Karyawan JNE punya banyak sisi “unik” di luar pekerjaannya sehari-sehari di JNE. Seorang di antaranya adalah Agung Yusril Rahman. Di luar pekerjaannya di JNE, Agung adalah seorang pelestari tari tradisional minang yang sering membawa misi budaya ke berbagai belahan negara untuk mengenalkan seni tradisi Indonesia, khususnya tari tradisional asal Minangkabau, Sumatera Barat.
Sejak usia 5 tahun tari tradisional Minang sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Pamannya, yang biasa ia panggil “Pak Tuo”, punya sanggar tari yang menjadi tempat berlatih puluhan penari dari berbagai usia yang ia saksikan setiap hari. Sebagaimana ikan di dalam air, Agung pun ikut-ikutan berlatih di sanggar milik pamannya dan mulai mengikuti lomba-lomba tari antar sekolah di seputar Kota Padang sejak di sekolah dasar.
Sempat berhenti menari di masa SMP karena tak nyaman dinilai menekuni jenis aktivitas yang nggak laki-laki banget di mata teman sebayanya, Agung kembali menekuni tari dengan serius saat masuk ke SMA. Nasihat Pak Tua terus menancap dalam pikirannya. “Kalau kamu ingin pergi ke luar negeri, dan ada yang mau membayari, kamu harus punya keterampilan,” tutur pamannya.
Baca juga: Suka Tantangan, Srikandi Ini Komandani Kurir Delivery JNE Kupang
Bagi Agung, waktu duduk di bangku SMA, pergi ke luar negeri – apalagi dengan biaya sendiri – tidak terbayangkan. Tapi kemungkinan itu akhirnya jadi kenyataan. Agung pertama kali tampil menari di Australia saat kelas satu SMA. Sejak itu ia telah tampil membawakan tari tradisi Minang ke mancanegara, mulai dari Maroko, Jepang, sampai ke Amerika Serikat.
Menguasai tarian tradisional Minang tidak segampang kelihatannya. Selain harus menguasai pencak silat sebagai gerakan dasar, seorang penari harus memahami tema dan filosofi tariannya. Misalnya, tari piring bertema tentang penyambutan masa panen dan tari indang menggambarkan syiar agama. Secara teknis, seorang penari dianggap “matang” kalau ia setidaknya telah menguasai lima jenis tari tradisional Minang, yaitu tari payung, piring, indang, manggaro, dan selendang. “Tari piring adalah tari favorit saya,” ujar Agung kepada JNEWS.
JNE dan Budaya Indonesia
Sejak bekerja di JNE tahun 2002, Agung tidak begitu memikirkan kemungkinan membawa misi budaya ke luar negeri lagi. Namun nasib berkata lain. Walaupun sudah bekerja, Agung ternyata masih bersentuhan dengan aktivitas menari di JNE.
Founder JNE almarhum Soeprapto Soeparno, selain dikenal religius, juga dikenal sebagai seorang yang sangat mengapresiasi seni menari dan punya hobi berdansa di waktu senggangnya untuk menjaga kebugaran. “Beliau entah tahu dari siapa,” tutur Agung, “saya sering diajak dalam latihan maupun kegiatan berdansa bersama beliau, sampai ikut lomba dansa seperti di TVRI.”
Latar belakangnya sebagai penari tradisional telah dikenal baik oleh Direksi JNE. Agung menilai JNE sebagai perusahaan yang sangat mengapresiasi pelestarian budaya Indonesia. Karena dinilai membawa misi budaya Indonesia ke luar negeri, Agung mengaku bahwa sepengalamannya, ia selalu mendapatkan support dari pimpinan JNE untuk keperluan menari di luar negeri.
Di luar pekerjaannya sehari-hari di Divisi Strategic Management, Agung sesekali masih mengajar di sebuah sanggar tari di bilangan Serpong. Untuk acara-acara internal perusahaan yang menampilkan pertunjukkan tari, Agung juga sering dimintai bantuan dan konsultasinya.
Baca juga: Sepenggal Kisah Kurir Penyusur Sungai Alalak, Banjarmasin