JNEWS – Setelah sukses mendirikan TIKI, 35 tahun silam, tepatnya pada 26 November 1990 PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) didirikan oleh (alm) H. Soeprapto Soeparno bersama sang adik (alm) H. Soelasmo dan beberapa kolega bisnisnya, seperti H. Johari Zein, Irawan Sarpingi, Gideon Wiraseputra dan Rusmanhadi. Modalnya tidak terlalu besar dan hanya digawangi 8 karyawan. Saat ini JNE sudah menjelma menjadi perusahaan pengiriman dan logistik terdepan di Tanah Air dengan lebih dari 60 ribu karyawan dan 8.000 jaringan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. JNEWS merangkum perjalanan panjang dari mulai pendirian hingga kesuksesan yang direngkuh oleh JNE.
Dua tahun berlalu sudah anak muda bernama Soeprapto Soeparno menanti harap-harap cemas. Akhirnya, sepucuk surat yang dinanti itu tiba, diantar petugas pos naik sepeda ontel. Dalam surat sang adik yang tengah menempuh sekolah menengah di Tanah Jawa banyak berkisah tentang kehidupan nun jauh di seberang lautan Pulau Bangka.
Sang adik bernama Soelasmo itu bercerita bagaimana kehidupan di Tanah Jawa sudah jauh lebih maju dibanding kampung halamannya, Muntok, Kepulauan Bangka. Baik secara perekonomian maupun dalam hal pendidikan, walau stabilitas politik di Jawa belum benar-benar stabil kala itu. Kalender menunjuk awal tahun 1960-an.
Setelah melalui pertimbangan matang dan restu orang tuanya, Soeprapto muda pun memutuskan menyusul adiknya yang tengah sekolah di Yogyakarta. Ia ingin mengubah nasib. Pesan sang ayah yang adalah seorang patriot pejuang kemerdekaan dan sempat berinteraksi langsung dengan Soekarno-Hatta saat diasingkan Belanda di Muntok terus terngiang-ngiang di benaknya. Dalam perjalanannya, sang ayah yang bernama Soeparno setelah Indonesia merdeka terus berjuang di jalur pendidikan. Muntok sendiri adalah sebuah wilayah dataran tinggi (pegunungan) yang ada di Pulau Bangka.
Sang ayah berpesan kepada Soeprapto muda, agar dirinya menjadi orang yang berguna bagi keluarga, agama, bangsa dan negara serta membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk membantu banyak masyarakat.
Baca juga: Presdir JNE Merawat Jejak Kedermawanan Pendiri Perusahaan
Dengan menumpang kapal, Soeprapto berlayar dari Bangka menuju Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta. Kala itu, belum ada pesawat komersial yang terbang dari Pulau Bangka ke Jawa dan satu-satunya moda transportasi yang memungkinkan adalah kapal laut. Begitu menginjakkan kaki di Ibu Kota Jakarta, Soeprapto terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya. Sangat timpang kemajuan yang dilihatnya dibanding tanah kelahirannya.
Ia pun berkeliling Jakarta. Asanya semakin membara. Seulas senyum penuh harapan dan keyakinan bahwa di Tanah Jawa dirinya akan bisa merengkuh kesuksesan kelak, walau belum tahu dari mana harus memulai. Bekal uang dan makanan yang dibawa dari Bangka tidak begitu banyak.
Setelah mendapat gambaran tentang kehidupan di Jakarta, Soeprapto memutuskan untuk meninggalkan Ibu Kota dan berangkat ke Yogyakarta menengok sang adik dengan naik kereta dari Pasar Senen. Ia makin terkagum-kagum sepanjang perjalanan Jakarta – Yogya. Seumur-umur ia baru melihat dan naik kereta besi tersebut.
Di dalam kereta Soeprapto muda juga melihat bagaimana banyak penumpang yang membawa aneka dagangan. Ia pun tidak segan bertanya kepada penumpang lain tentang barang dagangan yang dibawa dan seluk bisnis cara mereka berdagang serta keuntungan yang didapat.
Di dalam gerbong perjalanan kereta Tanah Jawa tersebut insting bisnis Soeprapto mulai timbul. Sesampainya di Yogya, sudah banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang didapatnya. Semangatnya makin menggebu-gebu. Di Stasiun Tugu Yogya sang adik sudah menanti kedatangan kakaknya yang selama ini ikut membiayai sekolahnya. Mereka berpelukan melepas rindu, air mata menetes dari pelupuk mata masing-masing.
“Kakak saya, Pak Soeprapto sering mengirimi saya wesel uang waktu saya sekolah di Yogya waktu itu. Saya tahu kakak saya itu bekerja keras di Bangka sana untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga termasuk membantu biaya saya sekolah di Jawa. Saya pun juga kerja serabutan sepulang sekolah untuk menambah uang karena tidak mau merepotkan orang yang ada rumah di Bangka sana, karena saya sadar kami berasal dari keluarga yang sederhana secara ekonomi, sementara di Jawa tidak punya siapa-siapa,” ungkap H. Soelasmo kepada JNEWS suatu ketika. * (bersambung)












