JNEWS – Fenomena manusia tikus sedang ramai diperbincangkan di Tiongkok, terutama di kalangan Gen Z. Istilah ini bukan soal tempat tinggal yang gelap atau sempit, tapi lebih ke cara hidup yang menyendiri dan minim aktivitas.
Banyak anak muda memilih diam di rumah, menghindari dunia luar, dan hanya melakukan hal-hal dasar untuk bertahan. Di balik pilihan itu, tersimpan cerita yang jauh lebih dalam dari sekadar gaya hidup pasif.
Apa Itu Manusia Tikus?
Istilah manusia tikus muncul dari media sosial di Tiongkok. Sebutan ini dipakai untuk menggambarkan gaya hidup pasif yang mulai banyak dianut anak muda, terutama Gen Z.
Mereka lebih suka menghabiskan waktu di rumah, jarang keluar, dan seringnya cuma berdiam di kamar atau di tempat tidur. Aktivitas hariannya sederhana: scroll internet, nonton, tidur, makan, dan kadang ngobrol online.
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan malas. Menurut beberapa penelitian, di baliknya ada bentuk protes diam terhadap tekanan hidup yang makin berat.
Intinya, mereka menyerah pada perlombaan sukses versi dunia modern. Bagi sebagian anak muda Tiongkok, bertahan hidup dengan tenang dan tidak kelelahan dianggap lebih penting daripada terus mengejar ambisi.
Baca juga: 4 Hari Kerja Seminggu: Apa Plus Minusnya?
Faktor Penyebab Munculnya Fenomena Manusia Tikus
Fenomena manusia tikus tentu tidak muncul begitu saja. Di balik pilihan hidup yang tampak pasif itu, ada tekanan besar yang dirasakan Gen Z di Tiongkok. Untuk memahami alasan di balik keputusan ini, berikut beberapa faktor utama yang mendorong munculnya fenomena ini.
1. Tingkat Pengangguran Tinggi di Kalangan Anak Muda
Saat ini, banyak lulusan universitas di Tiongkok menghadapi kenyataan pahit: sulit mendapatkan pekerjaan. Data dari Biro Statistik Nasional Tiongkok yang dirilis oleh Reuters menunjukkan bahwa pada Februari 2025, tingkat pengangguran untuk usia 16–24 tahun mencapai 16,5%.
Angka ini mencerminkan betapa ketatnya persaingan di pasar kerja, terutama bagi mereka yang baru memasuki dunia profesional.
Fenomena ini tidak hanya disebabkan oleh jumlah pencari kerja yang tinggi, tetapi juga oleh ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki lulusan dengan kebutuhan industri. Akibatnya, banyak dari mereka yang merasa frustrasi dan kehilangan motivasi untuk terus mencari pekerjaan. Pada akhirnya, hal ini mendorong mereka memilih untuk “menyendiri” dan menghindari tekanan sosial.
2. Tekanan Budaya Kerja yang Melelahkan
Budaya kerja “996”—bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam, enam hari seminggu—masih menjadi praktik umum di banyak perusahaan Tiongkok. Padahal sebenarnya, hal ini telah dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Agung pada 2021.
Sistem kerja ini menuntut komitmen waktu yang sangat besar dari karyawan, sering kali tanpa kompensasi yang sepadan. Bagi Gen Z, tekanan semacam ini dianggap tidak manusiawi dan merugikan keseimbangan hidup.
3. Kekecewaan terhadap Janji Kesuksesan
Generasi sebelumnya di Tiongkok tumbuh dengan keyakinan bahwa kerja keras dan pendidikan tinggi akan membawa kesuksesan dan stabilitas finansial. Namun, bagi banyak Gen Z, realitasnya berbeda. Meskipun telah menempuh pendidikan tinggi dan bekerja keras, mereka sering kali menghadapi ketidakpastian ekonomi dan sulitnya memiliki rumah atau kehidupan yang stabil.
Kekecewaan ini mendorong mereka untuk mempertanyakan nilai-nilai tradisional tentang kesuksesan. Sebagai respons, mereka memilih untuk tidak terlalu ambisius dan fokus pada kebahagiaan pribadi. Meskipun itu berarti hidup dengan cara yang lebih sederhana dan menghindari tekanan sosial.
4. Dukungan Finansial dari Keluarga
Sebagian besar Gen Z di Tiongkok berasal dari keluarga yang cukup stabil secara ekonomi. Orang tua mereka, yang menikmati pertumbuhan ekonomi pesat di masa lalu, mampu memberikan dukungan finansial kepada anak-anak mereka.
Adanya “jaring pengaman” ini memungkinkan Gen Z untuk merasa tidak perlu terburu-buru dalam mencari pekerjaan. Bahkan banyak di antara mereka yang memilih untuk tidak bekerja sementara waktu, karena mereka tak perlu khawatir kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi.
Gaya Hidup si Manusia Tikus
Setelah tahu latar belakangnya, sekarang saatnya melihat lebih dekat seperti apa keseharian manusia tikus. Gaya hidup ini punya ciri khas yang cukup kontras dengan kehidupan kota yang serba cepat dan sibuk.
1. Menghabiskan Sebagian Besar Waktu di Tempat Tidur
Mereka yang memilih gaya hidup ini akan menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur. Mereka merasa lebih nyaman berada di kamar, menjelajahi internet, menonton video, atau sekadar berbaring tanpa melakukan aktivitas berarti.
2. Menghindari Interaksi Sosial
Mereka juga cenderung menghindari interaksi sosial, karena merasa lebih aman dan nyaman ketika tidak harus berhadapan dengan orang lain secara langsung. Media sosial menjadi tempat utama mereka untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri, menggantikan pertemuan fisik yang dianggap melelahkan atau menegangkan.
3. Mengonsumsi Makanan Siap Saji
Dalam gaya hidup ini, makanan siap saji menjadi pilihan utama. Memasak dianggap merepotkan, sehingga mereka lebih memilih memesan makanan melalui aplikasi atau memanaskan makanan instan. Hal ini sejalan dengan keinginan untuk meminimalkan aktivitas fisik dan tetap berada di zona nyaman.
4. Rutinitas Harian yang Minim Aktivitas Fisik
Manusia tikus akan lebih banyak memilih aktivitas yang tidak memerlukan banyak gerakan, seperti menonton, membaca, atau bermain game. Olahraga atau kegiatan luar ruangan jarang dilakukan, karena dianggap menguras energi dan tidak memberikan kenyamanan yang sama dengan berada di dalam kamar.
5. Menghabiskan hingga 23 Jam Sehari di Tempat Tidur
Secara lebih ekstrem lagi, ada di antara mereka yang menghabiskan 23 jam sehari di tempat tidur. Mereka hanya bangun untuk kebutuhan dasar, seperti makan atau ke kamar mandi. Waktu selebihnya dihabiskan dengan aktivitas pasif. Bagi mereka, hal ini dapat memberikan rasa aman dan menghindarkan dari tekanan dunia luar.
Baca juga: Sedentary Lifestyle: Pengertian dan Dampaknya untuk Kesehatan
Fenomena Sejenis yang Pernah Ada
Fenomena manusia tikus bukan satu-satunya bentuk protes anak muda zaman sekarang terhadap tekanan hidup. Di berbagai negara, muncul juga pola serupa dengan nama dan latar belakang yang berbeda.
1. Quiet Quitting di Barat
Di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, sempat muncul fenomena quiet quitting. Fenomena ini terjadi ketika karyawan hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugas tanpa mengambil tanggung jawab tambahan.
Di kantor, mereka tetap hadir dan menyelesaikan pekerjaan, tetapi menolak untuk terlibat lebih dalam atau bekerja di luar jam kerja. Fenomena ini mencerminkan keinginan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi serta menolak ekspektasi kerja yang berlebihan.
2. Hikikomori di Jepang
Di Jepang, juga pernah terjadi fenomena hikikomori. Fenomena ini terjadi pada remaja dan dewasa muda yang menarik diri dari kehidupan sosial dan mengisolasi diri di rumah selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Mereka menghindari interaksi sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Fenomena ini sering dikaitkan dengan tekanan sosial, kegagalan akademik atau profesional, dan masalah kesehatan mental.
3. Sampo Generation di Korea Selatan
Di Korea Selatan, istilah Sampo Generation digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang memilih untuk “melepaskan” tiga hal: hubungan asmara, pernikahan, dan memiliki anak. Keputusan ini sering kali didorong oleh tekanan ekonomi, biaya hidup yang tinggi, dan ketidakpastian pekerjaan.
Fenomena ini mencerminkan perubahan nilai dan prioritas di kalangan generasi muda yang lebih memilih stabilitas pribadi daripada mengikuti norma sosial tradisional.
Fenomena manusia tikus jadi pengingat bahwa tidak semua orang bisa atau mau mengikuti ritme hidup yang terus menuntut lebih.
Di balik diam dan ketertutupannya, ada bentuk protes yang tenang tapi jelas. Mereka memilih jalan yang berbeda, bukan hanya karena malas, tapi karena lelah. Lelah dikejar ekspektasi, lelah dengan sistem yang terasa tak adil.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti menghakimi, dan mulai membuka pikiran, bahwa setiap manusia sejatinya memiliki hak untuk menentukan seperti apa hidup yang ingin dijalani terlepas dari segala tuntutan zaman yang ada.