Rumah Adat Tagog Anjing: Bentuk, Filosofi, dan Keunikan Arsitekturnya

JNEWS – Rumah adat Tagog Anjing merupakan salah satu warisan budaya Sunda yang masih bertahan hingga sekarang. Nama dan bentuknya yang unik membuat rumah ini mudah dikenali di antara rumah adat lainnya.

Lebih dari sekadar bangunan tempat tinggal, rumah adat Tagog Anjing menyimpan filosofi yang menggambarkan kedekatan manusia dengan lingkungannya. Arsitekturnya dirancang dengan memperhatikan kondisi alam sekitar, mulai dari bentuk atap, bahan bangunan, hingga tata letak ruang. Semua dibuat dengan pertimbangan praktis, tanpa meninggalkan nilai estetika khas Sunda.

Keunikan ini membuat rumah adat tersebut bukan hanya indah dipandang, tapi juga menjadi simbol kearifan lokal yang sarat makna dan layak dikenang sebagai bagian dari identitas budaya Jawa Barat.

Bentuk dan Filosofi Rumah Adat Tagog Anjing

Rumah Adat Tagog Anjing: Bentuk dan Filosofinya
Sumber: bubutuan

Rumah adat Tagog Anjing adalah salah satu bentuk rumah tradisional khas Sunda yang memiliki keunikan tersendiri. Nama Tagog Anjing sendiri terdengar cukup unik. Sebutan ini muncul karena bentuk rumahnya dianggap menyerupai seekor anjing yang sedang duduk atau berjongkok.

Bagi masyarakat Sunda, bentuk tersebut bukan sekadar kebetulan, tetapi punya filosofi yang berkaitan dengan kesederhanaan dan kesiapsiagaan. Dua hal ini sangat dijunjung dalam kehidupan masyarakat Sunda tempo dulu.

Kalau dibandingkan dengan rumah adat Sunda lainnya, bentuk rumah adat Tagog Anjing memang terlihat berbeda. Rumah ini berbentuk panggung, tapi posisinya tidak terlalu tinggi dari permukaan tanah. Biasanya rumah adat di Indonesia memiliki tiang yang cukup panjang agar lantai rumah terangkat lebih tinggi, namun tidak dengan Tagog Anjing. Desainnya yang lebih rendah membuat rumah ini terasa lebih hangat dan akrab.

Selain itu, bentuknya yang memanjang ke arah belakang memberikan kesan luas tanpa harus menambah tinggi bangunan. Hal ini juga menyesuaikan dengan kondisi alam daerah pegunungan di Jawa Barat yang sering kali berhawa sejuk.

Ciri khas lain yang langsung terlihat ada pada bagian atapnya. Atap rumah adat Tagog Anjing disusun sambung-menyambung di bagian depan, membentuk kemiringan yang berfungsi untuk menahan panas matahari dan hujan.

Desain seperti ini menunjukkan betapa masyarakat Sunda sangat memperhatikan kenyamanan dan fungsi dalam membangun rumah. Tak hanya indah secara visual, tapi juga punya nilai praktis. Bagian atap yang menjorok ke depan juga memberikan perlindungan bagi tamu atau anggota keluarga yang sedang duduk di teras, sambil menikmati udara segar khas pedesaan.

Baca juga: Mengenal Rumah Adat Banten: Sejarah, Filosofi, dan Keunikannya

Rumah Adat Tagog Anjing di Garut

Rumah adat Tagog Anjing bisa dengan mudah ditemukan di wilayah Garut, Jawa Barat. Salah satunya di Kampung Adat Dukuh yang berada di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet.

Dari pusat Kota Garut, perjalanan menuju kampung ini memakan waktu sekitar tiga hingga empat jam. Jalannya berkelok dan menanjak, khas daerah pegunungan. Tapi di sepanjang perjalanan, pengunjung akan disuguhi pemandangan hijau yang menenangkan.

Jika berangkat dari Bandung, rute yang bisa ditempuh adalah melalui Pangalengan menuju Cikelet. Setelah tiba di Kecamatan Cikelet, perjalanan dilanjutkan sekitar delapan kilometer ke arah Kampung Dukuh. Namun, kendaraan hanya bisa sampai di titik tertentu. Sisanya, pengunjung harus berjalan kaki sekitar 15 hingga 20 menit melewati jalan setapak yang menanjak.

Dikutip dari Kampung ini dihuni oleh sekitar 175 orang yang terbagi dalam 70 kepala keluarga. Tercatat ada sekitar 45 rumah yang masih berdiri kokoh, ditambah satu bangunan madrasah dan satu masjid yang menjadi pusat kegiatan warga.

Menariknya, kehidupan di Kampung Dukuh benar-benar jauh dari sentuhan modernisasi. Pengunjung tidak akan menemukan bangunan yang dibuat dari bata dan semen. Sebagai gantinya, warga masih setia menghuni rumah adat Tagog Anjing. Semua bahannya, seperti anyaman bambu dan daun rumbia diambil dari alam sekitar. Pengerjaannya juga dilakukan secara gotong royong, tanpa campur tangan mesin.

Yang membuat suasana semakin khas, di Kampung Dukuh tidak terlihat tiang listrik atau kabel yang melintang di udara. Tidak ada suara televisi, ponsel, atau gemerlap lampu di malam hari.

Warga di sini memang tidak menggunakan listrik sama sekali. Untuk penerangan, mereka mengandalkan lentera yang menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya. Ketika malam tiba, cahaya lembut dari lentera berpadu dengan udara dingin pegunungan, menciptakan suasana tenang yang jarang bisa ditemukan di tempat lain. Kehidupan mereka berjalan dengan ritme yang selaras dengan alam, tanpa tergesa oleh arus teknologi. Sungguh menenangkan.

Penolakan terhadap segala hal yang bersifat elektronik bukan tanpa alasan. Masyarakat Kampung Dukuh meyakini bahwa menjaga jarak dari kemajuan teknologi adalah cara terbaik untuk menghindari kemudharatan, atau kerusakan moral dan lingkungan yang bisa muncul akibat perkembangan zaman yang terlalu cepat.

Bagi mereka, hidup sederhana dan menjaga nilai-nilai leluhur jauh lebih penting daripada mengikuti arus modernitas. Prinsip itu mereka pegang teguh hingga sekarang. Itulah sebabnya, meskipun dunia di luar kampung berubah dengan sangat cepat, Kampung Dukuh tetap berdiri sebagai simbol keteguhan dan kearifan lokal Sunda yang menolak hilang ditelan waktu.

Baca juga: Mengenal Rumah Adat Tongkonan: Ikon Arsitektur Toraja di Sulawesi Selatan

Rumah adat Tagog Anjing bukan hanya bukti keterampilan arsitektur masyarakat Sunda, tetapi juga cerminan nilai hidup yang sederhana dan penuh makna. Di balik bentuknya yang tampak biasa, tersimpan filosofi tentang keseimbangan, ketenangan, dan keharmonisan dengan alam.

Keberadaannya menjadi pengingat bahwa warisan budaya tidak selalu berbentuk megah, tetapi bisa hadir dalam kesederhanaan yang menenangkan dan bertahan melawan perubahan zaman.

Exit mobile version