Indonesia saat ini tengah mengalami krisis atau kesulitan dalam mendapatkan kontainer kosong untuk ekspor. Kelangkaan kontainer ini disebabkan oleh ketidakseimbangan perdagangan internasional. Lantas, apa penyebab kontainer ekspor langka?
Ketua DPP Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan bahwa salah satu penyebab kelangkaan kontainer di Indonesia adalah perdagangan ke Amerika Serikat (AS) dinilai lebih menarik dibandingkan dengan internal Asia.
“International shipment sangat dipengaruhi oleh perdagangan USA, butter and bread industri shipping adalah angkutan ke AS keuntungannya besar sementara angkutan intra Asia kurang menguntungkan sehingga secara urutan daya tarik angkutan adalah menuju AS, Eropa, baru angkutan intra Asia,” ujarnya seperti mengutip dari laman Bisnis.com.
Baca Juga: Jelang Soft Launching, Kemenhub Coba Aktivitas Ekspor Pelabuhan Patimban
Yukki pun mengatakan jika penurunan perdagangan global termasuk aktivitas ekspor AS, menyebabkan industri pelayaran merasionalisasi biaya dengan melakukan penundaan pelayaran. Di samping itu, terjadi ketidak seimbangan antara impor oleh AS dengan ekspor, dimana hal ini mengakibatkan peti kemas bekas impor tertahan di AS, sehingga terjadi kelangkaan petikemas secara global termasuk Indonesia.
Sementara itu, wacana intervensi pemerintah untuk mengatasi kelangkaan kontainer dinilai kurang efektif apabila menggunakan insentif karena perlu biaya sangat besar. Di satu sisi, secara alami naiknya harga pengiriman akan normal pada saat perdagangan dunia sudah pulih kembali, layaknya mekanisme pasar.
“Kelangkaan peti kemas dan ruang kapal memberikan windfall [durian runtuh] kepada operator pelayaran dunia akibat hukum supply and demand contohnya freight dari Jakarta ke Eropa saat ini naik menjadi 500 persen,” paparnya.
Menurut Yukki, tingginya biaya angkutan untuk pelayaran internasional Indonesia turut dipengaruhi oleh perilaku industri dan perdagangan nasional. Salah satu penyebabnya adalah terdapat ketidakcocokan jenis kontainer antara ekspor dan impor di Indonesia.
Baca Juga: Kinerja Kargo Internasional AP Logistik Belum Pulih
“Impornya adalah heavy cargo yang menggunakan petikemas ukuran 20 kaki, sementara untuk ekspor umumnya adalah light comodities seperti alas kaki, elektronik dan furnitur menggunakan petikemas 40 kaki,” katanya.
Dampaknya, setiap kali kegiatan impor, pelayaran harus mereposisi peti kemas 20 kaki dan untuk keperluan ekspor harus mendatangkan peti kemas kosong 40 kaki yang semuanya diperhitungkan dalam biaya angkut.
Kontainer Langka, Ganggu Ekspor Indonesia
Bila dihitung, kurang lebih sembilan bulan sudah Indonesia mengalami kelangkaan kontainer. Hal ini tentu membuat kegiatan ekspor impor menjadi sulit. Kelangkaan ini sejatinya bukan cuma dialami oleh Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.
Menurut Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, kelangkaan kontainer ini membawa imbas berupa keterlambatan ekspor sejumlah komoditas. Sebelumnya, pengusaha hanya membutuhkan waktu satu minggu utnuk memesan kontainer. Namun, dengan adanya kelangkaan ini, proses pemesanan menjadi dua bulan.
Alhasil, operasional kapal angkut berukuran besar dikurangi demi memangkas biaya operasional. Perusahaan lebih memilih mengoperasikan kapal angkut kecil. Saat kapal yang digunakan lebih kecil, Benny bilang kapasitas pengangkutan kontainer semakin terbatas juga. Demikian juga untuk pengangkutan kontainer kosong. Di samping itu, kelangkaan juga disebabkan masih belum normalnya aktivitas pelabuhan dan angkutan darat di sejumlah negara. Ini menghambat pengembalian kontainer ke kapal angkut.
Baca Juga: Kinerja Angkutan Laut Tumbuh, SCI: Perlu Tingkatkan Efisiensi