Mengenal Pura Pakualaman di Yogyakarta, Istana Kecil yang Sarat Nilai Sejarah

JNEWS – Pura Pakualaman adalah salah satu peninggalan bersejarah yang masih berdiri megah di tengah Kota Yogyakarta. Sejak didirikan pada awal abad ke-19, kawasan ini menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Pakualaman yang memiliki peran penting dalam sejarah Yogyakarta.

Pura Pakualaman adalah saksi hidup perubahan zaman. Di balik tembok dan halaman luasnya, masih terasa jejak kehidupan bangsawan masa lalu yang berpadu dengan denyut kehidupan kota modern.

Jejak Sejarah Pura Pakualaman di Yogyakarta

Kawasan Cagar Budaya Pakualaman merupakan salah satu bagian penting dari sejarah Yogyakarta. Kawasan ini berada di bawah kekuasaan Kadipaten Pakualaman, sebuah wilayah yang berdiri sejak tahun 1813.

Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan DIY, berdirinya kadipaten ini terjadi pada masa kekuasaan Inggris di Indonesia, setelah Hamengku Buwono II menyerahkan sebagian kekuasaan kepada adiknya, Pangeran Natakusuma. Penyerahan itu disertai gelar Pangeran Merdika, yang berarti pangeran yang merdeka.

Kawasan ini memiliki otonomi sendiri di luar kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Natakusuma pun dikenal sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam I. Beliau kemudian menetap di Pura Pakualaman yang terletak di sebelah timur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Meski pusat pemerintahannya di tengah Kota Yogyakarta, wilayah kekuasaan Kadipaten Pakualaman berada di daerah Kulon Progo. Bangunan Pura Pakualaman ini pertama kali dibangun oleh Sri Paku Alam I pada masa kolonial Inggris (1811–1816). Setelah masa Inggris berakhir, wilayah ini kembali berada di bawah kekuasaan Belanda hingga tahun 1942.

Pada awal berdirinya, bangunan Pura Pakualaman masih sangat sederhana. Komplek utamanya hanya terdiri dari pendapa, taman di bagian luar, dan beberapa bangunan pendukung. Seiring berjalannya waktu, terutama pada masa Sri Paku Alam IV, V, dan VII, arsitektur Pura Pakualaman mengalami beberapa perubahan besar. Perubahan itu mencakup pembangunan gedung baru dan pembongkaran bangunan lama untuk menyesuaikan kebutuhan serta perkembangan zaman.

Ketika Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942, aktivitas pembangunan di Puro Pakualaman sempat terhenti. Tidak ada perubahan berarti selama masa pendudukan Jepang tersebut.

Barulah setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kawasan ini kembali hidup dengan semangat baru. Banyak bagian dari kompleks Pura Pakualaman yang kemudian digunakan untuk kepentingan umum. Hal ini tidak lepas dari sikap para pemimpin Pakualaman yang dikenal demokratis dan terbuka terhadap masyarakat.

Baca juga: Mengintip Kemegahan dan Filosofi di Balik Keraton Yogyakarta

Tata Ruang dan Karakter Kawasan Pakualaman

Pura Pakualaman di Yogyakarta yang Bersejarah

Masih dikutip dari laman website Dinas Kebudayaan DIY, kawasan Pakualaman dibangun dengan mengikuti konsep tata ruang tradisional Jawa yang disebut Catur Gatra Tunggal. Konsep ini menggambarkan empat unsur penting yang menjadi satu kesatuan, yaitu pemerintahan, sosial, ekonomi, dan religiusitas. Keempat unsur ini saling terhubung dan membentuk keseimbangan hidup masyarakat Pakualaman sejak dulu hingga sekarang.

Dalam penerapannya, Pura Pakualaman berfungsi sebagai pusat pemerintahan tempat Adipati Paku Alam memimpin kadipaten. Kegiatan sosial dan interaksi antara pemimpin dan rakyat dilakukan di Alun-alun Sewadanan, sebuah lapangan terbuka yang menjadi ruang bersama masyarakat.

Untuk kegiatan keagamaan, masyarakat beribadah di Masjid Pakualaman yang letaknya tidak jauh dari Pura. Sedangkan kegiatan ekonomi berlangsung di Pasar Tanjung, yang kini sudah berganti menjadi Pasar Sentul.

Meskipun terjadi perubahan dari waktu ke waktu, makna dan konsep Catur Gatra Tunggal masih tetap dipertahankan. Perubahan lokasi pasar dari barat ke timur kawasan tidak mengubah nilai dasar tata ruangnya. Hingga kini, susunan kawasan Pakualaman masih mencerminkan karakter khas tata kota kerajaan Mataram Islam, yang teratur, fungsional, dan memiliki makna simbolis di setiap sisinya.

Struktur Kawasan dan Sistem Permukiman

Ciri khas kawasan Pakualaman juga terlihat dari struktur wilayah dan nama-nama tempatnya. Pola jalannya masih mengikuti bentuk asli sejak pertama kali dibangun. Dulu, jalan-jalan ini digunakan sebagai jalur upacara atau ritual kerajaan. Pada perkembangannya kemudian ada beberapa jalan kecil di dalam kampung yang ditambahkan untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat modern.

Di kawasan ini juga terdapat Ndalem, yaitu rumah para pangeran, kerabat, atau pejabat Pakualaman. Baik Ndalem maupun Pura Pakualaman dibangun dengan konsep tata ruang tradisional Jawa. Bentuk dan susunannya mengikuti prinsip harmoni antara bangunan, halaman, dan lingkungan sekitar.

Selain itu, sistem kepemilikan tanah di kawasan ini juga khas. Ada sistem magersari dan indung, yang mengatur penggunaan tanah oleh warga, serta tanah keprabon (milik istana) dan tanah bukan keprabon (milik masyarakat umum).

Arsitektur dan Warisan Fisik

Sumber: Dinas Kebudayaan DIY

Secara fisik, kawasan Pakualaman memiliki tiga unsur utama yang membentuk karakternya, yang terdiri atas tipologi bangunan, struktur kawasan, dan konsep tata ruangnya. Dalam perkembangannya, muncul dua gaya arsitektur dominan di sini, yaitu arsitektur Jawa dan arsitektur dengan pengaruh Eropa. Seiring waktu, beberapa bangunan baru juga menampilkan gaya modern tanpa menghapus sepenuhnya identitas lama kawasan.

Gaya arsitektur Jawa dapat dilihat jelas pada bangunan Pura Pakualaman yang kini menjadi kediaman resmi K.G.P.A.A. Paku Alam X. Beberapa Ndalem Pangeran juga masih mempertahankan bentuk aslinya, meski sebagian telah berganti fungsi atau pemilik.

Ciri khas arsitektur Jawa terlihat dari bentuk atap, susunan ruang, dan bukaan bangunan yang mengikuti filosofi tradisional. Sementara itu, arsitektur Indisch atau Eropa banyak ditemukan di sisi selatan Pura Pakualaman. Di area tersebut, ada beberapa bangunan bergaya kolonial yang digunakan sebagai rumah tinggal atau tempat usaha.

Kini, sebagian bangunan lama telah mengalami perubahan fungsi agar tetap hidup dan digunakan. Misalnya, Ndalem Suryoprinangan kini menjadi Hotel Puri Pangeran, sedangkan Ndalem Notokusuman (Kepatihan) beralih fungsi menjadi fasilitas pendidikan.

Beberapa rumah bergaya Indisch di kawasan Kemayoran berubah menjadi kantor, sementara di Ndalem Pujowinatan muncul pemukiman padat hasil dari sistem magersari. Ada juga Ndalem yang sudah berpindah kepemilikan, seperti Ndalem Nototarunan yang kini menjadi milik pribadi. Meskipun fungsi bangunannya berubah, nilai sejarahnya tetap penting sebagai bagian dari perjalanan panjang kawasan Pakualaman.

Pura Pakualaman, Warisan Cagar Budaya

Kawasan Pakualaman menyimpan banyak warisan budaya yang kini sudah diakui sebagai cagar budaya, dan sebagian lainnya masih berpotensi untuk ditetapkan. Beberapa di antaranya adalah Pura Pakualaman dengan seluruh kompleks bangunannya seperti Regol Danawara, Pendapa Sewatama, Dalem Ageng Probosuyoso, Gedung Maerokoco, dan Kestalan.

Ada juga Masjid Agung Pakualaman, Alun-alun Sewadanan, serta sejumlah Ndalem bersejarah seperti Dalem Suryasudirjan (1843), Dalem Banaran (1923), Dalem Somawinatan (1855), Dalem Suryaningprangan (1843), Dalem Pujowinatan (1843), dan Dalem Nototarunan (1811) yang menjadi salah satu bangunan tertua di kawasan ini.

Selain itu, masih ada Dalem Natanegaran (1833), Dalem Kepatihan, serta bangunan kolonial seperti Kemayoran I, Kemayoran II, dan Bangunan Ngesus (Societeit Mari Oneng). Beberapa lokasi penting lainnya termasuk Makam Sasrabahu, Makam Gunung Ketur, Pasar Sentul, Dalem Pengulon, Dalem Suryokusuman, Museum Panglima Besar Sudirman, dan Susteran Sang Timur.

Nama-nama kampung di sekitar kawasan juga menyimpan jejak sejarah lama. Misalnya Kampung Natawinatan dan Suryengjuritan yang dulunya merupakan tempat tinggal para bangsawan, Kenekan dan Jagalan yang menunjukkan profesi masyarakat masa itu, serta Kampung Tanjung, Kauman, dan Beji yang mencerminkan ciri lingkungan dan aktivitas warganya.

Kini, sebagian besar nama kampung itu hanya tersisa sebagai toponim, sementara fungsi dan kehidupan di dalamnya sudah banyak berubah.

Baca juga: Istana Ternate: Jejak Kejayaan Kesultanan di Maluku Utara

Meski mengalami banyak perubahan, karakter utama kawasan Pura Pakualaman masih terjaga hingga kini. Dalam skala besar, pola tata ruang dan struktur kawasan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Namun, pada skala yang lebih kecil, seperti bangunan, ruang terbuka, dan lanskap, perubahan memang tak terelakkan. Pemadatan bangunan, perubahan fungsi lahan, serta aktivitas masyarakat modern sedikit banyak menggeser makna lama kawasan ini.

Namun, justru di sanalah letak daya tarik Pura Pakualaman dan sekitarnya hari ini. Kawasan ini adalah ruang hidup yang terus menyesuaikan diri tanpa kehilangan identitas aslinya. Setiap sudutnya masih menyimpan kisah tentang masa lalu yang berpadu dengan kehidupan masyarakat masa kini.

Exit mobile version