Tradisi mahar pernikahan dari berbagai adat di Indonesia terbilang unik. Umumnya menggunakan ‘panduan’ adat yang telah dipegang secara turun-temurun, tetapi ada juga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Jika dilihat dari sisi agama, pemberian mahar pernikahan hanya berlaku di ajaran Islam sebagaimana tertulis dalam Alquran surah An-Nisa ayat 4 yang artinya:
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (orang yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Namun, perlu diingat bahwa mahar pernikahan dalam Islam bukan merupakan bagian rukun dan syarat sah dari pernikahan. Mahar dalam Islam memiliki makna sebagai sebuah penghormatan terhadap wanita dan menunjukkan pemberian suami untuk istri baik nafkah duniawi juga akhirat.
Sedangkan di agama Kristen, Katolik, Buddha dan Hindu tidak ada mahar dalam pernikahan. Namun, secara adat mahar ini tetap diberlakukan, misalnya tradisi sinamot di masyarakat Batak.
Pernikahan adalah hal yang sakral. Walaupun zaman sudah semakin maju, pemikiran masyarakat sudah lebih terbuka, tidak jarang para orang tua dan tetua masih memberlakukan tradisi mahar pernikahan ini pada anak-anak mereka. Karena melakukan tradisi ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, adat, dan simbol status sosial.
7 Tradisi Mahar Pernikahan Unik di Indonesia
Keragaman budaya Indonesia telah ‘menciptakan’ berbagai adat yang masih dilestarikan hingga saat ini termasuk dalam hal mahar pernikahan. Bahkan masih ada yang berpegang teguh harus mengikuti ketentuan adat terkait besaran mahar dan tidak boleh ditawar. Sayangnya, hal tersebut justru menjadi polemik karena di berbagai kasus selalu berujung pada pembatalan pernikahan.
Lantas, apa saja tradisi mahar pernikahan berbagai adat yang masih dijalankan hingga sekarang ini? Berikut ulasannya.
1. Mayam, Aceh
Tradisi mahar pernikahan di masyarakat Aceh disebut jeulame. Makna dari tradisi ini adalah sebagai sebuah penghargaan untuk pengantin perempuan sekaligus menentukan status pengantin di masyarakat.
Adapun ‘barang’ yang dijadikan mahar disebut mayam. Mayam merujuk semacam takaran dari emas yang berlaku di Aceh dan biasanya mahar ini dalam bentuk emas murni. Jika dikonversikan, satu mayam setara dengan 3,33 gram emas murni. Semakin tinggi nilai mayam yang diberikan calon pengantin pria, maka semakin tinggi juga strata sosial dari pengantin.
Namun, dalam memberikan mayam tidak aturan khusus untuk jumlahnya. Semua tergantung dari dari pihak wanita atau kesepakatan keduanya. Kendati demikian, ada sejumlah faktor penentu jumlah mayam yaitu kecantikan, pendidikan, keturunan, dan standar mahar di keluarga calon pengantin wanita.
Mayam juga sering dijadikan cara untuk menolak lamaran dari pria yang tidak disukai keluarga wanita. Caranya dengan mensyaratkan 100 mayam.
Baca juga: 8 Tips Menentukan Konsep Dekorasi untuk Pernikahan
2. Uang Japuik, Padang Pariaman
Arti dari uang japuik adalah uang atau benda berharga yang diberikan dari pihak anakdaro (pihak perempuan) pada marapulai (pihak laki-laki). Ini merupakan bentuk tertariknya anakdaro untuk menikahi marapulai. Biasanya pemberian uang japuik ini dilakukan sebelum proses pernikahan. Makna sebenarnya dari uang japuik ini adalah sebagai penghormatan pada calon suami.
Uang japuik nantinya akan dikembalikan pada keluarga pengantin wanita setelah acara pernikahan. Biasanya pihak pengantin pria akan mengembalikan dalam bentuk emas yang nilainya setara atau lebih dari nilai yang diberikan. Suatu kebanggaan bagi sang suami jika mampu melebihkan jumlah japuik. Pengembalian japuik ini biasanya dilakukan pada saat manjalang mintuo, atau kunjungan ke rumah mertua.
3. Marhata Sinamot, Batak
Tradisi dari suku Batak ini sangat populer di Indonesia. Sinamot atau tuhor ni boru merupakan sebutan untuk mahar pernikahan dalam bentuk uang yang diberikan dari pihak paranak (laki-laki) ke pihak parboru (wanita) sebagai tanda pembentukan sebuah keluarga. Tradisi ini masih dipegang teguh masyarakat Batak hingga sekarang.
Sinamot merupakan simbol dari ambang perjuangan. Ini karena sinamot dianggap sebagai bukti nyata akan kesungguhan seorang pria untuk melamar seorang wanita. Dari pihak calon mempelai wanita akan merasakan keyakinan bahwa anak mereka akan mendapatkan pria baik dan mau berjuang untuknya. Proses dari marhata sinamot diadakan sebelum martumpol atau pertunangan. Untuk prosesi martumpol sendiri umumnya dilaksanakan kurang lebih dua minggu sebelum acara.
Besaran sinamot ditentukan dari berbagai faktor dari mempelai wanita. Mulai dari pendidikan, pekerjaan, silsilah keluarga, status sosial, jarak tempat tinggal hingga kecantikan dari mempelai perempuan.
4. Bowo, Nias
Tradisi mahar pernikahan di suku Nias disebut mahar bowo. Bagi masyarakat suku Nias, ini menjadi kewajiban ketika ingin mengadakan pernikahan. Mahar ini masuk ke dalam syarat sah pernikahan menurut hukum adat yang mesti dipenuhi oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita.
Makna dari bowo mengandung arti kasih sayang dari orang tua kepada anak. Jadi, apabila tidak ada mahar berarti pernikahan tidak bisa dilangsungkan.
Jumlah dari mahar pernikahan bisa berupa uang, beras, dan babi. Sedangkan untuk besarannya tergantung dari beberapa hal seperti status sosial orang tua pihak perempuan, tingkat pendidikan calon pengantin wanita, dan kekayaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kekayaan, maka semakin besar pula mahar yang diminta.
Mahar dalam suku Nias memiliki nilai dalam menjalin kekerabatan, sebagai simbolisasi penghargaan serta penghormatan adat istiadat serta untuk mencegah terjadinya perceraian.
5. Uang Panai, Bugis
Uang panai atau biasa disebut panaik memiliki arti wujud keseriusan dari seorang pria ketika akan melamar seorang wanita. Uang panai juga bisa diartikan sebagai uang belanja. Tradisi ini sudah ada sejak zaman dulu di suku Bugis, Makassar, Sulawesi Selatan, dan masih berlaku hingga sekarang.
Makna penting dari uang panai adalah lambang penghormatan suku Bugis pada seorang wanita. Bentuk penghormatan ini diberikan dari calon suami kepada calon istri.
Besaran uang panai tergantung dari beberapa faktor seperti strata sosial calon istri yang meliputi pendidikan, pekerjaan, kecantikan, keturunan bangsawan, dan apakah calon tersebut sudah berhaji atau belum. Sebagai contoh, jika calon istri tingkat pendidikannya adalah lulusan SMA, uang panainya adalah Rp50 juta, untuk pendidikan S1 bisa mencapai Rp75 juta atau hingga Rp100 juta. Apabila masih keturunan bangsawan, uang panai bisa mencapai miliaran rupiah.
6. Jujuran, Banjar
Di masyarakat suku Banjar, Kalimantan Selatan, tradisi dalam pernikahan disebut dengan uang jujuran. Jika tidak ada uang jujuran, pernikahan tidak bisa dilangsungkan. Kedua belah pihak harus sepakat terlebih dahulu besaran uang jujuran baru bisa mengadakan pesta pernikahan.
Uang jujuran biasanya diberikan oleh pihak pria pada pihak wanita untuk membiayai keperluan pesta, rumah tangga dan bekal hidup berkeluarga. Tidak dimungkiri, uang jujuran berhubungan juga dengan status sosial di mana calon mempelai pria sanggup untuk memenuhi jumlah yang diminta dari calon pengantin wanita.
Besaran uang jujuran biasanya ditentukan dari seberapa besar pesta yang akan diadakan termasuk undangan yang akan datang. Selain beberapa faktor seperti status ekonomi calon istri, pendidikan, kecantikan serta statusnya—janda atau masih gadis—juga menjadi tolak ukur dalam menentukan besaran uang jujuran.
Namun, tidak semua keluarga menetapkan uang jujuran ini. Ada keluarga pihak wanita yang menetapkan kesepakatan untuk saling berbagi dalam pelaksanaan proses pernikahan sampai ke pesta.
7. Belis, Nusa Tenggara Timur
Tradisi mahar di masyarakat Nusa Tenggara Timur disebut dengan belis. Menariknya, belis sering diberikan dalam jumlah yang besar dan tidak bisa ditawar. Ini berdasarkan dengan kepercayaan masyarakat NTT yang beranggapan bahwa pengantin wanita bisa resmi bergabung ke dalam suku suami apabila sudah menuntaskan jumlah belis.
Pemberian belis ini merupakan simbol penghargaan terbaik pada pengantin wanita. Biasanya belis diberikan dalam berbagai bentuk mulai dari uang, emas, gading, kain adat, hewan ternak, dan lain-lain.
Setiap suku memiliki penentuan belis yang berbeda. Contohnya, masyarakat suku Dawan memberikan belis berupa sirih pinang, belis suku Lamaholot yang mendiami Flores berupa gading gajah, dan suku Sumba memberikan tombak sebagai simbol penyatuan kedua keluarga.
Baca juga: Tips Memilih Cincin Emas untuk Pernikahan
Sejatinya, melakukan tradisi mahar pernikahan ini memang bagian dari pelestarian budaya. Namun, jangan sampai mahar ini memberatkan calon pengantin untuk menikah karena di semua ajaran agama justru memudahkannya.