JNEWS – Mudik Lebaran telah menjadi budaya yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tradisi mudik bukan sekadar tentang perjalanan pulang saja, tetapi juga momen yang penuh makna. Ini adalah momen terbaik untuk berkumpul bersama keluarga, melepas rindu, dan merayakan Lebaran di tempat asal.
Setiap tahun, menjelang Hari Raya Idulfitri, jutaan orang di seluruh Indonesia berbondong-bondong kembali ke kampung halaman. Dikutip dari website Mudik Kemenhub, di tahun 2024 ada 167,2 juta orang yang melakukan perjalanan di H-7 hingga H+7 Lebaran.
Bagaimana di tahun 2025? Berdasarkan survei Badan Kebijakan Transportasi, potensi pergerakan masyarakat selama libur Lebaran 2025 diprediksi mencapai 146,48 juta orang (52% dari total penduduk Indonesia). Untuk puncak arus mudik diperkirakan terjadi pada H-3, sedangkan puncak arus balik pada H+5.
Mudik Lebaran, Tradisi yang Selalu Dinanti Saat Bulan Ramadan
Mudik bukan hanya tradisi, tetapi sudah menjadi bagian dari identitas masyarakat Indonesia. Euforia mudik ini sangat terasa dari anak-anak hingga orang tua.
Kendati melakukan perjalanan yang cukup melelahkan dengan kemacetan panjang, tidak menyurutkan semangat para pemudik. Bahkan ada yang rela menempuh perjalanan berjam-jam naik motor, bahkan berhari-hari, demi bisa merayakan Lebaran bersama keluarga tercinta.
Di balik fenomena mudik Lebaran, ada sejarah panjang yang ternyata menjadi awal mula munculnya tradisi ini. Berikut ulasannya.
Asal Usul Tradisi Mudik Lebaran
Sejak zaman kerajaan Majapahit, para petani yang berkelana menjadikan mudik sebagai bentuk tradisi untuk bisa berkumpul bersama keluarga besar di kampung halaman. Di masa itu, mudik ke kampung halaman tidak memiliki keterkaitan dengan perayaan Idulfitri.
Para petani yang pulang kampung akan melakukan kegiatan membersihkan makam leluhur dengan tujuan meminta permohonan keselamatan selama mencari rezeki di perantauan.
Beralih ke zaman kolonial, mudik pun dilakukan dengan menggunakan alat transportasi sederhana seperti sepeda, kereta api, dan perahu tradisional. Di masa ini, orang-orang yang bekerja atau belajar di kota besar akan pulang ke kampung halaman dalam rangka merayakan hari raya bersama keluarga.
Selama masa kolonial Belanda, keberadaan transportasi umum masih sangat terbatas dan sering kali tidak bisa menampung banyak orang. Mudik di zaman itu memakan waktu berhari-hari bahkan bisa berminggu-minggu.
Perkembangan Tradisi Mudik di Masa Kemerdekaan
Seiring berjalannya waktu, terutama masuk ke masa pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai membangun infrastruktur transportasi yang lebih baik. Mulai dari jalan raya lebih lebar, jembatan dan sistem angkutan umum lebih teratur.
Di tahun 1970-an, pemerintah mulai memfasilitasi kegiatan mudik dengan menyediakan berbagai sarana transportasi umum seperti kapal laut, kereta api hingga bus. Sejak saat itulah, kegiatan mudik ini pun semakin menarik minat masyarakat kota untuk pulang ke kampung halaman karena fasilitas transportasi yang memadai.
Di tahun-tahun berikutnya, pemerintah mengadakan berbagai program mudik Lebaran bersama. Contohnya seperti mudik gratis yang diselenggarakan berbagai instansi pemerintahan, pemerintah daerah hingga perusahaan swasta. Tujuan dari program ini untuk memudahkan masyarakat untuk melakukan perjalanan pulang kampung. Adanya program ini membuat lonjakan angka pemudik setiap tahun.
Beberapa tahun belakangan ini, infrastruktur sudah semakin baik dan maju sehingga membuat perjalanan semakin mudah. Namun, arus mudik tetap saja menjadi fenomena besar yang menarik perhatian banyak pihak hingga mata dunia.
Mudik Lebaran pun tidak hanya menjadi bagian dari tradisi agama, tapi juga menjadi bagian dari tradisi sosial yang melekat dalam masyarakat Indonesia.
Makna Mudik Lebaran yang Menjadikannya Sebagai Tradisi Tahunan Umat Muslim
Istilah mudik berasal dari bahasa Jawa yaitu ‘mulih dhisik’ yang artinya pulang dulu ke desa. Mudik Lebaran tidak hanya sebatas cerita tentang perjalanan pulang, tapi ada makna besar di baliknya. Berikut ini penjelasannya.
1. Makna Spiritual
Dikutip dari website Kementerian Agama Republik Indonesia, spirit dan motivasi mudik tak ubahnya seperti perjalanan hidup manusia. Dari mana asal manusia maka ke situ juga manusia akan kembali.
Pada dasarnya, manusia ingin kembali dengan selamat. Dalam agama, manusia yang bisa kembali dengan selamat digambarkan sebagai manusia yang berjiwa tenang (nafsul mutmainnah).
Mudik Lebaran diilustrasikan dengan perjalanan kembalinya manusia kepada Tuhan. Tujuannya agar para pemudik dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa selama melakukan perjalanan dari kota ke kampung halaman.
Baca juga: Daftar 10 Kereta Tercepat di Dunia dan Rekor Kecepatannya
2. Menyambung Silaturahmi
Salah satu makna utama dari mudik Lebaran adalah silaturahmi. Dalam budaya Indonesia, hubungan kekeluargaan sangat dijunjung tinggi. Lebaran adalah momen terbaik untuk kembali mempererat hubungan, meminta maaf, dan merayakan kebersamaan.
3. Identitas Budaya
Mudik Lebaran dipandang sebagai cara untuk melestarikan dan juga merayakan identitas budaya bangsa Indonesia. Ini adalah waktu ketika orang bisa terlibat langsung dalam adat, tradisi dan perayaan lokal yang khusus diadakan oleh kampung halaman atau desa mereka.
Hal ini memungkinkan para pemudik untuk terhubung kembali dengan akar mereka, menyelami lagi tradisi yang mungkin sudah jarang dilakukan.
4. Nostalgia dan Emosional
Mudik juga menjadi simbol nostalgia dan emosional. Bagi para perantau, kembali ke kampung halaman kerap memunculkan sisi emosional. Rasa rindu dan gembira campur aduk sehingga mendekati pulang, saat perjalanan hingga tiba di kampung, selalu muncul rasa haru dalam diri.
Tradisi ini juga memunculkan sisi nostalgia. Kembali ke kampung halaman berarti kembali ke tempat di mana mereka dibesarkan. Tidak jarang muncul kenangan masa kecil dan kerinduan merasakan kembali suasana yang mungkin sudah lama tidak dirasakan.
Banyak pemudik yang kembali ke kampung bukan hanya untuk bertemu keluarga, tetapi juga untuk menikmati makanan khas daerah, mengunjungi tempat-tempat bersejarah dalam hidup mereka, dan menghidupkan kembali kenangan lama.
5. Ekonomi
Tradisi mudik juga membawa dampak positif bagi daerah asal. Para pemudik yang kembali biasanya membawa uang hasil kerja keras mereka di kota untuk dibelanjakan di kampung.
Hal ini akan memberikan dorongan ekonomi bagi masyarakat setempat, terutama bagi pedagang kecil dan usaha rumahan. Tradisi ini juga menciptakan peluang usaha bagi sektor transportasi, akomodasi, hingga kuliner sepanjang jalur mudik.
6. Solidaritas Sosial
Mudik Lebaran juga dipandang sebagai bentuk tindakan solidaritas sosial. Mengapa demikian? Karena memungkinkan orang untuk berbagi berkah dan merayakan Idulfitri dengan yang kurang beruntung.
Banyak yang menggunakan kesempatan mudik ini untuk berbagi makanan, hadiah hingga sumbangan pada yang membutuhkan. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai sosial, kasih sayang, empati, dan dukungan masyarakat yang menancap kuat dalam budaya Indonesia.
Baca juga: 7 Cara Mengemudikan Mobil Hemat BBM
Mudik Lebaran adalah lebih dari sekadar fenomena tahunan. Tradisi ini adalah bagian dari budaya yang telah mengakar di masyarakat Indonesia. Mudik pun memiliki pesan simbolik, bahwa manusia, siapa pun dia pasti memiliki kerinduan akan asalnya.