atau Mencari Hiburan)
Prinsip ini melarang segala bentuk hiburan atau kesenangan selama Nyepi, seperti menonton TV, mendengarkan musik, pesta, permainan, hingga penggunaan gawai untuk hal non-spiritual.
Makna filosofis amati lelanguan ialah mengekang indria dari hal-hal yang bersifat duniawi dan hedonis, agar jiwa dapat diarahkan pada pencarian makna spiritual. Dengan tiadanya hiburan, umat diajak menikmati “kesunyian” dan kedamaian batin sebagai sarana menyucikan diri.
Pada saat Nyepi, umat Hindu dianjurkan memperbanyak sembahyang, membaca kitab suci, berpuasa, dan melakukan meditasi ketimbang kegiatan rekreasi. Melalui pengekangan diri dari kesenangan sesaat, diharapkan tercapai kebahagiaan sejati dari penyerahan diri kepada Tuhan.
Keempat brata di atas memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu menciptakan suasana hening dan sepi lahir dan batin. Ketenangan lahiriah tercapai dengan menghentikan segala aktivitas, dan ketenangan batiniah tercapai dengan mengendalikan nafsu serta pikiran.
Baca juga: 5 Tradisi Nyepi yang Dijalani Umat Hindu di Bali dan Maknanya
Dalam sunyinya Hari Raya Nyepi, umat Hindu dapat melakukan mulat sarira atau introspeksi secara total, menyadari kekhilafan masa lalu, serta memohon ampun dan bimbingan Tuhan agar dapat memasuki tahun yang baru dengan jiwa yang suci. Dengan demikian, Catur Brata Penyepian berfungsi sebagai sarana penyucian diri, atau pengejawantahan Dharma, melalui pengekangan hawa nafsu dan kedisiplinan spiritual.