Hari yang dinanti pun tiba, hari terakhir di bulan Ramadhan. Sarwani segera bergegas. Lelaki tuna netra yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang pijat di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat tersebut mengontak tukang ojek langganannya untuk mengantarkan ke Yatuna.
Di sana telah menanti: ratusan tuna netra lain, anak-anak yatim, para janda miskin dan tentu hidangan nasi maupun mie goreng sebagai menu buka puasa dari belasan pedagang nasi goreng keliling yang sudah dipesan oleh pengurus Yatuna.
Setelah shalat Magrib dan buka puasa usai, mulailah Sarwani dan teman-temannya serentak melantunkan kumandang takbir. Gema takbir yang memecah malam takbiran di Yatuna, sudah menjadi rutinitas puluhan tahun sejak yayasan ini didirikan.
Kian malam, kian banyak orang yang berduyun-duyun datang ke Yatuna, baik itu warga sekitar maupun sebagian karyawan TIKI dan JNE. Malam takbiran, adalah salah satu tradisi H. Soeprapto dan keluarganya memberi santunan sebagai bekal bagi para tuna netra, anak yatim, janda miskin dan orang-orang yang membutuhkan uang sebagai bekal esok merayakan Idul Fitri. H. Soeprapto berharap mereka semua bahagia menyambut hari kemenangan.
“Sudah sejak dulu, setiap malam takbiran di sini selalu penuh dengan ribuan orang yang mendapat sedekah dari Pak Haji Soeprapto dan keluarganya. Bahkan jumlahnya dari tahun ke tahun yang datang selalu meningkat. Sebelum pandemi Covid-19, bisa sampai lebih dari 3.000 orang,” ungkap Salim, salah satu pegawai yang sudah 20 tahun mengurus Yatuna saat berbincang dengan JNEWS, (Rabu 3/11/2021).
Menurut Salim, saat ini ada lebih dari 200 orang yang rutin disantuni Yatuna, baik itu tuna netra, anak yatim, para janda maupun fakir miskin. “Karena pandemi, yang biasanya ada pengajian dan santunan mingguan, sekarang dibuat sebulan sekali santunannya,” terang Salim.
Sementara itu, H. Suardi, pengurus senior yang mengaku sudah mengenal H. Soeprapto sejak 1972 silam, berkisah tentang bagaimana perjuangan H. Soeprapto babat alas demi mendirikan Yatuna.
Baca juga : Berbagi Kasih Natal dengan Opa – Oma Penghuni Panti Lansia
Kala itu, ungkap H. Suardi, tahun 1979 kawasan Kampung Makasar, Kramat Jati Jakarta Timur masih sebagian besar berupa hamparan tanah kosong dengan rerimbunan pepohonan, kebun-kebun dan persawahan. “Pak Soeprapto datang ke sini membeli sebidang demi sebidang tanah yang sekarang luasnya sudah sekitar 6 hektar untuk dibangun Yatuna.
Dulu berupa kebun dan sawah. Pak Soeprapto juga membuka akses jalan umum agar bisa dilalui kendaraan. Itu jalan aspal lebar di depan Yatuna yang membelah pekarangan Yatuna sehingga menjadi dua bagian, dulunya hanya pematang sawah,” kenang H. Suardi.
“Waktu itu Pak Soeprapto sekaligus menyalurkan hobinya memelihara ikan, kerbau, kuda dan sebagainya. Lalu juga membangun mushola yang sekarang berkembang tambah luas menjadi Masjid Jami Soeprapto Soeparno,” tambahnya.
Selain menyantuni para anak yatim dan kaum dhuafa lainnya di Yatuna, H. Soeprapto juga sering mengajak keluarganya mendatangi rumah-rumah anak yatim atau para janda miskin untuk memberikan santunan, terutama saat bulan Ramadhan tiba. Bahkan tidak jarang ia buka puasa bersama di rumah anak yatim atau janda miskin.
“Pak Soeprapto dulu sering menyebut bahwa Yatuna sebagai “gunung emas” atau pusatnya amal kebaikan. Di Yatuna para calon jamaah haji asal Pangkal Pinang juga menginap secara gratis sebelum mereka terbang ke Tanah Suci Mekah,” beber H. Suardi yang sudah terlihat renta dengan tongkat di tangan sebagai penopang saat berjalan.
Seiring berjalannya waktu dan TIKI maupun JNE kian maju berkembang, maka semakin banyak juga sedekah yang disalurkan baik langsung ke berbagai tempat maupun lewat Yatuna. Agar memudahkan saat penyaluran santunan, maka para tuna netra, anak yatim dan lainnya diundang berkumpul di Yatuna baik itu secara rutin, maupun saat momen-momen tertentu sepeti di malam takbiran Idul Fitri.
Sarwani adalah salah satu tuna netra yang selalu bergegas, bila panggilan gema takbir itu sudah tiba. Bukan hanya saat malam Idul Fitri, esok harinya Sarwani dan yang lainnya juga datang kembali ke Yatuna untuk bersalaman dan berlebaran dengan H. Soeprapto dan keluarga besarnya yang selalu melakukan open house di Yatuna pada hari pertama perayaan Idul Fitri.
“Saat Bapak masih ada maupun setelah meninggal dunia, tradisi ini akan selalu ada karena sesungguhnya bukan kami atau JNE yang membantu mereka. Anak-anak yatim, tuna netra, ibu janda miskin dan lainnya, justru merekalah yang membantu keluarga kami dan juga JNE bisa meraih kesuksesan sampai sekarang”, ungkap Presiden Direktur JNE, M. Feriadi.
Feriadi pun melanjutkan, “Kenapa? Karena doa-doa mereka mustajab, doa-doa mereka didengar dan dikabulkan Allah SWT. Saat mereka berdoa semoga JNE maju dan berkembang, saat itulah pintu langit terbuka dan limpahan rezeki bisa JNE dapatkan,” pungkasnya suatu ketika saat ditemui JNEWS di sela-sela pembagian sedekah malam takbiran di Yatuna.*
Baca juga : Jejak Spiritual H. Soeprapto Soeparno (Bagian 6)