Mengenal Pelabuhan Sunda Kelapa: Simbol Sejarah dan Perdagangan Nusantara

JNEWS – Pelabuhan Sunda Kelapa sering wira-wiri di media sosial sebagai objek foto yang estetik. Kapal-kapal di pelabuhan ini seolah terperangkap oleh waktu. Suasana yang masih tradisional tersebut justru menarik perhatian para peminat fotografi dan wisatawan. Dahulu, pelabuhan ini sangat penting bagi perdagangan dunia.

Mengenang zaman kejayaan Pelabuhan Sunda Kelapa berarti membuka kembali sejarah panjang yang telah berlalu selama berabad-abad. Pelabuhan yang terletak di kawasan Jakarta Utara ini pernah menjadi pusat kegiatan ekonomi yang sangat ramai hingga menjadi cikal bakal Kota Jakarta. Asal-usul Sunda Kelapa penting untuk diketahui agar pengunjung lebih menghargai tempat bersejarah ini dan pelaku sejarahnya.

Tentang Pelabuhan Sunda Kelapa

Mengenal Pelabuhan Sunda Kelapa: Simbol Sejarah dan Perdagangan Nusantara

Sunda Kelapa kini adalah sebuah pelabuhan rakyat yang terletak di Jl. Maritim No. 8 Sunda Kelapa, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Posisinya tak jauh dari kawasan cagar budaya Kota Tua. Pelabuhan Sunda Kelapa dikelola oleh Pelindo (PT Pelabuhan Indonesia).

Sunda Kelapa menempati area seluas 59 hektare dan memiliki dermaga yang mampu menampung kapal dengan panjang 400 hingga 1.200 meter. Kapal yang berlabuh di Sunda Kelapa kebanyakan merupakan tipe kargo multipurpose.

Dikutip dari laman Pelindo, sekarang pelabuhan ini hanya melayani kapal bongkar muat barang dan peti kemas. Komoditas yang diangkut adalah kayu, bahan kebutuhan pokok, barang kelontong, dan bahan bangunan.

Sunda Kelapa disinggahi kapal-kapal antarpulau dan pelayaran rakyat yang menggunakan Phinisi atau Bugis Schooner. Bentuk kapal-kapal tradisional yang unik itulah yang menarik perhatian wisatawan.

Baca juga: Rekreasi di Jakarta dengan Anggaran Terbatas: 6 Aktivitas Gratis atau Terjangkau yang Bisa Dilakukan

Masa Kerajaan

Pelabuhan ini dipercaya telah digunakan sejak zaman Kerajaan Tarumanegara atau Tarumanagara pada abad ke-5 Masehi, yang dikenal dengan nama Sundapura. Tarumanegara mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 5-7 Masehi. Tarumanegara pecah sepeninggal Raja Linggawarman hingga berdiri Kerajaan Sunda dan Galuh dengan batas Sungai Citarum. Sedangkan letak pelabuhan diperkirakan menjorok di muara Sungai Ciliwung.

Kerajaan Sunda yang mendapat kekuasaan atas Sundapura memindahkan ibu kota kerajaan ke pedalaman, yaitu ke Pakuan Pajajaran, yang sekarang dikenal dengan Kota Bogor. Jarak pelabuhan ke ibu kota kerajaan menjadi lebih jauh, yaitu dengan waktu tempuh 2 hari.

Di bawah Kerajaan Sunda, pelabuhan ini berkembang pesat. Nama Pelabuhan Sunda Kelapa diperkirakan muncul pada abad ke-10. Kapal-kapal dari Tiongkok, India, dan Timur Tengah berdatangan membawa porselen, sutra, anggur, parfum, dan sebagainya untuk ditukar dengan rempah-rempah.

Popularitas pelabuhan ini mengundang keinginan kerajaan lain untuk merebut kekuasaan. Salah satu kerajaan yang berminat adalah Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Demak merupakan bagian dari Majapahit yang telah melepaskan diri. Kerajaan Sunda yang menjalin hubungan baik dengan Portugal juga turut memperkuat keinginan Sultan Trenggana untuk merebut Sunda Kelapa.

Pada tahun 1527, Kerajaan Demak yang bersekutu dengan Kerajaan Cirebon menyerang Sunda Kelapa dengan dipimpin oleh Fatahillah. Sunda Kelapa berhasil direbut pada tanggal 22 Juni 1527 dan namanya diganti menjadi Jayakarta. Selanjutnya, Jayakarta diserahkan kepada putra Fatahillah, yaitu Maulana Hasanuddin, yang merupakan Sultan Kerajaan Banten. Di kemudian hari, tanggal ini digunakan sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta.

Pengaruh Portugal

Informasi tentang sejarah pelabuhan ini pada awal masa kolonial banyak menggunakan catatan Tome Pires dari Portugis. Tome Pires tiba di pelabuhan ini pada tahun 1513. Tome Pires menyebut Sunda Kelapa dengan nama Capala atau Kalapa.

Berdasarkan catatan Pires, saat itu Kalapa berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu – Pajajaran (Sunda). Kalapa digambarkan sebagai pelabuhan terbesar dan termegah di Jawa, yang dikelola oleh syahbandar. Pires juga mencatat terjadinya perdagangan budak dari Maladewa. Namun Pires tidak mencatat aktivitas lain, termasuk hubungan pemerintahan.

Pada tanggal 21 Agustus 1522, terjadi perjanjian persahabatan antara Portugal dan Kerajaan Sunda. Portugal berjanji akan melindungi Kerajaan Sunda dari ancaman Kerajaan Cirebon jika diizinkan mendirikan kantor perwakilan.

Perjanjian inilah yang memicu Kerajaan Demak bersekutu dengan Kerajaan Cirebon untuk menyerang Pelabuhan Kalapa. Ketika serangan terjadi, Portugal terbukti tidak dapat memberikan bantuan apa pun karena bala bantuan datang terlambat.

Masa Hindia-Belanda

Setelah berkuasa hampir satu abad, kekuasaan Banten atas Jayakarta berakhir karena pada tanggal 30 Mei 1619, Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Pasukan Belanda dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen di bawah Verreenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Jatuhnya Jayakarta menandai dimulainya penjajahan Hindia-Belanda selama 3,5 abad di Indonesia.

J.P. Coen mendirikan kota baru di atas reruntuhan Jayakarta yang diberi nama Batavia. Pada tahun 1817, kanal di pelabuhan diperpanjang dari 810 meter menjadi 1.825 meter.

Pada tahun 1859, Batavia mengalami masa-masa suram akibat pendangkalan pelabuhan dan persaingan dengan Singapura yang telah dibangun Raffles. Selain itu, Batavia terserang wabah penyakit dan gangguan keamanan dari para budak yang melarikan diri. Banyak penduduk elit dan warga asing yang meninggalkan Batavia.

Jalan keluar dari masalah tersebut adalah pembangunan pelabuhan baru yang tepat berada di tepi laut, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok. Pembangunan dilakukan pada tahun 1877 oleh Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge.

Masa Kemerdekaan

Ketika Jepang merebut Indonesia dari Belanda pada tahun 1942, nama Kota Batavia berubah menjadi Kota Jakarta. Nama Pelabuhan Sunda Kelapa kembali digunakan secara resmi berdasarkan Surat Keputusan Gubernud DKI Jakarta No.D.IV a.4/3/74 tanggal 6 Maret 1974.

Hingga awal tahun 2000-an, masih banyak kapal cepat antarpulau yang mengantar jemput penumpang dari pelabuhan ini. Sekarang, Pelabuhan Sunda Kelapa fokus melayani kapal kargo berukuran sedang.

Meski demikian, bukan berarti masyarakat umum tidak bisa lagi naik kapal dari sini. Masih ada kapal penyeberangan jarak dekat ke Pulau Seribu, meski jadwalnya tidak sebanyak dari Muara Angke. Ada pula perahu-perahu nelayan yang melayani wisatawan berkeliling area pelabuhan.

Wisatawan juga bisa berkunjung ke pasar ikan dan Museum Bahari. Bangunan-bangunan peninggalan zaman Belanda sudah direnovasi. Banyak komunitas sejarah yang telah melakukan walking tour di seputar pelabuhan ini.

Baca juga: Melacak Jejak Sejarah Budaya dengan Liburan di Jakarta

Pelabuhan Sunda Kelapa telah mengarungi rentang zaman yang sangat panjang. Kini, Sunda Kelapa bukanlah pelabuhan kuno yang sudah ditinggalkan, melainkan telah bertransformasi menjadi penyimpan sejarah yang menarik untuk dikunjungi.

Exit mobile version