SEDARI dua minggu sebelum “tanggal keramat” 17 Agustus tiba, denyut perasaan bahagia itu sudah begitu berdenyar-denyar di nadiku. Saat aku dan JNE mengadakan #GiveAwayBukuTumbler “Spesial Hari Merdeka” di Instagram dan Twitter dengan mengajak siapa pun untuk menuangkan arti dan makna merdeka bagi dirinya, kebahagiaan itu sudah begitu meruak. Meski kami hanya menjanjikan akan membagikan dua puluh paket buku dan tumbler – sebagaimana minggu-minggu sebelumnya – tetapi yang menuliskan makna merdeka di dua platform media sosial itu mencapai ribuan (pemilik) akun. Itu belum termasuk akun-akun yang dijangkau oleh postingan tersebut — yang ikut membaca, me-repost dan menikmati ungkapan-ungkapan merdeka yang disampaikan — yang mencapai belasan bahkan puluhan kali lipat.
Dari yang mulai memaknai merdeka itu, “Bisa beli banyak buku tanpa lihat harganya”, “Bisa leyehan sepanjang hari dengan buku di pangkuan dan camilan di sisi kanan”, hingga merdeka itu, “Saat bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain tanpa perlu pikir panjang”, dan “Bebas dari ikatan pada benda-benda duniawi, dan yang ada hanya cinta, cinta dan cinta pada sesama, serta rindu hanya padaNya.”
Demikian pula saat aku dan JNE melontarkan ajakan untuk menuangkan dalam tulisan singkat, tentang apa yang tak bisa dilupakan kala mendengar atau membaca: “17 Agustus”. Dari mulai mengikuti aneka lomba di kampung halaman, nonton karnaval, ikut upacara bendera di bawah terik mentari, hingga “Bisa melihat langsung bendera pusaka dikibarkan, mengenang dan mendoakan pejuang kemerdekaan yang telah mengorbankan harta hingga nyawanya.” Juga, “Saat ke alun-alun kota, eh dapat nasi bungkus dengan menu rendang daging, lalap daun singkong dan sambel.” “Capek-capek kepanasan, eh ada petugas Satpol PP ngasih hadiah. Receh. Tapi saya selalu bahagia kalau ingat hal itu.”
Sepanjang hari di 17 Agustus 2023, “Perayaan Hari Merdeka” pertama kali selepas “penjajahan” berbentuk pandemi Covid-19 yang membekap dan menimbulkan ketakutan keluar rumah serta himbauan untuk tidak berinteraksi dalam kerumunan banyak orang selama hampir tiga tahun (2020 – 2022), begitu kunikmati sedari matahari mulai menampakkan rupa dan cahayanya, hingga menjelang tidur dan terbawa mimpi, bahkan sampai saat menuliskan artikel ini. Dari karnaval di kampung tempat tinggalku yang kusaksikan langsung dengan mata-kepalaku, hingga berbagai kegembiraan yang kusaksikan lewat layar kaca dan beragam platform media sosial, yang membuatku serasa ikut berada di Istana Negara menyaksikan Ibu Negara dengan senyum manisnya bergoyang santun menikmati alunan “Gemu Fa Mi Re”, yang juga diikuti helikopter-helikopter Tim Dinamyc Pegasus TNI AU yang bermanuver goyang ke kiri dan ke kanan mengikuti alunan dari Maumere, NTT itu, di cakrawala negeri nan tinggi.
O… e le le le
Putar ke kiri e
Nona manis putarlah ke kiri
Ke kiri, ke kiri, ke kiri dan ke kiri, ke kiri, ke kiri, ke kiri manis e
Sekarang kanan e
Nona manis putarlah ke kanan
Ke kanan, ke kanan, ke kanan, dan ke kanan, ke kanan, ke kanan, ke kanan manis e
Hari itu kunikmati keping-keping puzzle makna merdeka yang sederhana, namun membentuk satu cakrawala indah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote. Berjalan beriringan, tertawa bersama, bahagia bersama, juga ikut berjuang bersama menyemangati sekelompok orang yang berupaya bersama, saling memberikan bahunya sebagai tumpuan pijakan orang lain, demi untuk menaklukkan batang-batang pinang licin dan meraih beragam hadiah yang digantungkan di pucuk batang pinang itu. Terhidang makna, tak ada hasil tanpa upaya, dan hasil itu upaya bersama,
Kala menikmati semua sajian perayaan “Hari Merdeka” itu, menyelusup ke dalam kalbu, tentang indahnya negeri penuh berkah ini. Semua yang kusaksikan itu tidak semata datang dari satu mata air yang sama, tetapi teramat beragam. Bhinneka yang memadu di bawah kibar Sang Saka Merah-Putih, yang berpeluk satu dalam dekap kepak-kepak sayap Garuda Pancasila, yang sealun-seirama melangitkan “Indonesia Raya”.
Ingin rasanya menjadikan semua hari sebagaimana “Hari Merdeka” yang kunikmati ini, mengubah deret angka di kalender menjadi hanya 17 Agustus, apa pun yang terjadi sekelilingku. Karena kupercaya, kebhinnekaan Negeri Merdeka ini, keberagaman di Indonesia ini, adalah anugerah luar biasa dariNya, dan bukan untuk diseragamkan. Bahkan, bagiku, tidak bhinneka bukan Indonesia. Tugas mulia kita semua satu: saling merekatkan, bukan saling meretakkan.
Merdeka Negeriku, Bahagia Warganya!
*
SELAMANYA INDONESIA
Indonesiaku
Indonesiamu
Tanah pusakaku
Tanah pusakamu
Sabang hingga Merauke
Miangas sampai Pulau Rote
Bersanding berpeluk dalam ikatan satu cinta
Indonesia
Beragam rupa
Neka-neka warna
Pendar-pendar surga
Yang dititipkan di muka bumi, Indonesia namanya
Aku Indonesia
Kamu Indonesia
Bhinneka namun satu dalam cinta
Kita, Indonesia
Selamanya
Di hatiku
Di hatimu
Satu, Indonesia