Tak hanya budaya mudik dan silahturahmi, bingkisan juga menjadi salah satu hal yang erat kaitannya di momen Lebaran. Apalagi di masa-masa menjelang hari H.
Sebagian besar masyarakat, sibuk mencari bingkisan untuk diberikan sanak saudara, kolega, atau orang-orang penting lainnya yang dijadikan sebaga wujud tanda mata atau bisa juga diibaratkan sebagai silahturahmi.
Apalagi disaat pandemi saat ini, di mana pertemuan sudah dilarang, bahkan mudik pun ikut dilarang oleh pemerintah guna mencegah penyabaran Covid-19.
BACA JUGA : Pameran Otomotif Ikut Gerakan Ekonomi UMKM Kuliner
Namun demikian, sampai saat ini ternyata tak sedikit masyarakat yang belum tau arti atau bedanya parsel dan hemper ? kebanyakan hanya memandang keduanya hanya sebagai bingikisan yang berisikan ragam sesuai tema.
Mencontek dari KBBI, parsel memiliki arti bingkisan berisi berbagai hadiah. Mulai dari makanan, minuman dalam kaleng, atau semakin modern juga bisa dikreatifkan dengan isi yang lain, contoh barang pecah belak, dan koleksi lainya.
Untuk hemper sendiri tak pengertian pastinya, dan ini pun tergolong baru populer di kalangan masyarakatn Indonesia. Nah, melihat dari baragam literatur yang ada, Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si, memaparkan bahwa hampers merupakan serapan baru yang memang secara kemasan dibuat lebih eksklusif.
“Seorang membeli barang lebih mahal bukan karena nilai gunanya atau fungsinya, tapi nilai simboliknya. Nilai simbolik berarti barang-barang itu bisa memberikan simbol atau kesan kepada pembelinya. Penataan hamper lebih ekslusif dan terkesan klasik dan unik, membuat pembelinya kalau mengirimkan barang itu kepada orang lain akan mendapatkan penilaian sebagai orang berselera tinggi, elit, dan eksklusif,” ujarnya.
Tak bisa dipungkiri memang, penataan dan ragam kreasi yang diadopsi pada hemper lebih kekinian. Kondisi tersebut tentu memberikan pemandangan yang berbeda dan tentunya juga beda soal harganya.
BACA JUGA : Tokopedia Hyperlocal, Dongkrak Penghasilan UMKM Medan
Bahkan Drajat juga mengakui bila kemasan bisa memberikan nilai lebih berupa simbolik pada suatu barang. Terutama bila barang itu akan diberikan bagi orang-orang penting.
Tak hanya itu saja, kemasan juga bisa mendongkrak sebuah nilai simbolik dari suatu barang. Dengan demikian, ada banyak kejadian bila kemudian masayarkat rela membeli barang dengan kualitas yang standar atau biasa-biasa saja dengan harga yang tinggi agar mencitrakan simbol kelas elit atau kelas atas, alias ningrat.
Kondisi ini tentu tak lepas dari pola kebiasaan konsumsi masyarakat yang makin hari makin berkembang. Fokusnya tak hanya sekadar soal fungsi dari barang yang dibeli, tapi juga mengutamakan status sosial.