Kreativitas Itu Seperti Belajar Naik Sepeda*

Oleh Yoris Sebastian**

Sumber: shutterstock.com

Beberapa tahun lalu saya berkolaborasi dengan sebuah penerbit untuk menerbitkan buku saya yang ke-8, Generasi Millenial Indonesia. Nama generasi langgas itu tidak tercetus dari saya. Saat mencari judul buku, saya sengaja menantang karyawan OMG (baca: Oh My Godness Consulting), termasuk freelance dan anak magang, untuk berlomba ngasih ide kreatif buat judul buku yang akan didaftarkan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual)-nya.

Saya hanya menjelaskan (di buku tersebut) jumlah millennials itu segini, dan saya akan menulis begini. Kalau saya sebagai penulis buku ikut menyumbang ide untuk judul buku tersebut, pasti ide saya dipilih sebagai pemenang oleh yang lain (entah karena tidak enak kepada bos atau karena alasan lain). Bahkan (ide dari) co-writer buku itu pun tidak saya perkenankan menyumbang ide.

Ide yang terpilih adalah milik anak yang baru bekerja 3 bulan di OMG. Nama judulnya sendiri tidak jadi didaftarkan HAKI-nya (karena namanya sudah dipakai oleh yang lain). Tapi pelajarannya adalah, siapa pun pada dasarnya bisa kreatif.

Di perusahaan saya, di OMG, kami biasa menggelar proses “writestorming” untuk mencari ide. Dan ini juga telah saya coba di banyak korporasi. Umumnya kalau dalam “brainstorming”, kita duduk bareng, semua orang ditanya idenya apa dan diminta menjelaskannya. Tapi tidak semua orang kreatif itu pintar dan lancar bicara. Dulu saya kalau ngomong langsung itu susah dan kalau berani pun idenya langsung ditolak karena (dianggap) bukan siapa-siapa. Nah, karena tak ingin kejadian itu berulang pada generasi berikutnya, saya bikinnya sesi writestorming. Jadi kurang lebih gambarannya begini: setiap anak akan menuliskan idenya di post it, lalu saya mulai memilah mana yang bagus, dan saya minta yang idenya bagus untuk menjelaskan. Dan penting juga untuk tidak meruntuhkan confidence (kepercayaan diri) kreatif orang. Karena ide-ide itu dituliskan, mereka yang idenya tidak bagus tidak perlu takut buat ditertawakan yang lainnya.

Di perusahaan saya, di OMG, kami biasa menggelar proses “writestorming” untuk mencari ide. Dan ini juga telah saya coba di banyak korporasi. Umumnya kalau dalam “brainstorming”, kita duduk bareng, semua orang ditanya idenya apa dan diminta menjelaskannya. Tapi tidak semua orang kreatif itu pintar dan lancar berbicara. Dulu saya kalau ngomong langsung itu susah dan kalau berani pun idenya langsung ditolak karena (dianggap) bukan siapa-siapa. Nah, karena tak ingin kejadian itu berulang pada generasi berikutnya, saya bikinnya sesi writestorming. Jadi kurang lebih gambarannya begini: setiap anak akan menuliskan idenya di post it, lalu saya mulai memilah mana yang bagus, dan saya minta yang idenya terpilih untuk menjelaskan.

Intinya, kita harus kasih kesempatan untuk orang bersinar dan mencari metode yang tepat agar orang itu bersinar.

Ngomong-ngomong soal kreatif, sebetulnya dulu waktu kecil saya terbilang tidak kreatif. Dari empat bersaudara, prestasi saya di sekolah terhitung biasa-biasa saja. Tidak deg-degan naik kelas, tapi juga nggak bermimpi jadi ranking satu. Mustinya  saudara-saudara saya yang lain, yang harusnya dikenal sebagai sosok kreatif.

Di Pangudi Luhur, SMA yang isinya cowok semua, kreativitas saya mulai tumbuh. Mulanya karena banyak tantangan yang mesti disiasati. Misalnya, di sana siswa dilarang pilok-pilok di jalanan atau mencoreti tembok.

Juga di Majalah Hai. Sewaktu saya di sana, rasanya semua ide yang diajukan pernah dibuat Hai. Apalagi susahnya bukan main membuat ide yang belum pernah dibuat majalah lain.

Pengalaman saya di Hard Rock Café juga begitu. Bayangkan, di Hard Rock itu mejanya hanya bertaplak putih, lalu sehabis orang makan, ganti taplak dan cuma dilap-lap doang. Musiknya berisik lagi! Tapi orang-orang ramai mengantri dan mau bayar mahal.

Di Hard Rock saya banyak belajar, terutama dare to be different.

Menurut pengalaman saya, kreativitas itu seperti muscle, kayak otot. Orang kreatif itu mirip dengan orang yang belajar naik sepeda. Harus dilatih. Seperti naik sepeda, pertama-tama kita dituntun pelan-pelan, dipegangi sama ayah sampai confidence level-nya cukup, sehingga akhirnya kita bisa sendiri.

Kalau kreativitas itu tidak dilatih, tidak banyak diasah, seperti halnya otot, ia akan kendur. Kreativitas, singkatnya, tak ubahnya sebuah skill yang harus terus diasah, banyak diupdate.

Terakhir, saya terkesan dengan kutipan dari Margaret Thatcher yang mengatakan bahwa pikiran kita, kata-kata kita, tindakan kita, dan kebiasaan dan karakter kita, akan menentukan takdir kita. Ini relevan dengan pengalaman saya tentang kreativitas. Kalau kita biasa berpikir kreatif, bertindak kreatif, kita akan terbiasa kreatif dan punya karakter sebagai sebagai orang yang kreatif.

 

* Artikel ini disarikan dari paparan Yoris Sebastian dalam acara JNE Learning Festival 2022

**Yoris Sebastian adalah seorang entreprenuer sukses yang bergerak di bidang industri kreatif. Saat masih menjadi GM Hard Rock Cafe, Yoris menggagas kampanye “I Like Monday” yang fenomenal di awal tahun 2000-an. 

 

 

 

 

Exit mobile version