Hikayat Kantor Pusat JNE di Jalan Tomang 11 (bagian 1)

Kantor Pusat JNE Tomang 11 di tahun 2000.

JNEWS – Suatu hari di tahun 2004. Manajemen JNE harus mengambil keputusan sulit mengenai kantornya: beli gedungnya atau JNE pindah dari Jl. Tomang 11 karena niat sang pemilik gedung untuk menjual asetnya sudah bulat. Keputusan Manajemen perusahaan yang bernama lengkap Tiki Jalur Nugraha Ekakurir ini untuk membeli gedung Tomang 11 sebagai kantor pusat JNE kala itu tepat, walau harus meminjam uang ke bank. Di tengah pembangunan ulang gedung Tomang 11, setahun kemudian gedung Tomang 9 juga terbeli.

Perjalanan seribu mil dimulai dari satu mil. Tampaknya ungkapan itu tepat untuk menggambarkan bagaimana jalan panjang yang dilalui JNE untuk menggapai kejayaan hari ini dengan gedung megah nan menawan. Akhir tahun 1990, JNE didirikan “hanya” bermodal dana pas-pasan dengan karyawan delapan orang. Sebuah syukuran sederhana digelar bersama anak-anak yatim di Yayasan Tuna Netra dan Anak Yatim (Yatuna) Soeprapto Soeparno yang ada di Kramat Jati, Jakarta Timur.

Pada fase ini, JNE masih berjuang untuk bisa survive dengan menyewa kantor berupa ruangan yang tidak terlalu luas di Gedung Gelael yang kini sudah berubah menjadi Twin Plaza Hotel di kawasan Slipi, Jakarta Barat. “Semua karyawan tidak ada istilah siang-malam, semua bekerja keras termasuk para direktur kala itu yakni Pak Johari Zein dan Pak Chandra Fireta. Melihat Pak Johari dan Pak Chandra kerja sampai larut malam sudah biasa. Begitu juga mereka ikut terjun langsung delivery dan angkat-angkat barang,” kenang Putu Sartika, salah satu karyawan JNE gelombang pertama yang kini masih bekerja di JNE.

Direktur JNE Chandra Fireta (paling kanan) saat syukuran pendirian JNE di tahun 1990.

Sementara itu Direktur JNE, Chandra Fireta mengenang, “Bila malam hari, Pak Johari Zein sering bawa cwie-mie untuk dimakan bersama,” ungkapnya sambil menjelaskan masa-masa kritis JNE di awal-awal tahun pendirian salah satunya ketika barang impor dari Jepang yang dipercayakan kepada JNE berbulan-bulan ditahan bea-cukai. “Kalau customer dari Jepang tersebut waktu itu komplain dan JNE disuruh membayar ganti rugi, mungkin JNE sudah tamat kala itu. Namun berkat komunikasi yang bagus kita jalin dengan customer Jepang tersebut, akhirnya permasalahan bisa selesai,” tambah Chandra.

Baca juga: Kisah Silvi Ermawati, Gabung di JNE Medan Saat Karyawan Baru 4 Orang

Walau tidak lebih dari hitungan jari tangan, para karyawan merasa yakin dan optimis, suatu kelak nanti JNE akan terus membesar. Semua tidak terlepas dari gaya kepemimpinan dan visi besar para pendiri perusahaan kala itu, juga keyakinan untuk menjadi berkah bagi lingkungan sekitarnya, khususnya kepedulian kepada anak-anak yatim.

“Di awal-awal pendirian JNE, saya yang kala itu kerja di TIKI kemudian ditarik untuk membantu JNE yang baru seumuran jagung. Kalau disuruh mengenang, salah satu kenangan bagaimana dulu JNE menangani proyek kiriman tower ke daerah pegunungan di Jawa Tengah yang mendapat apresiasi dari customer karena begitu sulit medannya namun bisa diselesaikan oleh JNE dengan baik dan tepat waktu,” kenang Direktur JNE, Edi Santoso yang mulai merintis karir dari bawah dan menduduki berbagai jabatan sebelumnya akhirnya dipercaya menjadi direktur di JNE. “Jadi kejayaan JNE hari ini melalui proses dan perjuangan panjang,” tandasnya.

Seiring berjalannya waktu, dalam hitungan tidak sampai 5 tahun berjalan di mana volume kiriman jauh lebih banyak dan jumlah karyawan terus meningkat, JNE pindah kantor dengan menyewa sebuah bangunan di Jalan Raya Tomang 3.

Pada fase ini, JNE sudah mulai tumbuh membesar. Karyawan sudah ratusan orang. Di awal 2000, karena perusahaan terus mengalami pertumbuhan yang signifikan, JNE menyewa dua gedung sekaligus, yakni kantor yang terletak di Jalan Raya S. Parman dan Jalan Tomang Raya No. 11. Jalan Tomang 11 diplot sebagai kantor pusat JNE, sementara kantor di Tomang 3 dan Jalan S. Parman dijadikan sebagai kantor operasional. * (bersambung)

Exit mobile version