JNEWS – Kenalkan Angkasa Nasrullah Emir. Dia adalah seorang seniman gambar. Tarikan garis yang tegas, jadi ciri khas Angkasa dalam membentuk imaji dunia anak-anak yang riang gembira dan penuh warna-warni.
Berkat kekhasannya, karya Angkasa diapresiasi dan melanglang buana di dalam hingga ke luar negeri. Karyanya dipamerkan dalam beragam bentuk di New Zealand, Jepang hingga Forum Pangan Dunia yang diinisiasi Organisasi Pangan dan Agrikultur (FAO) di Roma, Italia.
Belakangan seri ‘Famous Painting’ yang dilukis secara digital oleh Angkasa, turut menuai pujian. Karya yang merespons lukisan-lukisan pelukis tersohor seperti ‘Monalisa’, ‘Girl with Pearl Earring’, ‘Self Portrait’ itu pernah mejeng di Djournal Coffee Grand Indonesia. Saat ini karya-karya hasil interpretasi Angkasa tersebut dipamerkan di Sunrise Gallery Fairmont Hotel.
Beberapa waktu lalu detikJabar menemui Angkasa di Cigadung, Kota Bandung. Ketika melihat Angkasa, sekilas tak ada yang berbeda. Lelaki berambut agak ikal itu memiliki senyum yang manis. Namun, saat mendengar ia bicara sekata demi sekata, barulah kita mengerti bahwa ia ternyata istimewa.
Dalam obrolan bersama ibunya, Angkasa terlihat asyik menatap layar gadgetnya. Sesekali ia tersenyum ketika melihat tokoh kartun imut bertelinga kelinci kesukaannya. Raut wajahnya polos khas anak-anak, walau usianya telah menginjak 25 tahun.
Pada kesempatan yang lain, Angkasa sempat menunjukkan kebolehannya dalam menuangkan isi pikirannya di atas kertas. Tatapannya kalem, pergerakannya tenang tetapi tangannya lihai menari-nari dengan spidol dalam merupa wujud gurita.
“Abang happy enggak, menggambar?” tanya Iin Rahmi Handayani, ibu Angkasa.
“Ha..ppy,” jawab Angkasa sambil tersenyum kalem.
Sambil sesekali menatap anak sulungnya, Iin bercerita jika Angkasa terdeteksi mengalami spektrum autis saat berusia dua tahun. Hal itu membuat Angkasa mengalami gejala sulit berkomunikasi secara verbal.

Pertanyaan dan keresahan sempat muncul di benak Iin, tentang masa depan Angkasa. Hal itu cukup wajar, mengingat Iin dan suaminya memiliki latar belakang yang moncer di bidang akademik. Alhasil, keduanya mengupayakan berbagai macam pendidikan kepada Angkasa.
“Angkasa bisa bicara pakai gambar itu usia 7 tahun. Usia 7 tahun baru paham instruksi yang verbal. Angkasa pernah tinggal di asrama gitu satu bulan, tapi traumatis banget buat dia. Terus kita sempat ke sekolah-sekolah gitu, tapi biaya sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) itu sangat mahal,” katanya.
Perlu waktu belasan tahun untuk menemukan sekolah yang tepat bagi Angkasa. Sampai akhirnya Angkasa disekolahkan di Kafin School saat usianya menginjak 18 tahun, ia menjadi siswa yang paling besar di antara siswa lainnya.
Sampai akhirnya, salah seorang guru mencium bakat menggambar Angkasa, setelah melihat tulisan dan gambar sapi yang digambar Angkasa pada secarik kertas.
“Suatu kali gurunya kirim gambar Angkasa. Jadi dari satu foto itu kita baru menyadari, Angkasa bisa menggambar. Momennya foto itu. Dia gambarnya sangat tegas. Tapi kita masih belum tahu, secara ibu dan bapaknya bukan orang seni. Tetapi melihat ini, dia kok garisnya tegas dan enggak ragu-ragu,” ujar Iin.
Jauh sebelum itu, Iin memang melihat bahwa tulisan anaknya rapi bak mesin tik. Komposisi gambar Angkasa pun sedap dipandang mata. Tetapi temuan itu belum dijadikan hal yang serius untuk ditekuni.
Berangkat dari sana, Iin yang telah berdamai dengan keadaan, akhirnya mulai mencari-cari wadah bagi anaknya. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan Art Therapy Center (ATC) Widyatama pada 2017 silam.
Banyak hal yang dipelajari Iin dan Angkasa di bawah naungan ATC Widyatama. Selama proses belajar, Iin mengamati ternyata anak sulung dari tiga bersaudara ini lebih senang menggambar binatang yang baik hati.
Di tempat yang sama mereka bertemu dengan Imaniar Rizki Waridha, seorang periset gambar anak yang juga bertugas sebagai fasilitator seni para difabel. Angkasa mendapatkan bimbingan langsung dari Imaniar, seraya menggarap aneka projek bersama.
Selesai dari ATC Widyatama, kini Angkasa aktif berkarya di studio yang didirikan Imaniar dan rekan-rekan dengan nama Tab Space sejak awal 2022. Dunia riang gembira dari mata Angkasa, menjadi semakin menggema.
KEBAHAGIAAN DALAM BERKARYA
Bersama Tab Space, karya-karya yang dibuat Angkasa tak hanya terhenti dalam bentuk sketsa di kertas atau di atas kanvas. Desain yang dibuat Angkasa kemudian diolah dan diterapkan oleh tim desainer dari Tab Space menjadi produk seperti merchandise, baju, dekorasi ruangan, tumblr dan berbagai produk kreatif lain yang bernilai ekonomi.

“Sebenarnya ketimbang eksplorasi meminta beliau untuk ngapain, lebih ke apa yang beliau mau. Jadi ketika mengeksplorasi sesuatu itu, dalam kondisi happy. Karena kuncinya di happiness itu,” ujar Imaniar saat ditemui detikJabar di studio Tab Space yang terletak di Jalan Rambutan, Bandung Wetan, Kota Bandung belum lama ini.
Menurut Imaniar, Angkasa termasuk seniman autis yang sangat cerdas dan adaptif. Pasalnya, ketika dihadirkan medium baru untuk berkarya, tak memakan waktu lama bagi Angkasa untuk menguasainya. Salah satu contohnya adalah seri lukisan digital ‘Famous Painting’, yang dikerjakan Angkasa dengan menggunakan aplikasi Procreate di iPad.
“Jadi ketika punya satu material, abang mau nyoba. Abang mau ternyata bisa. Terus ditambah lagi Angkasa sudah dewasa, kemudian bisa mengerjakan sesuai brief, makanya Angkasa menjadi salah satu seniman yang populer di Tab Space,” kata Imaniar.
Tab Space sendiri merupakan social enterprise, dengan konsep neurodiverse design studio. Neurodiverse sendiri merupakan ekosistem dimana artis-artis neurodivergent yang memiliki cara kerja otak yang istimewa, berkolaborasi dengan orang-orang yang memiliki cara kerja otak standar (neurotypical).
Saat ini ada belasan seniman neurodivergent yang terhimpun di Tab Space. Latar belakang mereka berbeda-beda, ada yang autistik, borderline, ADHD , epilepsi, dan cerebral palsy. Dikutip dari laman resminya, mereka adalah Adryan Adinugraha, Andra Naladira, Angkasa, Atallah Rakha Muhammad, Claudia Panca Fadilla, Hikari Pride, Achmad Ilham Sadikin, Jessica Maria Gracia, Kaffin Lamno, Mahesa Damar Sakti, Nauval Rizki Mochammad, Suzanne M Yazid.
Setiap artis di Tab Space memiliki keunikan masing-masing yang menonjol dalam karyanya, ada yang senang menggambar ilustrasi robotik, binatang baik hati, makanan, dunia fantasi dengan sosok wanita sebagai karakter utamanya, hingga artis yang memiliki photographic memory yang membuat gambar landscape dengan tingkat detail yang mengagumkan.
Syarat utama untuk menjadi bahan bakar dari setiap karya tersebut adalah kebahagiaan. Ia berpendapat, jika perasaan para artis itu bahagia maka mereka akan lebih produktif berkarya.
“Neurotypical itu kita. Neurodivergent itu Angkasa, Ilham dan yang lainnya. Neurodivergent dan neurotypical kerja bareng namanya neurodiverse. Kalau melihat lembaga yang menyuarakan tentang disabilitas, mereka akan bicara bahwa mereka (neurodivergent) mampu dan bisa. Sedangkan Tab Space, bilangnya mereka bisa kerja bareng kita dan kita bisa kerja bareng mereka. Jadi dua-duanya penting,” ujar wanita lulusan FSRD ITB itu.
Imaniar mengakui, sentuhan seni para artis neurodivergent memberi warna yang unik pada setiap karya yang dilahirkan Tab Space. Di sisi lainnya, desainer neurotypical di Tab Space berperan dalam mengaplikasikan desain istimewa tersebut, hingga tercipta beragam produk. Tumbuh mutualisme unik di antara satu dan yang lainnya.
“Kalau tidak ada teman-teman desainer, karya teman-teman neurodivergent ini, mungkin hanya sampai di kertas. Tidak sampai ke tas, merchandise, di campaign, tidak sampai di kafe. Tapi kalau misal tidak ada teman-teman neurodivergent ini, karyanya tidak akan seunik itu. Jadi dua-duanya sama-sama penting. Itu yang ingin disampaikan Tab Space. Makanya kalau kita berkarya, kita mention nama timnya juga,” tutur Imaniar.
Alasan mengapa gambar karya neurodivergent unik, pernah dibahas dalam penelitian yang dilakukan University of Montreal. Dalam jurnal tersebut menunjukkan bahwa pada seorang autis, area otak yang berhubungan dengan informasi visual berkembang lebih dominan.
Penelitian itu juga diperkuat oleh pernyataan Carol Povey, seorang pakar dari National Autistic Society. Ia menyebut jika orang dengan autisme memiliki satu bagian yang kuat untuk fokus dan perhatian.
“Beberapa orang dewasa dengan autisme mengembangkan cara-cara sendiri untuk mengatasi pengalaman ini, beberapa mencari tempat tenang dan tenang, sementara yang lainnya menemukan outlet kreatif, seperti seni, yang dapat membantu mereka memproses kedua informasi serta memberikan orang lain wawasan bagaimana mereka melihat dunia,” jelas Povey seperti dikutip dari BBC.
RUANG KERJA YANG AMAN DAN NYAMAN
Pengerjaan karya bisa dilakukan di rumah artis tersebut masing-masing, atau mendatangi studio Tab Space. Oleh karena itu, Imaniar dan kawan-kawan mengkondisikan sebaik mungkin agar studio mereka bisa aman dan nyaman bagi para seniman.
“Tab Space berusaha menyediakan ruang yang aman dan nyaman bagi seniman berkarya. Misalnya kita sediakan meja besar, barangkali mau menggambar di kertas yang besar. Kita menyediakan karpet kalau mau berkarya di bawah. Kita sediakan easel, kalau mau berkarya di easel,” katanya.
Kriteria ruang berkarya bagi neurodivergent berusaha dipenuhi dengan menyediakan ear plug bagi yang memiliki kondisi hipersensitif di telinga, atau penyediaan magnetic board dengan huruf yang diperuntukkan bagi mereka yang malu untuk berkomunikasi secara verbal. Jumlah manusia di dalam studio pun disesuaikan dengan kebutuhan para neurodivergent ini.
“Misalnya juga jumlah manusia dalam satu ruangan juga kita pikirkan. Jadi ada artis ini tidak suka berkarya ramai-ramai, otomatis ketika artis itu ada jadwalnya maka tidak ramai. Tapi ada juga artis yang produktif juga kalau ramean. Jadi akhirnya kita berusaha menyediakan itu, supaya teman artis itu merasa aman dan nyaman ketika kerja di Tab Space,” katanya.
Pernah suatu waktu, ada seniman yang keukeuh agar bisa berkarya di Tab Space. Walaupun saat itu, sang artis baru saja melakukan hiking bersama keluarganya. “Mungkin karena kerja di sini mereka nyaman, karena pernah ada yang sampai nangis. Paginya hiking, ibunya bilang nanti sore kalau ke Tab Space capek, tapi tetap anak itu maunya ke Tab Space, jadi walau capek tetap mau berkarya di sini, sense belonging-nya ada,” kenangnya.
KOLABORASI YANG BIKIN HAPPY
Setelah dua tahun berdiri, banyak pengalaman yang dilewati Imaniar cs dan para seniman neurodivergent di Tab Space. Ia yang berguru kepada Prof Primadi Tabrani, pakar bahasa rupa dari ITB, terkesima dengan gambar yang lahir dari jiwa murni yang biasanya ditemukan pada gambar-gambar prasejarah dan anak-anak.
“Ternyata ada orang dewasa yang memiliki gaya gambar seperti anak-anak. Ternyata itu teman-teman neurodivergent. Akhirnya memutuskan, kayaknya match nih. Menurut aku karya yang bisa masuk ke pasar, bertemu dengan supply yang bisa mereka hasilkan,” katanya.
“Pertanyaannya demand marketnya ada enggak ? nah di tahun 2019 ada proyek, kita berkolaborasi dengan brand. Brandnya multinasional, terus pada saat kita publish, kita lihat respons marketnya bagus dan komentarnya lebih ke karyanya. Memang tidak bisa melepaskan label atau identitas, tapi karyanya terapresiasi secara beriringan dari situ kami melihat adanya market,” katanya.
Lewat jejaring, karya-karya dari Tab Space juga mejeng di pameran seni bergengsi di Indonesia, yakni Indonesia Contemporary Art & Design (ICAD) ke-12 di Grand Kemang Hotel, Jakarta. Di sanalah, jati diri Tab Space semakin terbentuk. Klien-klien dari berbagai brand juga datang untuk berkolaborasi, yang berdampak positif terhadap kesejahteraan ekosistem yang ada di Tab Space.
Dalam waktu dekat ini Tab Space akan meluncurkan annual report, yang berisi tentang portofolio dan projek apa yang digarap selama setahun. Di sana juga akan dicantumkan secara transparan berapa penghasilan yang masuk bagi studio dan seniman yang berkolaborasi.
“Sampai dua tahun ini, alhamdulillah proyek per bulan selalu masuk ada aja. Pertama karena karya teman-teman yang luar biasa, dan doa orang tuanya juga. Ditambah lagi inovasi yang dilakukan tim Tab Space yang berusaha masuk ke berbagai celah,” tutur Imaniar.

Diantara brand-brand mengajak berkolaborasi di antaranya Ame Raincoat, Evermoss, Grammars, Djournal Coffee British Council, Youtube South Asia Pacific dan lain-lain. Kemudian di antaranya ada JNE yang menjadi salah satu partner kolaborasi yang turut memberikan pengalaman berharga.
“JNE itu partner yang kita happy banget bisa berkolaborasi dengan JNE. Pertama JNE sendiri perusahaan yang sangat concern dengan topik seperti ini, mereka itu mengulik section creative, jadi kolaborasi-kolaborasi sama JNE itu selalu seru walau tidak hanya dengan kita. Orang JNE itu friendly, kita jadi beneran jadi teman sampai sekarang aku kadang-kadang masih bisa ngajak ngopi bareng gitu,” katanya.
JNE juga menjadi service provider yang dibutuhkan dalam pengiriman karya-karya seniman dari Tab Space. Seperti halnya saat lebaran tahun ini, Tab Space mengirimkan ratusan kartu lebaran yang dihiasi ilustrasi para seniman istimewa kepada kolega tanpa perlu repot.
“Jadi bener-bener kaya dari percetakan kirim ke JNE (bersama daftar tujuannya), JNE yang nyebarin. sudah. Jadi kita enggak satu-satu tulis kirim ke mana, tinggal totalan aja berapa. Kirim karya juga, saya tanya ‘saya mau kirim karya ke Indonesia Design District di PIK, bisa di-pick up ?’, katanya bisa, mau jam berapa? Jadi memang service provider yang dibutuhkan kita selain jadi partner kolaborasi,” katanya.
Sementara itu, Head of Corporate Branding Dept JNE Hendrianida Primanti mengungkapkan alasan berkolaborasi dengan Tab Space karena melihat studio yang digawangi Imaniar itu memiliki value yang sama dengan JNE, yakni pemberdayaan disabilitas yang mendorong produktivitas.
“Kami melihat Tab Space sebagai social enterprise yang menyediakan ruang berkarya bagi seniman disabilitas. Memiliki value yang sama dengan JNE yaitu pemberdayaan agar para seniman disabilitas bisa tetap produktif, sehingga mereka bisa jadi pribadi yang mandiri dan bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat,” ujar Hendrianida dalam tayangan resmi JNE.
Proyek ini melibatkan empat seniman Tab Space yakni Angkasa Nasrullah Emir, Nauval Rizky Mochammad, Adryan Adinugraha, dan Achmad Ilham Sadikin. Di dalam proyek itu Imaniar bertindak sebagai lead designer, dengan Nurul Lathifah, Rizka R Safitri dan Annisa Fanny sebagai art facilitator.
Kolaborasi JNExTab Space melahirkan ilustrasi penuh warna-warni yang menggambarkan inovasi, layanan, value serta semangat layanan ekspedisi barang terbesar di Indonesia itu. Ilustrasi tersebut diterapkan kepada t-shirt, tumbler, goodie bag, sampai buku tulis, dan juga di media-media lain seperti armada, mural dan materi promosi lainnya.
Karya seniman dari Tab Space juga bisa ditemukan bertebaran di website dari JNE (jne.co.id). Desain yang lahir merupakan persepsi dan sudut pandang murni dari para artis Tab Space. Di sana terdapat gambar pesawat terbang, landmark wisata hingga ‘kang paket’ JNE yang digambar dari sudut pandang dan interpretasi seniman Tab Space.
“JNE ingin menjadi bagian dari support system bagi seniman disabilitas dan harapannya dapat turut menyampaikan pesan tentang inklusivitas, keberagaman dan pemberdayaan disabilitas,” kata Hendrianida.
MENGUBAH SUDUT PANDANG
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meyakini mempekerjakan penyandang disabilitas mampu memberikan benefit dan nilai tambah terhadap reputasi, prestise, dan nama baik perusahaan, sebagai entitas yang berkomitmen dalam mewujudkan dunia kerja inklusif, dalam penghormatan asas kesetaraan.
“Saya mengimbau semua pelaku usaha untuk semakin terbuka dan memberikan akses kesempatan kerja bagi saudara-saudara kita penyandang disabilitas, mengingat mereka berhak berpartisipasi dan berperan serta dalam pembangunan untuk mencapai kemandirian dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya,” kata Sekjen Kemnaker Anwar Sanusi seperti dikutip dari laman kemnaker.go.id.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, sebagai bentuk komitmen Bangsa Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, pemerintah diwajibkan memberikan apresiasi kepada badan hukum yang mempekerjakan penyandang disabilitas.
Menurut Anwar Sanusi, saat ini arah kebijakan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas di Indonesia dilakukan secara inklusif. Artinya siapa saja dan apapun kondisinya berhak mendapatkan pekerjaan yang layak.
Sebagai gambaran, dikutip dari data Satuan Kerja Nasional (Sakernas) 2022 mayoritas pekerja dengan disabilitas di Jawa Barat bekerja di sektor jasa (43%) dan pertanian (40%). Sementara itu penyandang disabilitas yang bekerja di sektor industri baru 16%. Berdasarkan Data SIAK Jabar per Desember 2022, penyandang disabilitas di Jabar mencapai 72.565 jiwa, masing-masing laki-laki 42.133 jiwa dan perempuan 30.432 jiwa. Dimana Kota Bandung memiliki sebaran terbanyak yakni 9.020 jiwa.
Konvensi PBB untuk Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau disebut UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) diratifikasi pemerintah Indonesia pada 2011 dan UU yang mengacu pada UNCRPD diterbitkan pada 2018 dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kebijakan itu menjadi titik perubahan signifikan dari cara pandang tradisional dan medis kepada penyandang disabilitas menjadi cara pandang hak asasi manusia yang berdasarkan kesetaraan.
International Labour Organization (ILO) dalam publikasi Pemetaan Pekerja dengan Disabilitas di Indonesia (2022), menilai penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai obyek sosial untuk dikasihani dan harus dibantu terus menerus, tetapi sebagai subyek dan individu yang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan lainnya.
Konsep penyandang disabilitas dalam Konvensi PBB ialah mereka yang memiliki keterbatasan, karena hambatan sikap dan lingkungan di sekitarnya. Hal itu menyebabkan halangan bagi mereka untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang lain.
“Dalam konsep ini, jelas diutarakan bahwa disabilitas tidak melekat pada subyek tetapi lebih disebabkan oleh hambatan sikap dan lingkungan di sekitarnya. Lebih jauh lagi, jika hambatan sikap dan lingkungan ini dihilangkan, disabilitas tidak akan terjadi,” seperti dikutip detikJabar dari publikasi tersebut.
MENYAMBUNG PESAN BAHAGIA DARI DUNIA YANG RIANG GEMBIRA
Jarum jam terus berdetak hingga menunjukkan pukul 11.00 WIB di Cigadung, Iin menatap Angkasa anak sulungnya dalam-dalam dan menghela nafas lega. Ia dekatkan kepala anaknya yang paling besar itu dengan kepalanya.
Bagi Iin, Angkasa adalah ‘penghuni surga’ yang dititipkan oleh Sang Maha Kuasa kepadanya. Melihat kemajuan dan penghasilan yang didapatkan Angkasa bersama Tab Space, Iin sangat mengapresiasi. Tetapi yang terpenting bagi Iin, anaknya bahagia dan menjadi dirinya sendiri.
“Saya tidak mau Angkasa terlalu banyak diintervensi dalam berkarya. Karena buat saya autisme bukan komoditas, jadi saya tidak mau karya Angkasa dilihat dari autisnya, tetapi diapresiasi karena memang karyanya bagus, tidak berlebihan tapi decent lah” katanya.
Iin berpesan kepada orang tua yang memiliki anak dengan spektrum autis untuk tidak berputus asa. Menurutnya, yang utama bagi anak-anak autis adalah tempat yang aman dan nyaman agar anak bisa berkembang sesuai jati dirinya. Ia pun bercerita saat membesarkan Angkasa pernah berada di situasi di mana pintu kehidupan tertutup, tetapi setelah disyukuri ternyata masih banyak jendela-jendela lain yang terbuka.
Iin berharap karya-karya Angkasa bisa menyambungkan pesan tentang kebahagiaan dari dunia yang riang gembira. Seni juga yang merekatkan komunikasi antara Angkasa dan anggota keluarganya yang lain.
Pernah suatu ketika, masing-masing anggota keluarga meminta Angkasa untuk menggambar beragam rupa binatang. Alhasil, gambar-gambar itu menjadi portofolio yang berguna di kemudian hari.
“Jangan takut kita dinilai sebagai orang tua yang kurang usaha, karena itu akan menenggelamkan kita. Sama seperti terjadi hal darurat yang terjadi di pesawat, sebelum menolong orang lain, kita tolong diri sendiri. karena orang tua ABK itu harus tough. Kalau tidak nanti kita yang ditolong, kita harus ikhlas dan ada teamwork dengan anggota keluarga lainnya,” katanya.
Gambar Angkasa dan kawan-kawan bukanlah tentang sesuatu yang idealis, tetapi merupakan murni gambaran dunia di matanya. Dunia anak-anak yang riang gembira, damai tanpa ada sesuatu yang berbahaya. Emosi dan kemarahan pun, Angkasa gambarkan seperti ikan kembung yang sedang menguap.
“Dunia di mata Angkasa itu riang gembira, lucu, marah aja dia gambarkan sebagai ikan kembung. Kalau kita marah mungkin yang keluar segala ada yang ada di kebun binatang. Tapi kalau dia tuh enggak. Jadi mudah-mudahan gambaran Angkasa mengingatkan semua tentang the happiness of being a child,” katanya.
*Yudha Maulana adalah Juara 1 Lomba Menulis JNE Content Competition 2024 kategori Jurnalis Online. Artikel ini telah tayang lebih dulu di detik.com.