JNEWS – Sebagai negara yang kaya akan nilai budaya, di tiap daerah memiliki gedung pertunjukan yang berfungsi untuk pementasan. Salah satu yang legendaris dan memiliki sejarang panjang adalah Gedung Kesenian Jakarta.
Harus diakui, eksistensi seni pertunjukan di Indonesia tidak lepas dari peran gedung-gedung kesenian yang masih berdiri tegak hingga saat ini. Seperti kehadiran Gedung Kesenian Jakarta, yang menjadi wadah bagi para insan kreatif untuk mengembangkan serta menyebarkan budaya melalui seni pertunjukan yang kaya akan pesan moral.
Gedung yang terletak di Jalan Gedung Kesenian No. 1 Jakarta Pusat ini, sering menyelenggarakan beragam pertunjukan seni baik musik, tari, panggung teater dari para seniman ternama baik dalam maupun luar negeri hingga sekolah-sekolah.
Menilik Sejarah Panjang Gedung Kesenian Jakarta
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) merupakan salah satu bangunan tua peninggalan bersejarah dari pemerintah kolonial Belanda. Awalnya, gedung yang dibangun oleh Belanda ini diresmikan pada tanggal 7 Desember 1821 dengan nama Schouwburg Weltevreden atau Comidiegebouw.
Dikutip dari website Ensiklopedia Kemdikbud, pembangunan gedung bergaya Romawi yang menghabiskan biaya sekitar 60.000 gulden itu diprakarsai oleh para anggota perkumpulan tonil Ut Desint yang pada tahun 1820 mencapai puncak ketenaran.
Hanya dalam waktu setahun gedung tersebut telah diselesaikan yakni pada tahun 1821. Pada malam perdana peresmiannya Ut Desint mementaskan tonil “Othelo” dan “Penabuh Genderang” karya William Shakespeare.
Ternyata sebelum bangunan bergaya Romawi dibangun, di lahan tersebut pernah dibangun sebuah teater militer. Berikut ini ulasan sejarah panjang Gedung Kesenian Jakarta dari masa ke masa.
1. Masa Sebelum Dibangun Schouwburg
Sebelum Schouwburg Weltevreden dibangun, di lahan tersebut berdiri gedung yakni Teater militer Weltevreden. Gedung tersebut dibangun oleh Gubernur Jendral Belanda yang terkenal, Daendels, lalu direalisasikan oleh Gubernur Jendral Inggris, Thomas Stamford Raffles bersama dengan sekelompok tentara Inggris di tahun 1814.
Mulanya, gedung Teater Militer bernama Municipal Theatre, Schouwburg atau lebih populer disebut dengan nama Gedung Komidi. Di teater tersebut, tentara Inggris dapat menyaksikan pementasan tonil karya Shakespeare, yang dimainkan oleh para pemain amatir, yang membentuk perkumpulan sandiwara pada tahun 1812.
Sayangnya, masa jaya teater Inggris dengan Gedung Teater Militernya hanya berlangsung sampai tahun 1816. Hal ini disebabkan karena Inggris mengalami kekalahan dari Belanda dan mereka harus angkat kaki dari tanah Batavia.
Setelah ditinggalkan Inggris, Belanda menyebut gedung tersebut dengan nama Bamboe Teater. Penyebutan nama tersebut karena bangunan yang hanya mampu menampung 250 orang tersebut, dindingnya terbuat dari gedek (anyaman) bambu dan beratap alang-alang. Kemudian, Bamboe Teater pun beralih ke tangan seniman panggung bangsa Belanda.
Baca juga: 7 Tempat Wisata Bersejarah di Indonesia yang Menjadi Saksi Sejarah Kolonial Belanda

2. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Setelah berpindah tangan ke bangsa Belanda, di bangunan Bamboe Teater tepatnya pada tanggal 21 April 1817, terbentuklah perkumpulan teater Ut Desint. Berselang empat tahun kemudian, para anggota perkumpulan tersebut membongkar bangunan dan mendirikan gedung kesenian yang baru, ideal serta permanen.
Kehadiran Schouwburg Weltevreden atau Comidiegebouw membawa gengsi tersendiri bagi Kota Batavia sekaligus meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan.
Gedung ini menjadi saksi beragam acara seni, mulai dari pertunjukan teater, opera, musik klasik, sirkus, sulap, hingga tari dan nyanyian. Sebagian besar pertunjukan kala itu didominasi oleh grup seni dari kalangan kulit putih. Seni pertunjukan di tempat ini terus berlangsung hingga akhir masa Pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1906, gedung ini menjadi panggung bagi Louis Bouwmeester, aktor ternama dari Belanda yang terkenal di seluruh Eropa. Selain Bouwmeester, beberapa grup sandiwara terkenal seperti Von de Wall atau Victor Ido, Jan Fabricius, dan Louis Couperus juga sering menggelar pertunjukan di sini.
Menariknya, pada masa kolonial Belanda, Schouwburg Weltevreden tidak hanya menjadi tempat pertunjukan seni Barat, tetapi juga digunakan untuk pagelaran wayang orang. Pada tahun 1921, pertunjukan wayang orang mulai ditampilkan secara rutin empat kali dalam setahun.
Untuk mendukung kesenian lokal, setiap rombongan wayang orang mendapat subsidi sebesar 125 gulden serta dibebaskan dari biaya sewa tempat dan penerangan. Dua kelompok wayang orang yang sering tampil di Schouwburg saat itu adalah Krido Jatmoko dan Marsoedi Bekso.
3. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, Schouwburg Weltevreden berganti nama menjadi Kiritsu Gehitzzyoo, lalu berubah menjadi Bioskop Dana dan City Theater. Meskipun fungsinya sebagai tempat pementasan tonil dan hiburan masih dipertahankan, gedung ini juga sering digunakan sebagai markas tentara Jepang.
Seiring waktu, gedung ini semakin jarang dipakai untuk seni pertunjukan karena lebih difokuskan sebagai markas militer. Banyak perabotan menghilang, termasuk lampu kristal indah yang dulunya menghiasi teras.
Di sisi lain, Jepang tetap menggunakan kesenian sebagai alat propaganda dengan membentuk Sendenbu (Barisan Propaganda) dan Keimin Bunka Shidosho (Badan Urusan Kebudayaan). Organisasi ini bertujuan menarik masyarakat Indonesia agar bergabung dalam perkumpulan sandiwara bentukan Jepang.
4. Masa Setelah Indonesia Merdeka
Gedung Kesenian Jakarta berubah fungsi setelah Indonesia merdeka. Gedung tersebut menjadi ruang kuliah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia serta gedung bioskop.
Seiring berjalannya waktu, nama Gedung Komidi pun diganti menjadi Gedung Kesenian. Peruntukan gedung tersebut masih aktif untuk pementasan seni pertunjukan kendati kondisinya sudah agak tidak layak.
5. Masa Pemugaran Gedung
Di awal tahun 1970-an, Gedung Kesenian Jakarta sudah jarang digunakan karena ada tempat pertunjukan baru di kompleks Taman Ismail Marzuki. Kemudian di tahun 1987, Gedung Kesenian pun dipugar secara besar-besaran dan dikembalikan fungsinya seperti awal.
Hingga sekarang ini, Gedung Kesenian Jakarta masih tegak berdiri dan melanggengkan seni pertunjukan Indonesia. Beberapa pertunjukan yang pernah dilakukan seperti pementasan tonil “Karina Adinda” karya Victor Ido yang dilakukan oleh Study Club Teater Bandung di tahun 1993. Lalu pada pada tanggal 9-26 Juni 2006 mengadakan Jakarta Anniversary Festival (JAF) dan masih banyak pertunjukan lainnya.
Panduan Berkunjung ke Gedung Kesenian Jakarta
1. Lokasi dan Cara Menuju
Gedung Kesenian Jakarta berlokasi di Jalan Kesenian, Ps. Baru, Kecamatan Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat. Tidak sulit menemukan gedung ini karena lokasinya di pinggir jalan dengan ciri bangunan klasik Eropa yang sangat khas.
Bagi pengunjung yang akan menggunakan transportasi umum, ada dua pilihan yakni KRL dan bus Transjakarta. Adapun stasiun KRL terdekat dengan GKJ adalah Stasiun Juanda. Sedangkan halte terdekat dengan GKJ adalah Halte Bus Pasar Baru.
2. Fasilitas
Gedung Kesenian Jakarta dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah tanggungan Dinas Pariwisata Pemprov Jakarta. Sebagai tempat pementasan seni pertunjukan, fasilitas GKJ termasuk bagus dan memadai.
Terdapat ruang pertunjukan yang berukuran 24 X 17,5 meter dengan kapasitas penonton sekitar 475 orang di sini. Selain itu, GKJ juga memiliki panggung berukuran 10,75 X 14 X17 meter, peralatan tata cahaya, kamera (CCTV) di setiap ruangan, TV Monitor, ruang foyer berukuran 5,80 X 24 meter.
Tak hanya itu saja, di gedung ini tersedia fasilitas umum seperti lahan parkir, toilet hingga musala.
3. Jam Operasional dan HTM
Untuk jam operasional Gedung Kesenian Jakarta buka setiap hari, Senin-Minggu, selama 24 jam. Berkunjung ke GKJ tidak dipungut biaya alias gratis.
Namun, bagi yang ingin mengadakan pertunjukan di gedung ini, ada tarif sewa yang harus dibayarkan yaitu:
- Senin-Jumat: Rp 15.000.000/hari
- Sabtu-Minggu: Rp 20.000.000/hari
Baca juga: 5 Monumen di Jakarta dan Sejarahnya yang Perlu Diketahui
Gedung Kesenian Jakarta merupakan saksi bisu perjalanan panjang seni pertunjukan di Indonesia. Kehadiran gedung ini turut melestarikan beragam seni pertunjukan di tengah gempuran budaya luar yang makin masif di masa sekarang.