Salah satu yang menjadi momok menakutkan bagi pelaku usaha logistik nasional adalah tingginya biaya logistik di dalam negeri. Tingginya biaya logistik dalam negeri ini bahkan melebihi negara Vietnam. Karenanya, Badan Usaha Angkutan Multimoda (BUAM) berharap jika ekosistem logistik nasional bisa menjawab sebagala permasalahan, termasuk bisa menekan biaya logistik.
Presiden Joko Widodo seperti diketahui baru saja mesahkan Inpres Nomor 5 Tahun 2020 perihal Penataan Ekosistem Logistik Nasional. Inpres ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja logistik nasional, memperbaiki iklim investasi, dan meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
Dengan adanya Penataan Ekosistem Logistik Nasional ini, Ketua Indonesian Multimodal Transport Association (IMTA) Siti Ariyanti berharap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha BUAM bisa diselesaikan.
Baca Juga: Penataan Ekosistem Logistik Nasional Perlu Kolaborasi Antar Pelaku
“Ekosistem logistik nasional ini harus bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Kelemahan pelaku logistik ini pola pikir di kota besar, Jakarta, Surabaya, Medan, background pendidikan cukup, tetapi konsep seluruh indonesia, ini yang harus diperbaiki karena tidak semua merata,” ucapnya.
Siti pun memerinci sejumlah masalah yang harus dapat dijawab dengan keberadaan ekosistem logistik nasional, di antaranya duplikasi dan repetisi, tingkat penerapan otomasi, kebijakan yang terpisah, inefisiensi distribusi barang, serta belum adanya platform logistik dari hulu ke hilir.
Dia mencontohkan duplikasi dan repetisi terjadi ketika Agen Pelayaran menyerahkan Manifest Barang ke Syahbandar dan Operator Pelabuhan (SIMLALA), Karantina Pertanian (Manual) dan Bea Cukai (CEISA), sementara beberapa KL yang memerlukan saat ini belum mendapatkan manifest.
Bukan cuma itu, menurut Siti terjadi perbedaan tingkat penerapan otomasi. Beberapa Kementerian dan Lembaga (K/L) sudah menerapkan otomasi penuh/online (Bea Cukai, BPOM), beberapa K/L menerapkan semi otomasi/online (gabungan manual dan otomasi/online) (SIMLALA), beberapa K/L dan entitas logistik bahkan belum menerapkan otomasi/online (manual) (pemesanan container di perusahaan Depo Kontainer di Tanjung Priok).
Oleh karena kebanyakan sistem yang dikembangkan K/L (18) ini masih berdiri sendiri (belum terhubung), maka terjadilah kebijakan yang terpisah-pisah. Seperti misalnya, dari 18 K/L yang ada, saat ini hanya empat yang menggunakan rujukan (profil) bersama. Akibatnya, perlakuan antara satu dengan K/L lainnya bisa berbeda sangat ekstrim.
Baca Juga: Penting! Kenali 3 Jenis Kemasan Barang Berikut Ini
Permasalahan Inefisiensi
Masih terkait permasalahan logistik, Siti juga memaparkan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan inefisiensi. Menurutnya, inefisiensi terjadi karena kesulitan importir dalam mencari ketersediaan truk kontainer setelah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang karena antara sistem informasi truk dengan sistem informasi K/L belum terhubung.
Selain itu, adapula ketidak sinkronnya informasi mengenai ketersediaan dan kebutuhan alat angkut, sehingga menyebabkan tingginya idle capacity alat angkut, biaya broker, dan pengenaan tarif yang tidak transparan.
“Belum ada platform logistik dari hulu ke hilir membuat sulitnya para pelaku logistik untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang keberadaan muatan atau ketersediaan truk/gudang,” katanya.
Selain itu, importir juga kesulitan untuk mendapatkan transparansi harga sewa gudang dan biaya angkut truk. Mereka juga merasa kesulitan untuk mengetahui status pengurusan dokumen dan keberadaan barangnya secara real time.
Baca Juga: Trik Packing Aman Sampai ke Tangan Pembeli