Keunikan Rumah Adat Bugis: Arsitektur dan Filosofi di Baliknya

JNEWS – Rumah adat Bugis bukan sekadar tempat tinggal, melainkan simbol penting dalam kehidupan. Rumah bagi suku Bugis dianggap sebagai awal dari siklus kehidupan, tempat seseorang dilahirkan, tumbuh, dan akhirnya meninggal.

Kepercayaan ini mendasari desain dan konstruksi rumah Bugis yang harus mengikuti tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.

Sejarah Suku dan Rumah Adat Bugis

Keunikan Rumah Adat Bugis: Arsitektur dan Filosofi di Baliknya
Sumber: Wikipedia Commons

Suku Bugis merupakan kelompok etnis yang tinggal di berbagai daerah di Indonesia. Di Sulawesi Selatan, mereka menjadi kelompok mayoritas dengan populasi mencapai 41,9%.

Namun, penyebaran mereka tidak terbatas hanya di wilayah tersebut. Mereka juga menjelajah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, hingga ke daerah lain seperti Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, dan Jakarta.

Meskipun berada jauh dari kampung halaman, kelompok etnis ini tetap memelihara budaya asli mereka, termasuk dalam pembangunan rumah adat. Contohnya di Dusun Batu Lawang, Desa Kemojan, Karimunjawa, tempat beberapa keluarga Bugis membangun rumah adat yang khas untuk mempertahankan identitas budaya mereka.

Baca juga: Mengenal Rumah Adat Tongkonan: Ikon Arsitektur Toraja di Sulawesi Selatan

Arsitektur Rumah Adat Bugis

Rumah tradisional Bugis dikenal unik karena dibangun tanpa menggunakan paku atau besi. Di masa lalu, ketika alat modern belum tersedia, masyarakat Bugis menggunakan alat tukang sederhana seperti mata bor manual, gergaji, pahat, dan parang. Alat-alat ini didapatkan melalui barter dengan pedagang yang singgah.

Selain itu, rumah adat Bugis dirancang untuk tahan gempa dengan menggunakan kayu panjang tanpa sambungan yang bisa meredam getaran. Desain arsitektur mereka terinspirasi dari Istana Saoraja di Bone, yang biasanya menghadap ke laut, menunjukkan kedekatan budaya mereka dengan laut.

Dikutip dari situs Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, ada dua jenis rumah adat Bugis, Saoraja dan Bola, yang keduanya memiliki bentuk yang serupa tetapi berbeda dalam beberapa aspek seperti jumlah tiang dan ukuran. Berikut penjelasan mengenai bagian-bagiannya.

1. Struktur Rumah Panggung

Rumah tradisional Bugis umumnya menggunakan desain rumah panggung. Atapnya pelana, dan yang unik ada timpalaja yang jumlah susunannya mencerminkan status sosial pemiliknya.

Strukturnya dibagi menjadi tiga bagian utama yang melambangkan tubuh manusia: tiang-tiang yang menyokong bagian bawah diibaratkan sebagai kaki, bagian tengah yang luas sebagai badan, dan atap yang melengkapi struktur sebagai kepala.

2. Ruang Atas

Ruang atas rumah Bugis dikenal sebagai Rakkeang di kalangan Bugis dan parapara di Makassar. Area ini merupakan area yang terletak di bawah atap tetapi berada di atas plafon.

Umumnya, area ini dimanfaatkan sebagai gudang penyimpanan, tempat menyimpan bahan pangan yang perlu dikeringkan atau diawetkan. Selain itu, juga sebagai lokasi penyimpanan benda-benda berharga atau pusaka keluarga.

3. Ruang Utama

Ruang utama, atau badan rumah, memiliki beberapa nama lokal seperti alebola atau watangmpola di lingkungan Bugis dan kale balla’ di Makassar.

Ruang ini adalah ruang serbaguna yang menjadi pusat kehidupan sehari-hari di rumah. Di sini, berbagai aktivitas dijalankan, mulai dari menerima tamu, berkumpul bersama keluarga, beristirahat, tidur, makan, hingga memasak. Ruangan ini diatur untuk mendukung berbagai keperluan domestik dan sosial.

4. Bagian Bawah Rumah

Kolong rumah, yang disebut awabola oleh masyarakat Bugis dan siring oleh masyarakat Makassar, adalah area terbuka yang terletak di bawah lantai rumah. Area ini sering digunakan untuk kegiatan santai, seperti tempat bermain atau bersantai selama hari.

Selain itu, kolong rumah juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian dan tempat berlindung untuk hewan ternak. Ruang ini memanfaatkan kesejukan yang berasal dari tanah, menjadikannya tempat yang ideal untuk bersantai di siang hari.

Makna Filosofis

Sumber: IDN Times

Dalam filosofi masyarakatnya, pembagian rumah adat Bugis tidak hanya fungsional tetapi juga memiliki makna kosmologis. Mereka memandang rumah sebagai mikrokosmos yang merepresentasikan alam semesta, yang terbagi menjadi tiga wilayah, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah laut. Bagian-bagian ini masing-masing diwakili oleh atap, badan rumah, dan kolong rumah.

Hal tersebut mencerminkan keyakinan yang terdokumentasi dalam sureq Lagaligo, sebuah naskah kuno masyarakat Bugis yang menggambarkan struktur jagad raya dalam tiga lapisan vertikal tersebut.

1. Filosofi Vertikal

Dalam struktur rumah Bugis, atap rumah melambangkan Bottiq langi, yang dipercaya sebagai kediaman Batara Guru atau La Togeq Langi dalam mitologi setempat. Kolong rumah, atau bagian bawah, dianggap sebagai Buriq liu, tempat tinggal We Nyili Timoq, permaisuri Batara Guru. Keduanya memiliki tugas penting dalam mitos penciptaan, yaitu mengisi Ale Lino, atau bumi, yang pada waktu itu masih kosong.

Bagian tengah rumah, yang disebut badan rumah, dipersonifikasikan sebagai Ale Lino. Inilah tempat di mana kehidupan sehari-hari berlangsung, simbolisasi dari bumi yang dihuni oleh manusia.

Konsep ini menunjukkan bagaimana arsitektur dan mitologi masyarakat Bugis saling terkait, mencerminkan pandangan mereka tentang dunia dan alam semesta.

2. Penggunaan Timpalaja

Salah satu ciri khas arsitektur rumah Bugis adalah penggunaan timpalaja, yang dalam istilah arsitektur Barat dikenal sebagai gevel atau gable. Timpalaja adalah elemen segitiga yang terletak di antara dua dinding yang bertemu di atap.

Tradisi lokal menetapkan bahwa susunan timpalaja ini mencerminkan status sosial pemiliknya. Sebelumnya, timpalaja yang memiliki tiga sampai lima lapis menunjukkan bahwa pemilik rumah berasal dari kalangan bangsawan, sedangkan susunan yang hanya satu atau dua lapis menandakan pemilik rumah dari kalangan lebih umum.

Namun, di era modern, penggunaan timpalaja tidak lagi sekaku masa lalu. Struktur yang dulu khusus menggambarkan strata sosial tersebut kini lebih fleksibel. Baik bangsawan maupun masyarakat umum kini memiliki kebebasan untuk memilih jumlah lapisan timpalaja sesuai dengan selera atau kebutuhan estetika mereka, tanpa perlu mengikuti batasan tradisional yang ketat.

Baca juga: Rumah Adat Suku Sasak: Keindahan dan Filosofi di Balik Rumah Bale

Melalui pencermatan pada rumah adat Bugis, kita dapat melihat bagaimana nilai-nilai dan struktur sosial masyarakat Bugis terwujud dalam bentuk arsitektur yang unik dan multifungsi. Rumah ini bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai pusat kegiatan komunal dan simbol status yang penting.

Kekayaan filosofis dan kepraktisan dalam setiap desain menunjukkan bahwa rumah adat Bugis adalah lebih dari sekadar bangunan. Rumah adat ini adalah ekspresi hidup dari warisan budaya yang terus beradaptasi dengan zaman sambil mempertahankan esensi tradisinya.

Pemahaman ini mengajak kita untuk menghargai lebih dalam lagi keunikan arsitektural yang ada dan menginspirasi untuk melestarikan serta mempelajari lebih lanjut kebudayaan lokal yang kaya.

Exit mobile version