Pendiri JNE, H. Soeprapto Soeparno banyak meninggalkan kisah dan kenangan bagi keluarga besar JNE. Semasa hidup almarhum dalam berbagai kesempatan selalu memberi nasihat dan petuah spiritual bagi para pimpinan perusahaan maupun semua karyawan JNE. Ajaran-ajarannya, tetap menyala hingga sekarang. Berikut kisahnya yang dirangkum JNEWS dari berbagai sumber.
Mendung tipis bergelayut di langit, seiring kabut yang mulai turun menyelimuti nun di sebuah desa terpencil di daerah pegunungan, Bangka Belitung. Seorang lelaki bernama Soeparno tengah tergopoh-gopoh membawa sang isteri tercinta yang sedang hamil tua dan sudah waktunya melahirkan.
Soeparno segera bergegas turun gunung membawa isterinya menuju sebuah desa untuk mencari bidan. Kala itu tahun 1934, bangsa Indonesia masih dalam cengkeraman penjajah Belanda. Soeparno adalah seorang patriot, yang tengah ikut berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia berjuang terutama lewat jalur gerakan pendidikan dan juga gerakan politik.
Baca juga : Antarkan Kebahagiaan dengan Berbagi Ilmu Membaca Al Quran
Selain karena terbatasnya peralatan medis dan jarak yang jauh dari gunung ke desa, sang isteri akhirnya melahirkan di sebuah gubuk rumah penduduk yang ditemui dalam perjalanan mencari bidan di desa terdekat. Proses kelahirannya begitu dramatis, sampai datangnya bidan.
Tangis bayi yang pecah dalam kesunyian gubuk, membuat air mata Soeparno menetes antara haru dan bahagia. Karena sang jabang bayi lahir dengan selamat. Awalnya jabang bayi yang dilahirkan tersebut diberi nama Mohammad Ansori. Namun karena sejak kecil terus sakit-sakitan, seperti keyakinan orang Jawa jaman dahulu, kemudian namanya dirubah menjadi Soeprapto Soeparno. Ia anak nomor 4 dari 11 bersaudara.
“Kakek saya kala itu dari Jawa terpanggil untuk ikut berjuang dengan jabatan Ketua Pengurus Muhammadiyah Cabang Palembang. Kemudian pindah ke Muntok, sebuah kota kecil 132 km dari kota Pangkal Pinang di sebelah barat Pulau Bangka,” ungkap Presiden Direktur JNE, Mohamad Feriadi mengenang kisah perjuangan sang kakek, Rabu (22/9/2021).
“Setelah Indonesia merdeka, kakek saya pernah mendirikan sekolah Taman Siswa dan Pembina Pandu (Pramuka) di Bangka. Taman Siswa yang didirikannya pernah mendapat kunjungan Ki Hajar Dewantara dan Dr. Soetomo kala itu,” tambahnya.
Baca juga : Terus Perangi Covid-19, JNE Donasikan 10 Ribu Hand Sanitizer ke Wisma Atlet
Karena aktivitas politiknya sebagai ketua Partai Nasional Indonesia di Muntok, pada 1948 ketika terjadi agresi militer Belanda ke-2, Soeparno ikut ditangkap Belanda bersama para pemimpin Republik Indonesia kala itu, sebagai tahanan politik dan dibuang ke puncak Gunung Manumbing.
Sejak kecil, Soeprapto Soeparno menjadi anak yang shaleh, berbakti kepada orang tuanya dan selalu ingat pesan sang ayah yang merupakan seorang pejuang kemerdekaan yakni, kelak bila dirinya sudah besar untuk ikut menyejahtekan rakyat Indonesia. *