JNEWS – Rebo Wekasan adalah momen yang sarat dengan tradisi dan kekayaan budaya yang telah bertahan turun-temurun di berbagai daerah di Indonesia. Hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Hijriyah ini tidak hanya sekadar tanggal dalam kalender, tetapi merupakan simbol dari penggabungan antara kepercayaan kuno dengan praktik spiritual yang lebih luas.
Setiap tahun, ritual-ritual khas dipraktikkan dengan harapan mendatangkan keberkahan dan menghindari malapetaka.
Apa Itu Rebo Wekasan?
Rebo Wekasan merujuk pada hari Rabu terakhir yang ditemukan dalam kalender Hijriyah, tepatnya pada bulan Safar, bulan kedua dalam sistem penanggalan tersebut.
Rebo berarti Rabu, dan wekasan berarti terakhir. Oleh karena itu, Rebo Wekasan bisa diartikan secara harfiah sebagai hari Rabu terakhir.
Tradisi ini lebih dari sekadar penamaan hari dalam kalender. Hari ini memiliki kedudukan penting dalam budaya Jawa sebagai hari khusus untuk melakukan upacara adat yang tidak dikaitkan dengan hari pasaran atau neptu tertentu. Upacara yang diadakan bertujuan untuk menolak bala, yakni mengusir penyakit dan marabahaya yang dipercaya datang di hari tersebut. Tradisi ini merupakan hasil sintesis antara nilai-nilai Islam dan kebudayaan Jawa.
Dalam praktiknya, Rabu Wekasan diisi dengan serangkaian kegiatan spiritual seperti doa bersama, salat sunah, dan bersedekah. Kegiatan ini bertujuan sebagai ungkapan syukur serta upaya secara spiritual untuk menangkal bencana.
Di daerah pesisiran Jawa, yang notabene memiliki pengaruh Islam yang lebih kuat dan lebih awal dibanding daerah pedalaman, tradisi ini masih sangat lekat dalam kehidupan masyarakat.
Untuk tahun 2024 ini, hari Rabu terakhir di bulan Safar jatuh pada tanggal 4 September. Tepatnya bertepatan dengan 30 Safar 1446 Hijriah. Masyarakat yang masih memegang teguh tradisi ini akan melaksanakan berbagai ritus adat dengan harapan untuk terhindar dari marabahaya dan sebagai sarana memohon perlindungan.
Baca juga: Tradisi dan Upacara Adat Suku Jawa yang Masih Dipraktikkan Hingga Kini
Sejarah Rebo Wekasan
Salah satu sumber menyebutkan, bahwa tradisi hari Rabu yang terakhir di bulan Safar ini awalnya berasal dari upaya para wali dan ulama untuk merespons kepercayaan lokal di Jawa selama masa awal perkembangan Islam.
Dalam konteks ini, hari tersebut dianggap sebagai hari yang penuh dengan tantangan dan keburukan. Para wali mengubah persepsi negatif ini dengan mengintegrasikan praktik keagamaan yang mempromosikan kedekatan dengan Allah Swt. Mereka banyak mendorong masyarakat untuk melakukan amalan-amalan positif, seperti salat sunah dan doa bersama.
Contohnya, menurut cerita, Kabupaten Gresik pada masanya pernah mengalami kekeringan yang dikaitkan oleh masyarakat setempat dengan Rebo Wekasan ini. Namun, Sunan Giri, salah satu dari Wali Songo, memberikan petunjuk tentang letak sumber air yang bisa digunakan oleh masyarakat. Beliau pun mendorong masyarakat untuk memperingati hari tersebut sebagai hari doa dan perlindungan.
Proses pengadopsian tradisi ini juga banyak dikaitkan dengan beberapa peristiwa historis di masa kolonial. Misalnya, pada tahun 1602, saat ada ancaman penjajahan Belanda, masyarakat setempat juga melakukan ritual untuk menolak penjajah. Belanda dianggap sebagai wujud bala atau malapetaka, yang harus diusir melalui beragam ritual tersebut.
Versi lain dari asal usul Rebo Wekasan melibatkan pertemuan mitologis antara Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa dari pantai selatan. Awalnya, upacara ini diadakan di tempuran (pertemuan) dua sungai, Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak. Namun, karena dianggap membawa dampak negatif, tradisi ini diubah menjadi lebih simbolis, dengan arak-arakan gunungan lemper sebagai representasi doa dan harapan masyarakat.
Tradisi-Tradisi yang Dilakukan oleh Masyarakat di Hari Rebo Wekasan
Ada beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di hari Rebo Wekasan dan masih dilestarikan hingga kini. Berikut beberapa di antaranya.
1. Sedekah Ketupat di Cilacap
Di Kecamatan Wanareja dan Dayeuhluhur di Cilacap, tradisi sedekah ketupat merupakan peristiwa tahunan yang dinantikan. Dari dini hari, warga setempat memulai dengan menggantung ketupat di batas desa mereka.
Agendanya diawali dengan kegiatan duduk bersama dan berdoa, menyatukan harapan dan rasa syukur. Setelah sesi doa, ketupat yang telah digantung disantap bersama. Tak hanya mereka yang terlibat dalam kegiatan doa saja yang terlibat, tetapi juga warga yang kebetulan lewat.
Selain itu, warga menyusun ketupat menjadi gunungan, yang kemudian diarak ke simpang tiga Desa Tambaksari. Lokasi ini dipilih karena posisinya yang strategis di batas antara Tambaksari dan Majingklak.
Tradisi ini tidak hanya berakhir dengan arak-arakan saja. Setelah acara pembukaan, gunungan ketupat menjadi objek rebutan, simbol dari berbagi dan kebersamaan. Ketupat yang tidak dibawa pulang, dimakan bersama di tempat.
Festival ini dianggap membawa berbagai manfaat, termasuk ekspresi syukur, saling berbagi, dan harapan untuk keamanan desa. Warga lokal percaya bahwa tradisi ini telah berlangsung selama 494 tahun, menjadi bagian penting dari warisan dan identitas komunitas mereka.
2. Rebo Wekasan Wonokromo, Bantul, Yogyakarta
Upacara Rebo Wekasan di Desa Wonokromo, Kecamatan Plered, Kabupaten Bantul, DIY, adalah tradisi tahunan yang dirayakan pada malam Selasa menjelang Rabu terakhir di bulan Safar.
Mengutip dari situs Dinas Kebudayaan DIY, upacara ini diadakan sebagai bentuk syukur akan hadirnya Kyai Faqih Usman, tokoh lokal yang dikenal dengan kemampuannya menyembuhkan penyakit dan membawa berkah untuk kesuksesan. Tradisi ini telah diadakan selama berabad-abad dan dianggap memiliki kekuatan untuk menolak bala.
Dalam tradisi ini, makanan tradisional yang disebut lemper menjadi simbol penting, karena dipercaya mampu menangkal segala marabahaya. Puncak acaranya adalah kirab lemper raksasa dengan tinggi 2,5 meter dan diameter 45 cm, diarak dari Masjid Wonokromo ke Balai Desa Wonokromo. Kirab ini diawali dengan barisan prajurit Kraton Ngayogyakarta, diikuti oleh berbagai grup kesenian lokal, yang semua membawa kekayaan budaya desa.
Lemper kemudian dipotong dan dibagikan kepada semua yang hadir, simbol dari berbagi dan kebersamaan. Selain itu, gunungan yang dibawa juga dipotong dan dibagi-bagikan, mirip dengan tradisi sekaten di Kraton Ngayogyakarta.
3. Ngirab di Cirebon
Di Cirebon, tradisi Ngirab menjadi bagian penting dari perayaan Rebo Wekasan. Dalam tradisi ini, masyarakat akan berziarah ke petilasan Sunan Kalijaga yang terletak di sekitar Sungai Derajat. Tujuannya untuk mendapatkan keberkahan dan keselamatan.
Acara ini menarik banyak warga setempat yang berbondong-bondong ke lokasi untuk mengikuti upacara. Kegiatan ini dimulai sejak dini hari, setelah salat subuh.
Dalam tradisi ini pula, warga Cirebon pesisir, yang dikenal sebagai Cirebon Larang, akan mengarungi sungai untuk bertemu dan bersilaturahmi dengan penduduk Cirebon pegunungan, atau Cirebon Girang. Setelah pertemuan ini, kedua kelompok tersebut bersama-sama menuju sumber air Dukuh Semar untuk melakukan ritual penyucian diri, simbolisasi pembersihan dan pembaruan spiritual.
4. Tradisi Masyarakat Sunda Wiwitan di Sukabumi
Di Situ Gunung, yang terletak di Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, masyarakat setempat juga merayakan Rebo Wekasan dengan penuh antusias. Acara ini diselenggarakan oleh komunitas adat Sunda Wiwitan, yang mengekspresikan kekayaan budaya Sunda melalui perayaan ini.
Ada beragam kegiatan yang dilakukan saat perayaan di Situ Gunung yang mencerminkan budaya Sunda. Contohnya seperti termasuk pertunjukan pencak silat, permainan bola seuneu (bola api), dan alunan musik karinding yang dibuat dari bambu. Kegiatan ini bukan hanya menampilkan keahlian fisik tetapi juga keragaman seni budaya lokal.
Acara biasanya diakhiri dengan doa bersama, memohon perlindungan kepada Tuhan untuk menghindari segala bencana, malapetaka, dan kecelakaan. Setelah sesi doa, warga biasanya berkumpul di sumber air terdekat untuk melakukan ritual penyucian diri.
Baca juga: Upacara dan Ritual di Pura Mangkunegaran: Tradisi yang Hidup
Sebagai perayaan yang kaya akan sejarah dan makna, Rebo Wekasan merupakan momen penting dalam kalender budaya di banyak warga di Indonesia. Tradisi ini tidak hanya menawarkan kesempatan untuk memperkuat tali persaudaraan sesama, tetapi juga mengingatkan pada pentingnya nilai-nilai spiritual dalam menghadapi tantangan hidup.
Dengan demikian, Rabu terakhir ini lebih dari sekadar peringatan tahunan, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan harapan dan doa untuk masa depan yang lebih baik.