JNEWS – Rasa rindu pada sang adik yang sekolah di Tanah Jawa sudah terobati setelah Soeprapto bertemu dengan Soelasmo. Hanya saja, impian besarnya masih terus terngiang-ngiang dalam hati dan pikirannya. Soelasmo pun mengajak kakaknya tersebut keliling Yogyakarta dan juga daerah sekitarnya seperti Klaten.
“Saya di Yogya waktu itu kos. Kala itu saya ajak Pak Soeprapto melihat kehidupan di Kota Yogyakarta. Lalu juga ke Klaten, di sana kami melihat hamparan luas ladang tebu. Begitu juga hamparan sawah luas yang ditanami padi. Kami juga melihat tempat penggilingan tebu di daerah Delanggu yang diproses jadi gula. Mampir juga ke beberapa penggilingan padi, karena kakak saya ingin melihat peluang bisnis atau usaha katanya waktu itu,” cerita H. Soelasmo sambil nyeruput secangkir teh hangat di kantor JNE Slipi, Jakarta Barat suatu ketika saat ditemui JNEWS.
Sebagai catatan, kantor JNE Slipi ini adalah gedung pertama yang dibeli oleh JNE sekitar tahun 2000 dan difungsikan sebagai kantor operasional setelah kantor JNE Tomang 3 sudah tidak memadai lagi. Di kantor inilah dulu (alm) H. Soelasmo yang kala itu, di tahun 2000-an menjabat sebagai Direktur Operasional dan SDM JNE biasa berkantor. Gedung JNE Slipi kini difungsikan sebagai kantor dari Divisi Customer Care JNE.
Dalam kesempatan lain, H. Soeprapto berkisah kepada JNEWS bagaimana dirinya mendapat inspirasi bisnis setelah berkeliling melihat hamparan tebu, tanaman padi dan juga penggilingan gula maupun padi. Dirinya pun tertarik dan memutuskan akan berdagang gula dan beras untuk dijual ke Jakarta.
Setelah sekitar satu bulan menghabiskan waktu di Yogyakarta dan mempelajari tentang seluk beluk usaha dagang beras dan gula, akhirnya Soeprapto muda pamit untuk kembali ke Jakarta. Bekalnya, ia sudah tahu di mana mengambil beras langsung dari penggilingan padi yang ada di Yogya dan Klaten begitu juga dengan pabrik gula. Di Ibu Kota, tepatnya di kawasan Roxy, Jakarta Barat ia pun merintis usaha berdagang komoditas gula dan beras yang didatangkan dari Klaten, Jawa Tengah maupun dari Yogyakarta.
Namun, perjalanan usahanya tidak semulus yang dibayangkan. Gonjang-ganjing perpolitikan Jakarta yang memanas di pertengahan 1960-an turut ia rasakan dan membuat usahanya kurang berkembang. “Ternyata memulai berbisnis itu tidak semudah yang saya kira dan bayangkan sebelumnya,” ungkap H. Soeprapto saat dulu ditemui JNEWS di Yatuna berkisah tentang masa-masa awal perjuangannya membangun bisnis di Tanah Jawa.
Namun, selama berdagang di Jakarta, Soeprapto muda juga memperdalam ilmu. Ia pun mengambil kursus Bon A dan Bon B, sejenis kursus pembukuan (akuntansi) di zaman itu. Dalam beberapa waktu kemudian ia pun mendapat sertifikat kelulusan dari tempatnya kursus tersebut dan sudah mahir dalam administrasi pembukuan.
Baca juga: Perjalanan 35 Tahun JNE (1): Sepucuk Surat dari Tanah Jawa
Melihat usahanya kurang berkembang malah cenderung merugi, akhirnya Soeprapto memutuskan untuk banting setir menjadi karyawan kantoran di sebuah perusahaan sebagai administrasi pembukuan. Ia dikenal ulet dan rajin serta sebagai pekerja keras. Dari sinilah, ia mengasah diri dan mempelajari bagaimana roda sebuah perusahaan dijalankan, termasuk pengaturan arus kas (cashflow) perusahaan agar perusahaan bisa profit dan tumbuh berkembang.
Secara ekonomi kehidupan Soeprapto mulai meningkat. Setelah merasa cukup dengan gaji atau pendapatan yang diterima sebagai karyawan kantoran, akhirnya Soeprapto pun melepas masa lajang dengan mempersunting Nuraini sebagai pendamping hidupnya. Nuraini sendiri adalah seorang gadis yang juga berasal dari Kepulauan Bangka, tepatnya di daerah Kurau, sebuah kawasan pesisir di Kabupaten Bangka Tengah.
Bersama sang istri dan modal yang pas-pasan kelak dikemudian waktu Soeprapto akhirnya membuka perusahaan jasa pengiriman barang bernama TIKI sekitar tahun 1970 dengan kantor pertamanya di Jalan Anggrek Neli Murni, kawasan Slipi, Jakarta Barat. (Bersambung)
