JNEWS – Ada hal-hal yang tidak bisa dikirim lewat kata. Ada rindu yang hanya bisa dikemas dalam kardus sederhana, dibalut lakban, dan diantarkan kurir dalam diam. Bagi saya, sebagai seorang anak rantau dari desa kecil di Sumatera, paket dari rumah bukan sekadar barang. Itu adalah pesan diam dari ibu yang tak pandai berkata, tetapi selalu tahu bagaimana menyelipkan doa lewat sebungkus kopi kampung atau seikat kerupuk udang.
Dalam dunia yang serba cepat, pengiriman barang seolah menjadi rutinitas biasa. Tapi bagi kami yang tinggal jauh dari keluarga, itu adalah upaya kecil untuk tetap merasa dekat. Tulisan ini bertujuan untuk merefleksikan peran layanan pengiriman, khususnya JNE, sebagai medium komunikasi emosional antara keluarga yang terpisah jarak.
Penulisan dilakukan melalui pendekatan reflektif-naratif berbasis pengalaman pribadi, yang diperkuat dengan referensi dari kajian psikologi komunikasi dan hubungan keluarga. Dengan menggandeng pengalaman pribadi dan referensi kajian komunikasi emosional, tulisan ini berusaha melihat bahwa pengiriman bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan ritual diam-diam mempertahankan kasih sayang.
Kerinduan yang Dibungkus Kardus
Saya masih ingat, awal merantau untuk sekolah, saya sempat berpikir rindu bisa saya tahan. Tapi ketika semester pertama berakhir, dan paket kecil dari rumah tiba dengan tulisan tangan ibu, rindu itu tumpah. Tidak ada surat panjang. Tidak ada pesan. Hanya sebungkus krupuk, sambal terasi buatan sendiri, dan baju hangat yang aroma lacinya samar-samar membawa bau rumah. Namun di sisi kardus, ibu menulis dengan spidol: “Untuk Andhika. Makan yang cukup, jangan lupa istirahat.” Kalimat itu sederhana, tapi menyentuh lebih dalam dibanding pesan digital mana pun.
Pengalaman itu mengajarkan saya: ada komunikasi yang tidak berbunyi, tapi terasa sampai tulang. Menurut kajian oleh Knapp dan Vangelisti (2009), komunikasi non-verbal seperti hadiah atau paket merupakan cara mempertahankan kedekatan emosional dalam hubungan jarak jauh. Sejalan dengan temuan Triningsih dan Astuti (2021), komunikasi emosional antara orang tua dan anak dalam keluarga jarak jauh tidak selalu diwujudkan lewat percakapan digital, melainkan juga melalui simbol seperti makanan, pakaian, atau benda kiriman yang menyimpan makna emosional. Dalam konteks ini, layanan logistik seperti JNE menjadi perantara diam yang mendukung komunikasi keluarga jarak jauh.
Logistik Sebagai Bahasa Kasih
Dalam berbagai penelitian psikologi, rindu yang tidak tersampaikan dapat menimbulkan kecemasan (Mikulincer & Shaver, 2016). Paket-paket dari rumah menjadi katup pelepas emosi itu. Ketika saya membuka kardus itu, rasanya seperti ibu memeluk dari kejauhan. Bahkan, pengiriman dengan layanan “YES” (Yakin Esok Sampai) seolah menjadi metafora bahwa rindu ini pun ingin cepat tiba.
JNE, dalam slogan “Connecting Happiness,” ternyata bukan jargon kosong. Berdasarkan laporan media nasional, pengiriman dari kota kecil ke kota besar meningkat lebih dari 30% saat tahun ajaran baru. Mayoritas paket ditujukan kepada pelajar rantau seperti saya. Ini membuktikan bahwa logistik memang menjadi penghubung emosional yang tak terlihat. Dalam dunia psikologi hubungan, benda yang dikirimkan seseorang sering dianggap sebagai perpanjangan diri (Belk, 1988). Maka ketika ibu mengirimkan bumbu dapur, itu bukan sekadar bumbu itu adalah dirinya yang ikut hadir di kamar kontrakan saya yang sunyi.
Di Balik Nomor Resi Ada Nama Ibu
Di dunia modern, transaksi dan hubungan sering kali diukur dengan angka. Nomor resi, ongkos kirim, estimasi waktu. Tapi bagi saya, nomor resi itu selalu mengingatkan pada nama ibu. Setiap ada notifikasi “Paket Anda telah diterima,” hati saya serasa mendengar suara ibu berkata, “Jaga diri baik-baik.”
Tak jarang, pengiriman itu dilakukan dengan menyisihkan sebagian dari penghasilan yang seharusnya untuk kebutuhan ibu sendiri. Dalam secarik paket itu, terkandung pengorbanan yang tak pernah diucap. Nomor resi itu bukan sekadar angka, tapi bukti cinta yang diam-diam dikirimkan ibu dengan sabar. Di situ, saya belajar makna cinta yang paling jernih: pengorbanan yang dikirim dalam diam.
Paket kecil dari kota adalah cermin dari rindu yang dikemas rapat dan dikirim dengan nama pengirim sederhana: ibu. Dalam dunia yang didominasi efisiensi, kecepatan, dan angka, justru paket sederhana itulah yang membawa muatan paling mahal: kasih sayang.
Melalui refleksi pengalaman pribadi dan penguatan dari studi psikologi komunikasi, kita dapat melihat bahwa layanan pengiriman tidak hanya bekerja secara fisik, tetapi juga bekerja dalam ranah emosi manusia. JNE, dalam konteks ini, bukan sekadar kurir barang, melainkan kurir cinta, kurir rindu, kurir rumah. Ke depan, JNE dapat mempertimbangkan menambahkan fitur personalisasi paket seperti kartu ucapan tangan dari pengirim atau pesan singkat yang bisa dicetak otomatis, agar setiap paket benar-benar menjadi jembatan emosional yang utuh.
Karena dalam setiap kardus yang dikirim, selalu ada lebih dari sekadar barang ada rumah yang ikut menumpang pulang. Dan benar adanya: JNE bukan sekadar mengantarkan paket, melainkan benar-benar Connecting Happiness.
*Penulis merupakan juara 1 Lomba Menulis JNE Content Competition 2025 kategori Pelajar/Mahasiswa