JNEWS – Di Palopo, Sulawesi Selatan, berdiri sebuah bangunan megah yang menyimpan jejak panjang sejarah sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di Bugis. Ya, itulah Istana Kedatuan Luwu.
Dari luar, tampilannya mungkin tampak seperti bangunan kolonial biasa. Namun, di balik dinding tebal dan halamannya yang luas, tersimpan kisah yang begitu kaya tentang kekuasaan, kebanggaan, dan perubahan zaman.
Istana Kedatuan Luwu: Pusat Pemerintahan dan Simbol Identitas Luwu

Istana Kedatuan Luwu adalah salah satu peninggalan sejarah penting di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Bangunan ini berdiri megah sejak awal 1920-an, dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda di atas tanah bekas Saoraja, yaitu istana lama Kerajaan Luwu yang seluruhnya terbuat dari kayu.
Menurut cerita masyarakat setempat, Saoraja dahulu memiliki 88 tiang penyangga besar, melambangkan kekuatan dan kebesaran kerajaan. Namun, ketika Belanda datang, bangunan kayu tersebut diratakan dengan tanah, lalu digantikan dengan istana baru yang permanen dan bergaya Eropa.
Secara arsitektur, Istana Kedatuan Luwu mencerminkan gaya kolonial khas Belanda. Dindingnya tebal dengan jendela-jendela besar, dan bentuk bangunannya simetris.
Pembangunan ini konon dimaksudkan untuk menarik simpati dan menjaga hubungan baik dengan penguasa Kerajaan Luwu. Tapi bagi sebagian besar bangsawan Luwu, istana tersebut justru dianggap sebagai simbol pergeseran kekuasaan. Mereka memandangnya sebagai upaya halus Belanda untuk menghapus jejak sejarah kejayaan Luwu, sebuah kerajaan besar yang dulu disegani di jazirah Sulawesi, bahkan dikenal luas di Nusantara.
Meski dibangun dengan gaya Eropa, nilai sejarah yang melekat di istana ini tetap kuat. Istana Luwu menjadi pusat pemerintahan dan pengendalian wilayah Kesultanan Luwu yang cukup luas.
Penguasanya bergelar Datu, dan di tingkat yang lebih tinggi disebut Pajung. Struktur kekuasaan ini menunjukkan sistem pemerintahan yang teratur, dengan Datu memimpin wilayah-wilayah di bawah kendali Pajung sebagai penguasa tertinggi. Istana ini bukan hanya tempat tinggal raja, tetapi juga pusat kegiatan politik, adat, dan budaya masyarakat Luwu pada masa itu.
Tak jauh dari istana, berdiri pula Masjid Jami Palopo, salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan. Masjid ini unik karena seluruh dindingnya tersusun dari batu tanpa semen, hanya menggunakan perekat alami. Usianya sudah ratusan tahun dan menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Luwu dari masa kerajaan hingga masa kolonial.
Keberadaan masjid tua ini melengkapi citra kawasan istana sebagai pusat sejarah dan spiritual masyarakat Luwu, yang hingga kini masih dijaga dan dihormati oleh penduduk setempat.
Baca juga: Museum La Pawawoi: Dari Istana Raja Bone Menjadi Pusat Sejarah
Berkunjung ke Istana Kedatuan Luwu
Dikutip dari situs Disbudpar Palopo, Istana Kedatuan Luwu berlokasi di pusat Kota Palopo, tepatnya di Kelurahan Amassangan, Kecamatan Wara Timur. Lokasinya berada di Jalan Andi Tenri Padang, sebuah kawasan yang kini menjadi salah satu titik bersejarah sekaligus kebanggaan masyarakat Luwu.
Letaknya yang strategis di tengah kota membuat istana ini mudah dijangkau dan sering dikunjungi, baik oleh wisatawan lokal maupun dari luar daerah.
Pada 26 Juli 1971, bagian depan istana ini resmi diubah menjadi Museum Batara Guru. Peresmian dilakukan oleh Bupati Luwu saat itu, Andi Achmad. Langkah ini menjadi awal dari upaya pelestarian warisan sejarah Luwu agar tetap hidup di tengah masyarakat. Nama Batara Guru sendiri diambil dari tokoh legendaris dalam mitologi Bugis-Luwu yang dianggap sebagai leluhur dan simbol kebijaksanaan.
Di kawasan istana ini juga terdapat beberapa bangunan penting seperti Salassae dan Langkanae, yang sama-sama menyimpan nilai sejarah tinggi dan sering digunakan untuk kegiatan adat atau acara budaya.
Kini, Istana Kedatuan Luwu telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Artinya, tempat ini menjadi bagian dari identitas masyarakat Luwu yang harus dijaga bersama.
Siapa pun boleh berkunjung, karena istana ini terbuka untuk umum. Namun, demi menjaga ketertiban dan kelestariannya, Dinas Kebudayaan memiliki kewenangan untuk mengatur izin masuk ke area dalam istana. Tujuannya bukan untuk membatasi pengunjung, melainkan untuk memastikan agar setiap orang yang datang tetap menghormati nilai-nilai sejarah yang melekat di tempat ini.
Kalau hanya ingin berfoto di halaman atau di depan bangunan istana, pengunjung tidak perlu izin khusus. Area luar memang dibuka bebas untuk siapa saja yang ingin menikmati suasana atau sekadar mengabadikan momen.
Namun, jika ingin masuk ke dalam istana atau Salassae, pengunjung wajib mengajukan surat permohonan ke Dinas Kebudayaan terlebih dahulu. Setelah izin keluar, akan ada petugas pendamping yang menjelaskan sejarah, fungsi ruangan, hingga makna simbol-simbol yang ada di dalamnya.
Ada pula aturan khusus bagi siapa saja yang ingin masuk ke ruang dalam. Pengunjung diwajibkan melepas alas kaki dan mengenakan sarung, sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat yang dianggap sakral dan bersejarah.
Aturan ini sederhana, tapi sarat makna. Selain menjaga kebersihan, tindakan itu juga mencerminkan rasa hormat kepada warisan leluhur yang masih dijaga hingga kini.
Baca juga: Istana Ternate: Jejak Kejayaan Kesultanan di Maluku Utara
Dengan aturan yang tertib dan sikap saling menghormati, Istana Kedatuan Luwu tetap menjadi tempat yang hidup. Bukan sekadar bangunan peninggalan masa lalu, tapi juga ruang yang terus menyatukan masyarakat dengan akar budayanya.
Bagaimana? Tertarik untuk mengunjungi Istana Kedatuan Luwu untuk melihat lebih dekat sejarah salah satu kerajaan tertua di Bugis ini?