JNEWS ONLINE
  • JONI
    • Aksi JONI
    • Inspirasi JONI
    • Hobi JONI
    • Lokasi JNE
    • Loker JNE
    • Program JNEWS Online
      • Fun Writing
      • Kuis JNEWS Online
      • Kuis Kalender JNE
    • Video
  • Logistik & Kurir
  • Infografik
  • e-Commerce
  • UKM
    • Komunitas
    • Golaborasi 2023
  • Lifestyle
    • Tekno
    • Traveling
  • Liputan Khusus
    • 34 Tahun JNE
    • JNE Content Competition
      • Content Competition 2024
      • Content Competition 2025
      • Pemenang Content Competition 2023
      • Pemenang Content Competition 2024
    • Cosmo JNE FC
    • Gelitik
    • JNE x Slank
    • Pekan Kartini
No Result
View All Result
  • JONI
    • Aksi JONI
    • Inspirasi JONI
    • Hobi JONI
    • Lokasi JNE
    • Loker JNE
    • Program JNEWS Online
      • Fun Writing
      • Kuis JNEWS Online
      • Kuis Kalender JNE
    • Video
  • Logistik & Kurir
  • Infografik
  • e-Commerce
  • UKM
    • Komunitas
    • Golaborasi 2023
  • Lifestyle
    • Tekno
    • Traveling
  • Liputan Khusus
    • 34 Tahun JNE
    • JNE Content Competition
      • Content Competition 2024
      • Content Competition 2025
      • Pemenang Content Competition 2023
      • Pemenang Content Competition 2024
    • Cosmo JNE FC
    • Gelitik
    • JNE x Slank
    • Pekan Kartini
No Result
View All Result
JNEWS Online
No Result
View All Result
Home Traveling

Menelusuri Museum Multatuli, Tempat Belajar tentang Kolonialisme dan Kemanusiaan

by Penulis Konten
10 June 2025
Museum Multatuli: Museum Antikolonialisme Pertama

Sumber: museummultatuli.id

Share on FacebookShare on Twitter

JNEWS – Kehadiran museum sangat membantu masyarakat dalam mempelajari sejarah dan membayangkan peristiwa-peristiwa di masa lampau melalui koleksi yang dipajang di dalam museum. Seperti di Museum Multatuli, pengunjung bisa mempelajari bagaimana kolonialisme terjadi dan pergerakan antikolonialisme yang tumbuh di masa itu.

Terletak di kota Rangkasbitung, Lebak, museum ini menempati bangunan tua yang merupakan bekas kantor Kawedanan Lebak. Bangunan tersebut telah didirikan sejak tahun 1923. Sebelum beralih fungsi menjadi museum, bangunan ini pernah dijadikan sebagai kantor hansip dan juga kantor Badan Kepegawaian Daerah.

Profil Singkat Multatuli

Berbicara tentang sejarah Museum Multatuli, berarti harus mengenal terlebih dahulu sosok yang namanya diabadikan menjadi nama museum ini.

Adalah Eduard Douwes Dekker, pria kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820, yang memutuskan merantau ke Hindia Belanda (Indonesia) pada usia 18 tahun.

Profesi sebagai pegawai pemerintah Belanda dilakoninya hingga tahun 1856. Dari profesi klerk, Dekker diangkat menjadi Komis Kelas II, Kontroler, Komis di Residen Purworejo, Sekretaris Residen di Manado, Asisten Residen Ambon, dan Asisten Residen di Lebak.

Ketika menjabat sebagai Asisten Residen di Lebak, Dekker menyaksikan bagaimana penduduk menderita kemiskinan dan hidup dalam keadaan melarat sebagai akibat dari peraturan tanam paksa (cultuurstelsel), permintaan paksa terhadap penduduk, serta keharusan membayar pajak yang jauh dari kemampuan penduduk.

Melihat ketidakadilan yang terjadi, Dekker pun melaporkan seluruh tindakan Bupati Lebak pada Residen Banten. Sayangnya, Dekker tidak menunjukkan bukti-bukti langsung dengan alasan bupati harus dilengserkan terlebih dahulu. Tindakan tersebut membuat Dekker dinilai terlalu tergesa-gesa dan diberhentikan menjadi asisten residen lalu dipindahkan ke Ngawi dengan pangkat lebih rendah.

Alih-alih menerima pemindahan jabatan, Dekker memutuskan berhenti dan kembali ke Eropa. Dekker menetap di Brussel, Belgia, dan tinggal di sebuah losmen kecil.

Di situlah, Dekker mulai menulis Max Havelaar, novel termasyhur di masa itu. Adapun inspirasi tokoh Saidjah dan Adinda didapatkannya dari Estelle, seorang penyanyi di tingel-tangel (kedai minum rendahan) sebagaimana dikutip dari website Museum Multatuli.

Novel bercorak satir politik tersebut juga menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak yang miskin di tengah kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negara jajahan. Novel tersebut juga menjadi inspirasi kebangkitan pejuang kemerdekaan mulai dari Soekarno hingga Jose Rizal dari Filipina. Bahkan oleh Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa roman Max Havelaar adalah sebuah upaya untuk membunuh kolonialisme.

Adapun nama Multatuli merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Dalam bahasa Latin, Multatuli memiliki arti aku telah banyak menderita.

Baca juga: 10 Museum Paling Terkenal di Dunia

Sejarah Singkat Museum Multatuli, Museum Antikolonialisme Pertama di Indonesia

Museum Multatuli: Museum Antikolonialisme Pertama
Sumber: museummultatuli.id

Ide dan gagasan pendirian Museum Multatuli dimulai sejak tahun 1990-an, sayangnya ide tersebut tak dapat langsung direalisasikan.

Lalu pada tahun 2009, wacana pendirian Museum Multatuli kembali muncul dan diprakarsai dari pertemuan kecil antara Bonnie Triyana (sejarawan), Ubaidillah Muchtar (pegiat literasi), Bambang Eryudhawan (arsitek) dan wartawan eks Tempo, Kurie Suditomo. Namun, kembali lagi, ide tersebut belum bisa direalisasikan.

Akhirnya pada tahun 2015, ide dan gagasan pendirian Museum Multatuli mendapat respons positif dari pemerintah Lebak dan didukung penuh oleh Bupati Lebak. Mendapat lampu hijau dari pemerintahan, rancangan pendirian museum pun mulai dilakukan. Oleh Pemerintah Kabupaten Lebak, membentuk tim perancangan pembangunan yang mengikutsertakan berbagai pihak.

Untuk lokasi museum, setelah ditinjau oleh tim ahli ada beberapa tempat yang diajukan di antaranya seperti rumah dinas bekas peninggalan Dekker saat menjabat sebagai Asisten Residen Lebak. Namun, lokasi rumah tersebut yang dekat dengan RSUD Adjidarmo Lebak, sangat tidak memungkinkan dibangun museum.

Pilihan tempat lain adalah gedung eks Kawedanan Lebak yang bertempat di Alun-Alun Rangkasbitung. Gedung inilah yang akhirnya dipilih menjadi Museum Multatuli.

Renovasi bangunan bekas Kawadanaan Lebak rampung pada 30 Desember 2016. Museum Multatuli pun akhirnya resmi dibuka pada 11 Februari 2018. Peresmian tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hilmar Farid dan Bupati Lebak, Hj. Iti Octavia Jayabaya.

Adapun pemilihan nama Multatuli tidak ada maksud untuk mengultuskan sosok tersebut. Tapi, dipilih karena novel karangannya membahas sejarah Banten, Lebak serta bagaimana kolonialisme terjadi di masa itu.

Museum Multatuli: Ragam Koleksi, Ruangan dan Tiket Masuk

Museum Multatuli: Museum Antikolonialisme Pertama
museummultatuli.id

1. Tema

Dikutip dari website Museum Multatuli, konsep dari museum ini adalah ā€œmuseum antikolonialismeā€. Di museum ini menyuguhkan sejarah panjang kolonialisme sampai pergerakan antikolonialisme.

Dalam pergerakan antikolonialisme diceritakan dari berbagai sisi dan menjadi inti dari museum ini. Kehadiran museum ini diharapkan akan menjadi medium pembelajaran sejarah tentang bagaimana kolonialisme bekerja di masa tersebut dan bagaimana juga sistem tersebut runtuh oleh gelombang besar bernama gerakan nasionalisme.

2. Koleksi

Sejak dibuka pertama kali, Museum Multatuli memiliki total 277 koleksi. Namun, tidak semua koleksi tersebut dipajang ke dalam tujuh ruangan.

Sebelum museum resmi dibuka, pemerintah Kabupaten Lebak menjalin kerja sama dengan Perhimpunan Multatuli (Multatuli Genootschap) di Belanda untuk bisa menduplikasi sejumlah dokumen terkait Eduard Douwes Dekker.

Beberapa di antaranya seperti surat-menyurat yang dilakukan Dekker dengan pejabat Hindia Belanda terkait kondisi masyarakat Lebak, dokumentasi foto, dan novel Max Havelaar terbitan pertama.

Sekarang ini di Museum Multatuli ada koleksi novel Max Havelaar edisi pertama bahasa Prancis tahun 1876, koleksi dalam bahasa Inggris, litografi wajah Multatuli, hingga tegel bekas rumahnya dulu di Lebak.

3. Tujuh Ruang

Di dalam Museum Multatuli, ada tujuh ruangan yang mewakili dua tema yakni kolonialisme dan antikolonialisme. Untuk tema kolonialisme ada di ruangan 1 sampai 4. Di ruangan ini, pengunjung bisa melihat rangkaian polemik yang melibatkan masyarakat dan pemerintah kolonial Belanda. Berikut ulasan setiap ruangan yang ada di museum.

Ruang 1: Ruang Selamat Datang

Di ruangan ini, pengunjung akan disambut dengan potongan mozaik wajah Multatuli dan salah satu kutipannya yaitu ā€œTugas Manusia adalah Menjadi Manusiaā€.

Ruang 2: Ruang Kolonialisme

Di ruang dua, pengunjung bisa melihat koleksi replika kapal-kapal yang digunakan oleh warga Belanda ketika datang di Nusantara khususnya Banten.

Ada replika kapal yang digunakan oleh Cornelis de Houtman saat datang ke Banten untuk pertama kali sekitar tahun 1596. Selain itu, ada juga koleksi jenis rempah-rempah yang disimpan rapi dalam kotak bening. Namun, ada juga jenis rempah yang bisa dilihat serta dihidu oleh pengujung seperti kayu manis, cengkih, pala, dan lada.

Ruang 3: Ruang Penerapan Sistem Kolonial (Tanam Paksa)

Beralih ke ruang tiga, pengunjung melihat penerapan sistem kolonial tanam paksa atau Cultuur Stelsel yang fokus pada budidaya kopi. Di ruangan ini juga ditampilkan display perkebunan kopi dan koleksi duplikat alat perebus kopi untuk menyeduh daun kopi saja karena biji kopi wajib diserahkan ke pemerintah Belanda. Ada juga koleksi mesin penggiling kopi sejak abad ke-19.

Ruang 4: Ruang Multatuli

Ruangan ini berisi tentang profil Multatuli yang disuguhkan dengan koleksi mahakaryanya yaitu roman Max Havelaar yang merupakan koleksi utama dari museum ini. Selain itu, ada juga koleksi buku karya Multatuli terdiri dari lima jilid Verzamelde Werken. Isinya tentang pemikiran-pemikiran Multatuli, naskah teater, dan puisi yang pernah dibuat oleh Multatuli.

Ruang 5: Ruang Banten

Ruang 5 sampai 7 mengusung tema antikolonialisme. Ruang ini menampilkan gerakan perjuangan antikolonialisme yang dilakukan oleh rakyat Banten. Perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Banten dimulai sejak tahun 1829 yang disebut dengan peristiwa pemberontakan Nyimas Gamparan. Perjuangan ini digambarkan lengkap sampai dengan rakyat Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945.

Ruang 6: Ruang Lebak

Pada ruangan ini terdapat galeri foto dengan narasi sejarah Lebak dari masa ke masa. Dimulai dari tahun 1828 saat terbentuknya Kabupaten Lebak. Narasi sejarah ini ditampilkan secara runtut berdasarkan kronologi waktu dari zaman Bupati RTA Karta Natanegara tahun 1830 sampai perkembangan Kabupaten Lebak paska kemerdekaan tahun 1947.

Ruang 7: Ruang Temporary

Sesuai dengan namanya, ruangan ini merupakan ruangan tidak tetap yang akan diisi sesuai dengan kebutuhan museum. Namun, ada juga koleksi buku Max Havelaar yang bisa dibaca pengunjung tapi tidak bisa dibawa ke luar.

4. Lokasi dan HTM

Lokasi Museum Multatuli sangat strategis, yakni di Alun-Alun Kota Rangkasbitung, tepatnya di Jl. Alun-alun Timur No. 8, Kec. Rangkasbitung Barat. Adapun jam operasional museum yaitu:

  • Selasa-Jumat: 08.00-16.00 WIB
  • Sabtu-Minggu: 09.00-15.00 WIB
  • Senin dan hari libur nasional tutup

Harga tiket masuk sangat terjangkau yaitu:

  • Umum: Rp2000
  • Pelajar: Rp1000
  • Mancanegara: Rp15.000

Baca juga: Museum Bank Mandiri: Jejak Langkah Perbankan di Indonesia

Museum Multatuli memberikan pengetahuan sejarah tentang bagaimana kolonialisme menindas rakyat Indonesia. Namun, ada sosok yang berani mengungkapkan ketidakadilan penjajahan Belanda ke permukaan melalui novel Max Havelaar. Novel ini pun menjadi inspirasi bagi banyak tokoh untuk melakukan gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tags: Douwes Dekkerjam operasional museum multatulilebak bantenlokasi museum multatuliMax Havelaarmuseummuseum antikolonialismemuseum di Lebak Bantensejarah museum multatulitiket masuk museum multatuli
Share187Tweet117
Next Post
bohopanna, brand lokal fesyen anak

Cerita Bohopanna: Dari Kegelisahan Seorang Ibu Jadi Brand Lokal Fesyen AnakĀ 

TERKINI

Tempat Wisata di Batam, dari Alam sampai Buatan

10 Rekomendasi Tempat Wisata di Batam, dari Alam sampai Buatan

10 June 2025
bohopanna, brand lokal fesyen anak

Cerita Bohopanna: Dari Kegelisahan Seorang Ibu Jadi Brand Lokal Fesyen AnakĀ 

10 June 2025
Museum Multatuli: Museum Antikolonialisme Pertama

Menelusuri Museum Multatuli, Tempat Belajar tentang Kolonialisme dan Kemanusiaan

10 June 2025
Suku Terpencil di Dunia dengan Hidup Tradisional

Mengenal 7 Suku Terpencil di Dunia yang Masih Hidup dengan Cara Tradisional

10 June 2025
Komisaris Utama JNE, Hj. Nuraini Soeprapto (jilbab hitam, tengah) bersama Dirut JNE M. Feriadi dan Dirut TIKI Yuliana Hastuti.

Warisan Sosial H. Soeprapto: JNE dan TIKI Lestarikan Tradisi Kurban di Yatuna

9 June 2025
Hj. Nuraini Soeprapto

Mewarisi Kedermawanan: Hj. Nuraini Soeprapto dan Semangat Berbagi di Iduladha 2025

9 June 2025

POPULER

Tempat Wisata di Payakumbuh yang Bisa Dikunjungi

Wisata ke Payakumbuh? Ini Destinasi Paling Seru yang Bisa Dikunjungi

by Penulis Konten
29 May 2025

Lazy Girl Jobs: Contoh Pekerjaannya dan Kenapa?

Lazy Girl Jobs: Apa Saja Contoh Pekerjaannya dan Kenapa Ramai Dibahas?

by Penulis Konten
27 May 2025

Egg Freezing: Proses, Manfaat, dan Pertimbangannya

Mengenal Egg Freezing: Proses, Manfaat, dan Pertimbangannya

by Penulis Konten
24 May 2025

Tempat Wisata di Banjarbaru yang Populer

7 Tempat Wisata Populer di Banjarbaru yang Sayang Dilewatkan

by Penulis Konten
8 June 2025

Daging Kurban: Tip Menyimpan dan Mengolah

Tip Menyimpan dan Mengolah Daging Kurban agar Awet dan Higienis

by Penulis Konten
5 June 2025

JNEWS Online

©2020 - Your Trusted Logistic Portal

Navigate Site

  • About
  • Privacy & Policy
  • Contact

Follow Us

No Result
View All Result
  • JONI
    • Aksi JONI
    • Inspirasi JONI
    • Hobi JONI
    • Lokasi JNE
    • Loker JNE
    • Program JNEWS Online
      • Fun Writing
      • Kuis JNEWS Online
      • Kuis Kalender JNE
    • Video
  • Logistik & Kurir
  • Infografik
  • e-Commerce
  • UKM
    • Komunitas
    • Golaborasi 2023
  • Lifestyle
    • Tekno
    • Traveling
  • Liputan Khusus
    • 34 Tahun JNE
    • JNE Content Competition
      • Content Competition 2024
      • Content Competition 2025
      • Pemenang Content Competition 2023
      • Pemenang Content Competition 2024
    • Cosmo JNE FC
    • Gelitik
    • JNE x Slank
    • Pekan Kartini

©2020 - Your Trusted Logistic Portal