Cara Menjadi Food Vlogger yang Beretika dalam Memberikan Pendapat

Menjamurnya konten kreator tidak lepas dari peran media sosial yang bertumbuh subur dari tahun ke tahun. Tak sekadar media komunikasi saja, media sosial bertransformasi menjadi ladang rupiah bagi sebagian besar warganet. Ada banyak kategori konten kreator berdasarkan niche-nya, salah satu yang paling populer adalah food vlogger.

Umumnya para food vlogger sering melakukan review dalam bentuk video terhadap suatu produk atau makanan kemudian diunggah di media sosial. Mendapatkan keuntungan dari bisnis ini bisa melalui review, kolaborasi hingga Google Adsense.

Mengenal Food Vlogger

foodies artinya

Vlogger adalah seseorang yang membuat konten dalam bentuk video. Sedangkan, food vlogger adalah orang yang membuat ulasan atau review makanan maupun minuman melalui video.

Para food vlogger ini kerap mengunjungi berbagai restoran, kedai, jajanan kaki lima, atau bahkan membeli produk kuliner, mencicipinya lalu memberikan sebuah ulasan. Tujuan mereka melakukan ini adalah untuk membagikan pengalaman mereka pada audiens, serta memberikan rekomendasi kuliner lezat dari sudut pandang mereka.

Dalam konten video yang diunggah, biasanya food vlogger akan menunjukkan suasana restoran, harga, menu, lokasi hingga proses pembuatan makanan. Mereka akan makan di depan kamera dengan berbagi cerita tentang rasa makanan tersebut.

Baca juga: Foodies: Siapa Mereka, dan Apa Bedanya dengan Food Vlogger atau Food Blogger?

Bagaimana efek dari food vlogger ini?

Bisa dikatakan, dengan review positif mereka turut mengatrol penjualan dari restoran, kafe, kedai tersebut. Bahkan popularitas tempat makan tersebut bisa meroket dengan review dari para food vlogger.

Efek negatifnya, apabila mereka memberikan review negatif, biasanya warung makanan tersebut akan menurun pendapatannya karena sepi pengunjung.

Namun dalam perkembangan profesi ini, sering kali food vlogger disebut dengan food blogger. Padahal, keduanya berbeda dari sisi pengambilan konten dan medium pembuatannya.

Food vlogger menggunakan video dengan menggabungkan video-video pendek yang meliputi berbagai hal terkait restoran tersebut. Medium untuk mengunggah konten tersebut umumnya di media sosial seperti Instagram, TikTok hingga YouTube.

Berbeda dengan food blogger, aktivitas yang mereka lakukan adalah menulis tentang makanan yang ditulis di blog. Konten ini kerap disebut dengan jurnalisme makanan. Para food blogger memadukan kepiawaian menulis dan fotografi untuk menghasilkan artikel dengan review yang menarik.

Dalam melakukan kegiatan vlogging, ada beberapa hal yang wajib diperhatikan. Salah satu yang utama adalah etika.

Menjadi Food Vlogger yang Beretika dalam Mengulas Makanan

Tidak dimungkiri, kehadiran food vlogger sangat membantu konsumen dalam pengambilan keputusan. Di sisi pemilik usaha, seperti dua sisi koin, bisa menguntungkan dan bisa pula merugikan. Fakta di lapangan juga, tidak semua pemilik usaha mau menerima kehadiran dan kritik mereka. Karena, ketika ada review negatif di media sosial, bisa berujung warung makan tersebut menjadi sepi pelanggan.

Dari hal tersebut, ini ada satu benang merah yang wajib dipahami dan diterapkan oleh para food vlogger yaitu etika mereview makanan.

Lantas seperti apa etika dalam mengulas makanan?

1. Riset Dulu sebelum Mengunjungi

Penting bagi food vlogger untuk riset dulu seluk-beluk restoran atau kedai yang akan direview. Riset bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai medium mulai dari blog, media sosial hingga Google Review.

Dengan adanya riset ini, ketika akan mengunjungi restoran tersebut sudah ada gambaran seperti apa tempatnya, suasananya, dan tentu saja menunya.

Dengan riset ini, food vlogger juga langsung bisa mendapatkan gambaran, apakah tempat yang akan direview sesuai dengan preferensinya. Misalnya saja, Chef Juna yang konon tidak akan mau melakukan review pada masakan atau restoran yang tidak masuk ke dalam preferensinya. Chef yang menjadi salah satu juri favorit di ajang Masterchef Indonesia dan telah melanglang buana ke berbagai tempat di belahan dunia itu menjelaskan, bahwa akan sulit untuk bisa objektif ketika masakan atau restorannya tidak masuk ke dalam preferensi pribadi. Hal ini penting untuk menghindari review yang bersifat negatif.

2. Mengenal Karakteristik Makanan dan Bumbu-bumbu

Menjadi food vlogger mesti tahu karakteristik makanan dan juga bumbu-bumbu yang digunakan. Karena dalam mendeskripsikan sebuah menu, perlu menjelaskan bahannya terbuat dari apa, tingkat kematangan, rempah yang bisa dikenali dari aroma maupun warna.

Jadi, dengan mengetahui karakteristik dan rempah, seorang food vlogger akan bisa menggambarkan bagaimana cita rasa sebuah makanan. Dan penontonnya pun bisa membayangkan kelezatannya dan mengambil keputusan apakah hendak mengunjungi tempat tersebut.

3. Minta Izin untuk Review

Jika ingin bertamu ke rumah seseorang, wajib mengetuk pintu. Begitu juga dalam aturan ‘tidak tertulis’ dalam mereview makanan. Apabila ingin review, sampaikan maksud tersebut kepada pemilik usaha atau manajer.

Karena, tidak semua restoran maupun warung makan mengizinkan pengunjung untuk memotret atau bikin video di tempat tersebut. Ada juga pemilik usaha yang tidak mau direview makanannya. Sebagai food vlogger tentunya harus bisa menghormati kebijakan restoran, kedai, warung, atau apa pun yang hendak direview tersebut.

4. Gunakan Bahasa Sopan dan Jujur

Dalam membuat review makanan gunakan bahasa yang sopan dan jujur. Salah satu tokoh kuliner terkenal yang bisa mengulas sebuah makanan dengan cara yang baik adalah alm. Pak Bondan Winarno.

Apa yang dilakukan beliau bisa menjadi contoh yang baik dalam mengulas makanan dan juga restorannya. Pak Bondan selalu menggunakan bahasa sopan dalam menilai sebuah makanan. Bahkan untuk menandakan makanan tersebut agak ‘kurang’ di lidahnya, beliau tetap menggunakan kalimat yang tepat.

Alih-alih mengatakan, “Makanan ini nggak enak.” bisa dengan menggunakan kalimat, “Menurut saya sop ini kurang gurih.” Atau bisa juga dengan kalimat, “Ayam ini tidak terlalu empuk dan agak sedikit asin, tetapi yang menjadi juara di menu ini adalah sambalnya.”

Ulasan seperti ini adalah cara menyampaikan sesuatu yang kurang dari menu tersebut, sekaligus menunjukkan kelebihannya. Kalaupun tidak enak menurut food vlogger, bisa lebih didetailkan tidak enaknya itu dalam bentuk apa? Apakah kurang asin, terlalu manis, kurang rempah, over cooked, atau terlalu lembek.

Dengan demikian, ulasan yang disampaikan tidak dianggap sebagai bentuk pencemaran nama baik.

5. Pertimbangkan Menyampaikan Kritik Secara Langsung

Semua konsumen berhak untuk menyampaikan kritik dalam bentuk apa pun dan dilindungi dengan UU Konsumen. Dalam UU Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa hak konsumen adalah untuk didengar pendapat dan keluhannya.

Namun, alangkah baiknya, apabila menyampaikan kritik langsung kepada pemilik usaha atau manajer. Tentunya ini akan disambut dengan baik. Pilihan ini merupakan win win solution bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, dari pihak restoran bisa berbenah untuk mengatasi kekurangan.

Baca juga: Nasi Bakar sebagai Makanan Jalanan yang Populer: Warung dan Penjual Terkenal

Ketika masuk ke ranah etika, ini berkaitan dengan hal yang dianggap baik dan benar. Namun, kembali lagi, baik dan benar ini bersifat cukup subjektif bagi tiap orang. Oleh karena itu, bagi seorang food vlogger, etika dalam memberikan ulasan tergantung pada diri mereka dalam menggunakan kebijaksanaan.

Selalu ingat, bahwa food vlogger mesti memiliki keseimbangan dalam memberikan review yang jujur dan mempertimbangkan seperti apa dampak dari ulasannya terhadap bisnis tersebut.

Exit mobile version