JNEWS – Cirebon dikenal dengan tiga keraton besarnya, yaitu Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, dan Keraton Kacirebonan. Namun, ada satu keraton lain yang sering terlewat dari perhatian banyak orang, yaitu Keraton Kaprabonan.
Keraton ini memang tidak sebesar tiga keraton lainnya. Bahkan, letaknya tersembunyi. Namun, jangan salah, keraton ini memiliki kisah yang panjang. Dari luar mungkin tampak sederhana, tetapi di dalamnya tersimpan sejarah yang tidak kalah penting bagi perjalanan budaya Cirebon.
Kisah Awal Keraton Kaprabonan dan Para Pendirinya

Keraton Kaprabonan punya cerita panjang yang dimulai pada abad ke-17. Tempat ini berdiri berkat Pangeran Adipati Kaprabon, putra mahkota Kesultanan Kanoman dan anak dari Sultan Kanoman I, Muhammad Badrudin Kartawijaya. Pada awalnya, Pangeran Adipati Kaprabon sebenarnya dipersiapkan untuk naik takhta sebagai sultan berikutnya. Namun, keputusan besar yang ia ambil justru mengubah arah hidupnya dan masa depan wilayah itu.
Alih-alih menerima gelar sultan, Pangeran Adipati Kaprabon memilih meninggalkan keraton. Ia ingin menekuni dan memperdalam ajaran Islam secara lebih serius.
Jabatan pemimpin Keraton Kanoman pun ia serahkan kepada adiknya, Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadaruddin. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Pada masa itu, suasana politik di dalam keraton sedang panas-panasnya. Belanda memberikan banyak tekanan dan membuat keadaan menjadi tidak stabil. Situasi ini ikut mendorong Pangeran Adipati Kaprabon untuk menjauh dari hiruk pikuk politik yang rumit.
Setelah meninggalkan keraton, ia kemudian mendirikan sebuah peguron atau tempat pembelajaran. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Keraton Kanoman. Di tempat inilah ia mengajar dan menyebarkan ajaran Islam bersama para pengikutnya.
Seiring berjalannya waktu, peguron ini berubah menjadi pusat belajar para intelektual keraton yang ingin memperdalam agama. Karena semakin banyak orang yang datang, Pangeran Adipati Kaprabon membangun sebuah langgar kecil. Langgar itu digunakan sebagai tempat belajar dan beribadah bagi para muridnya.
Waktu berjalan, dan kepemimpinan Keraton Kaprabonan pun berganti dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hingga pada tahun 2011, muncul pernyataan penting dari Pangeran Hempi Raja Kaprabon, pemimpin keraton saat itu. Ia menyatakan bahwa Kaprabonan bukan hanya sebuah peguron atau tempat pengajaran Islam, tetapi juga merupakan sebuah kerajaan. Pernyataan ini tidak dibuat sembarangan. Hempi mendasarkan klaim tersebut pada surat dari pejabat Cirebon pada masa pendudukan Jepang. Surat itu menyebutkan bahwa Kaprabonan diakui sebagai sebuah kerajaan, bukan sekadar tempat belajar.
Pangeran Hempi wafat pada 2021. Setelah kepergiannya, Keraton Kaprabonan menunjuk Pangeran Handi sebagai penerus. Handi adalah adik dari Hempi. Dengan pengangkatan ini, perjalanan panjang Kaprabonan sebagai bagian dari sejarah Cirebon kembali diteruskan oleh generasi berikutnya.
Baca juga: Keraton Kanoman: Jejak Sejarah dan Budaya Cirebon yang Masih Terjaga
Berkunjung ke Keraton Kaprabonan
Keraton Kaprabonan berada di Jalan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Lokasinya memang agak tersembunyi karena berada di belakang deretan pertokoan Pasar Kanoman.
Jika datang pertama kali, mungkin terasa seperti masuk ke kawasan biasa. Untuk menuju keraton, pengunjung perlu melewati gang sempit yang memanjang ke dalam. Jalannya kecil, tetapi justru memberi suasana antik yang membuat perjalanan terasa seperti masuk ke tempat bersejarah. Di ujung gang itulah Keraton Kaprabonan berada dengan suasananya yang tenang.
Begitu masuk kawasan keraton, pengunjung akan melihat gapura Dalung Darma. Bentuknya sederhana, namun punya makna besar bagi Kaprabonan. Dalung Darma melambangkan ilmu pengetahuan yang mampu menerangi kegelapan. Gapura ini menjadi penanda awal sebelum pengunjung masuk lebih jauh ke area keraton.
Setelah melewati gapura, suasana keraton terasa cukup intim karena luas wilayahnya hanya sekitar satu hektare. Ukurannya yang kecil membuat tata ruangnya mudah dipahami dan nyaman untuk dijelajahi.
Salah satu bangunan penting di dalam kompleks ini adalah masjid tua yang masih digunakan hingga sekarang. Masjid ini memiliki sejarah panjang dan menjadi pusat kegiatan keagamaan di Kaprabonan.
Dahulu, sebelum listrik tersedia, masyarakat memakai dalung damar sebagai alat penerangan. Dalung damar terbuat dari campuran damar dan getah karet, lalu dinyalakan saat malam hari. Karena peran pentingnya di masa lalu, dalung damar kemudian dijadikan lambang Keraton Kaprabonan, yang kemudian bisa dilihat di gapura.
Masjid ini dipercaya dibangun oleh Ki Gede Alang-alang pada tahun 1428. Bangunannya dipertahankan dalam kondisi asli. Tembok, kayu penyangga, dan detail-detail di dalamnya tetap dibiarkan seperti bentuk awalnya.
Di dalam masjid juga terdapat sebuah kursi khusus. Kursi ini biasanya dipakai saat arak-arakan dalam peringatan maulid Nabi atau panjang jimat, tradisi yang masih berlangsung di Cirebon sampai sekarang.
Untuk kenyamanan pengunjung, keraton menyediakan fasilitas sederhana seperti toilet, musala, dan area parkir yang cukup luas. Fasilitas ini memang tidak mewah, tetapi sudah cukup untuk menunjang kunjungan.
Dikutip dari situs Siceppot, pengunjung juga tidak dikenakan biaya masuk. Keraton Kaprabonan terbuka 24 jam setiap hari, meskipun waktu terbaik untuk berkunjung adalah pagi atau sore. Pada jam-jam itu, suasana lebih sejuk dan pengalaman menyusuri keraton terasa lebih nyaman dan jelas.
Baca juga: Istana Ternate: Jejak Kejayaan Kesultanan di Maluku Utara
Menelusuri Keraton Kaprabonan memberi gambaran bahwa tempat ini bukan hanya bangunan tua yang tersembunyi di balik pasar, tetapi ruang yang menyimpan banyak cerita. Setiap sudutnya membawa jejak perjalanan panjang para pendahulu Cirebon, mulai dari ajaran agama hingga tradisi yang masih dijaga sampai sekarang.