Kisah Asri Saraswati bisa diibaratkan pepatah yang berbunyi banyak jalan menuju roma. Memilih meninggalkan Ibu Kota dan tinggal di desa sejak 2014 lalu, ternyata justru memberikan keberuntungan baru dengan menjadi Founder Agradaya.
Asri yang kini menetap di Planden RT3/RW14, Sendang Rejo, Kepanewon Minggi, Sleman, memutuskan hijrah dari kebisingan Ibu Kota untuk mendekatkan diri pada kehidupan masyarakat desa dengan tujuan memberdayakan pertani.
Bersama suami, Asri berkolaborasi melakukan riset ke masyarakat sekitar soal potensi apa saja yang dikembangkan. Berangkat dari itu, mereka menemukan potensi rempah atau tanaman biofarmaka yang melimpah, hingga akhirnya mendirikan Agradaya.
“Ekosistem ini namanya Agradaya, kami manufaktur minuman herbal. Kami awalnya melakukan observasi di sini. Banyak tanaman obat meskipun belum menjadi tren, itu sebelum pandemi Covid-19,” katanya.
Menurut Asri, pedesaan memiliki sumber daya melimpah, namun sayangnya tak terolah dengan baik. Kebanyakan petani hanya menamam dan menyetor ke tengkolak serta pasar, tanpa mengetahi bila permintaan bahan baku tanaman obat dari luar negeri layaknya Belgia sangat besar.
BACA JUGA : 5 Rempah Ini Berkhasiat Menurunkan Berat Badan
Lebih lanjut, Asri kembali memutar otak agar rempah dan tanaman obat di desa dapat diproduksi, tak dalam bentuk mentah dan skala besar, bukan petani per petani. Hingga akhirnya, mereka membuat alat pengering guna kelompok tani yang membuat rempah dan tanaman obat sudah dalam bentuk kering.
“Kalau keluar kering itu sama dengan produk semifinis untuk bahan ekstraksi, suplemen minuman kesehatan sehingga benefitnya bisa lebih besar. Nilai ekonominya bisa lebih tinggi,” katanya.
Perjalanan berikutnya, tinggal mengkreasikan dan melihat potensi lokal seperti tanaman obat, rempah untuk diekstraksi menjadi suplemen. Tingginya permintaan rempah dan suplemen kesehatan saat Covid-19 menjadi momen untuk mengejar produksi.
Saat ini, tercatat ada sekitar 120 petani di kawasan perbukitan Menoreh di Kulonprogo yang menjadi mitra Agradaya. Para petani memasok ragam bahan baku layaknya kunyit, kemukus, jahe, temulawak.
“Potensinya memang besar di sana, bahannya berlimpah. Kami menjual produk langsung ke end user, kebanyakan melalui sistem online. Ada juga yang datang langsung ke sini,” katanya.
Asri mempercayakan JNE sebagai ekspedisi andalah dalam pengiriman produknya ke seluruh Indonesia. Paling banyak permintaan rempah herbal seperti temulawak bubuk, jahe bubuk, dan sebagainya.
Sementara untuk pengiriman palin rutin ke area Jakarta, Bali, Surabaya bahkan sampai Ambon.
“Kami menggunakan jasa ekspedisi JNE karena selain titik layanannya dekat dengan lokasi Agradaya JNE juga terpercaya. Saat pandemi Covid-19 pengiriman JNE tetap lancar tanpa kendala,” katanya.
Menurut Asri, jahe merah, paling banyak yang diminta konsumen. Orang membutuhkan menjaga imunitas sejak pandemi. Penjualannya dilakukan per 50 gram seharga Rp 50.000.
BACA JUGA :Sentuhan Seniman Mural Yogyakarta di Mobil Operasional JNE
“Konsumen sudah mengetahui proses produk kami sehingga dengan harga segitu juga tidak masalah. Seminggu bisa habis satu kwintal,” katanya.
Bersama beberapa seniman, Asri lantas mendirikan Murakabi yang menjadi tempat bagi petani untuk menjual jajanan lokal yang berbahan baku lokal.
Murakabi hasil kolaborasi dengan beberapa pengusaha bergerak dengan Agradaya untuk mengangkat produksi lokal. Jajanan di Murakabi dibuat dari bahan baku lokal.
Dari keripik ubi, keripik singkong, tepung ubi, minyak kelapa dan sebagainya. Mereka juga membuat chilli oil, cabai tabur dan abon cabai untuk membantu petani cabai saat harga cabai anjlok.