“Maaf, ini dengan Bapak Casmudi”
“Oh ya, benar pak. Dengan siapa ya?”
“Ini dari JNE akan mengirim paketan sepeda. Tetapi, alamatnya sebelah mana ya pak”
“Bapak posisinya di mana ya”
“Ini saya mau masuk gang Perkutut pak. Tapi, alamat Bapak sebelah mana ya”
“Bapak tunggu sebentar ya. Saya akan menyusul”
“Baik pak”
Percakapan di samping akan saya ingat selalu hingga sekarang. Percakapan saya dengan kurir PT. JNE (Jasa Nugraha Ekakurir) 2 tahun lalu. Berharap membuat saya bahagia, tetapi berubah menjadi rasa iba yang tiada tara. Mengapa? Saya mengirim paketan sepeda dari Surabaya ke Denpasar untuk anak saya yang masih SD.
Saya sudah berjanji kepada kurir. Bahwa, paketan sepeda tersebut akan dijemput di depan gang masuk tempat tinggal saya. Sungguh, gang masuk tempat tinggal saya hanya pas untuk satu jalur kendaraan roda empat. Di samping kanan dan kirinya adalah selokan kecil, yang lebarnya sejengkal jemari dewasa.
Bukan itu saja, alur gang masuk sepanjang 100 meter tersebut berbelok beberapa kali. Hanya orang yang berpengalaman atau penghuni setempat yang memahami alur jalan. Percaya atau tidak, bagi orang yang baru “dijamin” akan terjebak dalam gang. Tragisnya, kendaraan roda empat sering menyerempet tembok gang. Padahal tembok gang tersebut adalah dinding rumah.
Ketika saya menjemput kurir JNE, saya berpikir bahwa kurir tersebut akan sabar menunggu. Ternyata, beliau nekad melewati gang masuk tersebut, untuk sampai cepat ke alamat saya. Baru 5 meter berjalan, sepertinya supir tidak bisa mengendalikan kendaraan. Dan, kendaraan bagian belakang tersebut penyok karena menyerempet tembok gang sebelah kanan.
Saya kaget, karena mobil putih JNE tersebut tidak bisa bergerak maju atau mundur. Saya melihat wajah kurir seketika pucat, karena kondisi kendaraan seperti terjepit. Akhirnya, saya pun menjadi tukang parkir dadakan. Meredakan ketegangan pengguna kendaraan yang membunyikan klakson berkali-kali. Mereka hendak masuk dan keluar gang. Dramatis, kondisi tersebut bisa dikendalikan setelah 30 menit lamanya.
Baca Juga: Kasih Tulus Keluarga Paulus Madur untuk Anak Kolong Jakarta
Ketika saya menjemput kurir JNE, saya berpikir bahwa kurir tersebut akan sabar menunggu. Ternyata, beliau nekad melewati gang masuk tersebut, untuk sampai cepat ke alamat saya. Baru 5 meter berjalan, sepertinya supir tidak bisa mengendalikan kendaraan. Dan, kendaraan bagian belakang tersebut penyok karena menyerempet tembok gang sebelah kanan.
Saya kaget, karena mobil putih JNE tersebut tidak bisa bergerak maju atau mundur. Saya melihat wajah kurir seketika pucat, karena kondisi kendaraan seperti terjepit. Akhirnya, saya pun menjadi tukang parkir dadakan. Meredakan ketegangan pengguna kendaraan yang membunyikan klakson berkali-kali. Mereka hendak masuk dan keluar gang. Dramatis, kondisi tersebut bisa dikendalikan setelah 30 menit lamanya.
“Pak, terima kasih banget sudah membantu memarkirkan mobilnya”.
Saya merasa bersalah ketika menerima paketan sepeda. Saya sempat bertanya, apakah kalau kondisi penyok kendaraan operasional menjadi tanggung jawab kurir. Ia menjawab hanya dengan senyuman. Sungguh tegar sang kurir. Demi mengantar paketan sepeda saya, dia harus berkorban dengan kondisi mobil yang tidak diinginkan. Semoga dia tetap semangat menjalankan tugas dan lebih berhati-hati dalam bekerja.
“Mas, hati-hati ya. Semoga selamat dan bertambah rejeki”
Kalimat yang sempat saya lontarkan kepada kurir. Agar, mereka tetap konsentrasi dalam menjalankan tugas mulianya. Saya menyadari kondisi hatinya, seandainya saya berada di pihak yang mengalaminya.
Berbagi
Saya berlangganan dengan JNE sejak saya merantau ke Bali, sekitar tahun 2009 lalu. Tentu, karena pelayanan yang prima dan biaya kirim yang bersahabat. Apalagi, wawasan saya tentang JNE semakin bertambah. Ketika, saya beberapa kali menghadiri acaranya di Bali. Saya jadi tahu tentang company profile dan program-program perusahaan.
Salah satu program JNE yang banyak memberikan manfaat adalah perhatian perusahaan terhadap kondisi UMKM. Di mana, pengiriman barang yang diproduksi oleh UMKM sangatlah penting. Agar, bisa cepat sampai ke tangan pelanggan. Apalagi, JNE berharap besar, agar UMKM Indonesia bisa menjadi perusahaan besar yang bersaing di tingkat global.
Itulah sebabnya, tekad JNE untuk melayani pelaku UMKM dengan sebaik-baiknya. Perusahaan menyadari bahwa kontribusi UMKM begitu besar terhadap pendapatan negara. Lebih dari 60 persen pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM. Dan, kondisi tersebut menjadi perhatian penting JNE.
Bukan hanya manfaat JNE yang besar bagi para pelaku usaha, dalam mengantarkan kiriman barang. Tetapi, hal yang menarik dari JNE adalah sosok sang pendirinya. Dialah Bapak Johari Zein yang telah mendirikan perusahaan tersebut hingga menjadi perusahaan ternama dalam pengiriman logistik.
Beruntung, saya sempat bertemu dan berkomunikasi dengan sang pendiri JNE. Saat menjadi pembicara di Bali, untuk meresmian ekspansi bisnisnya. Sosok mualaf yang low profile dan bertekad untuk membuka banyak lapangan kerja. Gaya bicara beliau tidaklah menggebu-gebu ala motivator. Pembawaaanya yang kalem, tetapi sepak terjang beliau mudah dicerna.
Baca Juga: Semangat Paperboy Menyebarkan Pengetahuan dan Kebahagiaan Lewat Kabaca
Saya pun pernah melihat salah satu video di Youtube yang berisi tentang jiwa kedermawanan beliau. Di mana, beliau membangun puluhan masjid di berbagai kota di Indonesia. Sungguh, tindakan tersebut tidak pernah beliau ungkapkan dalam sebuah acara resmi. Ada pepatah, berbuatlah kebaikan, hingga tangan kirimu tidak melihat apa yang dilakukan oleh tangan kananmu.
Bukan hanya jiwa kedermawanan sang pendiri JNE. Tetapi, jiwa kreatifitas dan naluri bisnisnya sungguh luar biasa. Beliau selalu melakukan inovasi untuk maintenance bisnisnya di era digital ini. Terpenting, membuka lapangan kerja untuk banyak orang.
Inpirasi dari Bapak Johari Zein menjadi pemacu saya, untuk semampu saya berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Jika tidak bisa berbagi dengan materi, maka berbagi ilmu dan informasi tetaplah berguna. Salah satu hal yang menarik buat saya adalah memberikan pemahaman kepada banyak orang. Khususnya, kepada generasi milenial, tentang pentingnya bijak bermedia sosial.
Kita menyadari bahwa media sosial sudah menjadi kebutuhan primer. Kita bisa mendapatkan banyak informasi penting dari media sosial. Tetapi, yang harus diperhatikan adalah tidak semua orang menyadari dan bijak dalam menggunakannya.
Masifnya informasi hoax yang menyesatkan adalah satu hal yang perlu diperhatikan banyak orang. Karena, dalam media sosial ada pepatah menarik yang harus diketahui banyak orang. Yaitu, jemarimu adalah harimaumu.
Saya berusaha menyadarkan generasi milenial, yang hidup tidak pernah jauh dari gadget. Salah satu hal yang saya lakukan adalah menjadi pembicara di salah satu sekolah penerbangan, yaitu SMK Cakra Nusantara Denpasar. Saya berbagi ilmu dan informasi agar siswa sekolah lebih paham tentang manfaat dan bahayanya media sosial.
Saya katakan pada siswa sekolah yang ganteng dan cantik itu, Berhati-hatilah dengan media sosial, gunakanlah dengan bijak. Fakta menyebutkan bahwa hampir semua mempunyai akun media sosial. Namun, mereka belum bisa mengendalikan media sosialnya. Mereka sering terbawa emosi sesaat dan ingin membuat status kemarahan atau curhat di media sosial. Di mana, status di media sosial tersebut bisa merugikan sendiri dan orang lain.
Memberi
Peribahasa “lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah” menjadi alasan kuat bagi siapapun. Bahwa, memberi lebih baik dari pada meminta. Tentu, tindakan memberi tersebut dilakukan dengan rasa ikhlas. Tanpa adanya unsur paksaan dari pihak lain. Dan, tidak berharap sanjungan atau penghormatan dari orang lain.
Saya pernah diundang salah satu NGO (Non Government Organization) yang berpusat di Jakarta, dan cabangnya di seluruh Indonesia. Di mana, fokus kerja NGO tersebut adalah mengurusi masalah anak yang kehilangan pengasuhan orang tuanya. Anak-anak tersebut diasuh oleh “ibu angkat” dalam sebuah rumah, dan diperlakukan seperti anak kandungnya.
Saya hampir meneteskan air mata, saat melihat bayi yang berumur 2 bulan. Sengaja dititipkan oleh ibu kandungnya, karena tidak mampu mengurusnya. Sang ibu mempunyai masalah dengan suaminya. Ia takut tidak bisa mengurusi bayinya dengan baik. Akhirnya, dengan berat hati dititipkan ke perusahaan agar diberi pengasuhan yang baik.
Kehadiran di rumah pengasuhan, dengan tujuan untuk memberi dukungan moral. Dan, bisa menginformasikan lebih luas ke masyarakat di ranah digital. Sungguh, kedatangan saya dan 4 blogger lainnya membuat anak-anak tersenyum dan gembira. Mereka merasa seperti bertemu dengan saudara atau orang tua kandungnya.
Tetap memberi semangat kepada mereka. Bahwa, kehilangan pengasuhan orang tua kandungnya, bukan berarti kehilangan masa depan. Banyak orang “di luar sana” yang tetap peduli dan memberi bantuan semampunya. Jika, tidak mampu memberikan bantuan materi, maka membuat kegembiraan anak-anak menjadi hal mulia.
Saya dan teman-teman diajak menginap di salah satu rumah yang telah disediakan perusahaan. Dengan tujuan agar bisa melihat langsung dan memahami kondisi anak-anak tersebut. Juga, agar anak-anak tersebut tetap semangat dalam meraih mimpi mereka. Layaknya anak-anak yang selalu bersanding dengan pengasuhan orang tua kandungnya.
Menyantuni
Setiap orang mempunyai nasib kehidupan yang berbeda-beda. Masih banyak orang mempunyai garis nasib yang kurang beruntung dibandingkan diri kita. Fakir miskin adalah salah satu bagian saudara yang membutuhkan uluran tangan kita. Kita berusaha untuk menyantuni mereka semampu kita.
Sebelum pandemi Covid-19, sebuah komunitas blogger di Bali berniat untuk memberikan santunan. Kepada para petani garam Kusamba Klungkung. Kebetulan, saya adalah anggota dari komunitas blogger tersebut. Kami mengadakan acara saat Hari Kemerdekaan RI di kawasan petani garam Kusamba.
Hal menarik adalah saya melakukan pekerjaan, yang dilakukan oleh para petani garam tersebut. Dari mengambil air laut ke tempat penampungan, hingga mengangkat pasir. Jangan ditanya beratnya, pundak anda dijamin lecet. Bukan itu saja, kaki terasa gemetaran karena menahan beban yang berat.
Saya beruntung, bisa merasakan pekerjaan yang dilakukan para petani garam tersebut. Dan, bisa “sedikit” meringankan kerja mereka. Para petani sering menertawakan saya dan teman-teman. Ketika, kami terjatuh membawa beban yang terlalu berat. Membuat tertawa dan senyum mereka merupakan sebuah kebanggaan yang tidak ternilai harganya. Mereka bisa santai sejenak, melihat saya melakukan pekerjaan mereka.
Acara yang membuat bangga adalah saat komunitas kami menyantuni mereka. Bingkisan sembako untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun, kami tidak bisa memberikan hal yang berlebihan, layaknya perusahaan besar. Tetapi, mampu menyantuni mereka dengan kemampuan yang komunitas kami miliki adalah sebuah kebahagiaan.
“Membantu orang lain senyum dan bahagia tidak perlu menunggu kaya”
Sebuah kalimat bijak yang selalu menjadi renungan kita bersama. Kita tidak tahu, kapan kita kaya. Karena, setiap saat lonceng kematian akan menjemput makhluk bernyawa. Tanpa manusia tahu dan menghindar barang sedetikpun. Masih menunggu kaya untuk berbagi kebahagiaan?
Baca Juga: Meski Aral Melintang, JNE Tetap Komitmen Antar Kebahagiaan Hingga Pelosok Negeri