JNEWS – Dalam suatu kesempatan di sebuah workshop mengenai pemasaran, seorang fasilitator memperlihatkan kemasan air mineral dari brand paling terkenal dan bertanya kepada peserta workshop, “Apa yang terbayang di benak Anda saat Anda melihat air mineral ini?” Jawaban para peserta beragam, tetapi benang merahnya serupa: berkenaan dengan fungsi air mineral tersebut. Sang fasilitator menggali lagi imajinasi peserta lebih jauh, lewat pertanyaan-pertanyaan berikut ini; “Apakah Anda melihat bahwa air ini berasal dari mata air pegunungan? Apakah Anda merasa bahwa dengan membeli air mineral ini kita ikut membantu saudara kita di NTT yang kekurangan air bersih? Lalu, apakah dengan mengonsumsi air mineral bermerek (branded) tadi Anda merasa lebih segar, lebih sehat, dan merasa lebih bahagia?”
Demonstrasi kecil tadi ternyata memantik para peserta untuk merenung lebih dalam. Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Ini adalah sebuah misteri dari kekuatan yang disebut brand. The American Marketing Association mendefinisikan brand sebagai “sebuah nama, term, simbol, atau desain, atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk memberi identitas pada barang atau jasa dari satu penjual atau sekelompok penjual agar berbeda dengan para pesaingnya.” Philip Kotler bahkan menandaskan lebih lugas, “Melalui branding, produk dan jasa diberkahi oleh kekuatan brand-nya. Intinya, brand-lah yang membedakan produk yang satu dengan produk yang lainnya.”
Dalam studi-studi paling mutakhir, brand tidak lagi hanya dipandang sebagai sebuah nama atau logo dari suatu produk, tetapi, lebih dari itu, sebuah rahmat bagi suatu produk yang dijual; bahkan brand-lah yang menentukan apakah suatu produk akan tetap hidup atau mati. Tengok bagaimana tumbuhnya opini publik yang negatif kepada figur ustad muda karismatik asal Bandung atau ustad yang terkenal akan konsep sedekahnya, harus dibayar mahal dengan jatuhnya nilai semua produk yang terkait dengan sang ustad tersebut sebagai brand-nya. Di sisi lain kita juga melihat bagaimana seorang vokalis band terkemuka di Indonesia yang sempat tersandung kasus asusila, justru tetap dan malah kian bersinar karirnya di industri musik dengan band barunya. Ini semua menyangkut soal brand value, yakni bagaimana value dari sebuah brand dirancang dan dikomunikasikan kepada public melalui strategi branding yang terencana (by design).
Sebetulnya apa yang dituntut dan diinginkan oleh pelanggan dari sebuah brand? Simpel: manfaat dari produk brand tersebut, atau dalam terminology yang lebih teknis disebut customer value, yaitu manfaat yang dinilai tinggi oleh pelanggan.
Customer Value = Perceived Benefit – Perceived Cost
Perceived Cost adalah suatu tingkat persepsi terhadap harga yang dibayarkan untuk mendapatkan produk atau jasa. Ini merupakan bagian terpenting yang menjadi ukuran bagi konsumen untuk mengukur manfaat dari sebuah produk. Prinsipnya: apabila Perceived Cost rendah tetapi Perceived Benefit-nya tinggi, pelanggan akan puas. Sebaliknya, apabila Perceived Cost tinggi tetapi Perceived Benefit-nya rendah, konsumen akan kecewa dan mengeluh. Keseimbangan antara Perceived Benefit dengan Perceived Cost disebut sebagai Value of Money.
Dari Manfaat Fungsional ke Manfaat Emosional
Dalam kajian-kajian mengenai brand terdapat dua tipe manfaat yang diterima pelanggan dari sebuah produk. Yang pertama adalah Manfaat Fungsional (Functional Benefit), juga dikenal sebagai product features, yakni manfaat (benefit) yang terkait dengan keunggulan produk yang bersifat teknis dan nyata dirasakan oleh konsumen. Yang kedua adalah Manfaat Emosional (Emotional Benefit), yakni aspek intangible dari sebuah produk yang tidak bisa dilihat secara kasat mata tatapi bisa dirasakan hasilnya setelah digunakan. Emotional Benefit ini bersifat abstrak sehingga harus dijabarkan dengan baik agar konsumen mengerti manfaat yang akan diperolehnya setelah menggunakan produk tersebut.
Dalam fase awal, biasanya sebuah produk dikenalkan kepada konsumen masih butuh dengan memberikan pemahaman terkait fungsi utama dari produk tersebut. Di fase ini yang paling krusial adalah seputar bagaimana produk tersebut bisa dikenali oleh masyarakat, bagaimana masyarakat bisa mempunyai ketertarikan pada produk tersebut, dan kemudian bagaimana agar masyarakat mempunyai hasrat untuk memiliki, membeli atau mengonsumsinya. Lalu terakhir, bagaimana masyarakat dapat melakukan pembelian untuk pertama kalinya sebagai konsumen.
Seiring dengan perkembangan waktu, pada saat produk tersebut masuk ke dalam fase mature atau saturated, plus disertai dengan munculnya berbagai produk serupa dari kompetitor, di sini customer value sudah mulai bergeser. Konsumen tidak lagi mempersoalkan functional benefit tetapi sudah pada tingkat emotional benefit—yakni berkenaan dengan value added atau fitur-fitur tambahan dari fungsi utama produk tersebut. Di awal tulisan ini sudah disinggung bagaimana air mineral kemasan tadi tidak lagi dilihat fungsinya sebagai pelepas dahaga semata tetapi juga berasosiasi dengan mata air pegunungan yang menyehatkan dan menyegarkan yang dapat membuat penikmatnya merasakan sensasi yang lebih lebih baik dan berbeda dibanding air mineral kemasan dari brand yang lain.
Spiritualitas
Lalu pertanyaannya apakah manfaat emosional sudah cukup memadai sebagai faktor yang memperkuat brand dan memperpanjang life cycle produknya? Jawabannya, belum cukup. Seperti keimanan emosi pun mengalami pasang surut dan tergantung pada faktor kontrolnya yaitu motivasi. Agar tetap terjaga secara emosional, faktor penentunya sangat kompleks dan, jangan lupa, motivasi pun bukannya tanpa syarat tetapi dikontrol value lain yaitu melalui beliefs dan faith. Inilah yang paling fundamental, sehingga secara sederhana dapat diartikan bahwa pada dasarnya value dari konsumen adalah “what you believe most in life”………“what customers believe most in life”
Kalimat terakhir di atas sebetulnya sudah masuk pada Manfaat Spiritual (spiritual benefit), yaitu manfaat yang dirasakan secara spiritual dari suatu produk brand tertentu. Manfaat spiritual terkait dengan manusia dan kemanusiaannya, sebagai makhluk spiritual yang selalu membutuhkan koneksi langsung dengan sang pencipta melalui kebaikan-kebaikan yang diciptakan di dunia. Dalam ilustrasi yang dipaparkan di awal tulisan, melalui air mineral kemasan tadi konsumen diajak untuk menjadi bagian dari kebaikan bersama—yaitu spirit of giving—dengan memberi penekanan bahwa setiap air minum yang dibeli konsumen setara dengan memberikan 10 liter air bersih bagi orang-orang yang hidup di dalam lingkungan yang didera kelangkaan air bersih. Bukan hanya rasa haus yang dilepaskan oleh brand tersebut, tetapi kebahagiaan hakiki sebagai manusia yang telah melakukan tugasnya sebagai manusia dengan menolong sesama.
Menanam kebaikan bagi dunia, saling-peduli, berbagi, menolong manusia yang ada di sekeliling kita, adalah nilai yang bahkan lebih penting dari ritus keagamaan biasa; dan ini merupakan nilai-nilai yang berlaku secara universal. Hal ini berbanding lurus dengan kepercayaan atau kredo yang disampaikan oleh Hermawan Kartajaya dalam bukunya “Marketing 3.0: From Products to Customers to the Human Spirit”, yang menjelaskan bahwa sebuah brand harus mempunyai “human spirit”, yaitu brand juga harus bisa hidup dan bertindak sebagai “manusia” sehingga konsumen merasakan bahwa mereka juga membutuhkan brand tersebut sebagaimana membutuhkan manusia lainnya. Disinilah brand akan berperan untuk memberkahi produknya.
Terakhir, kami ingin mengutip terjemahan ayat Al-Quran surat Al-Maun berikut ini sebagai penutup tulisan; “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Bahan Bacaan
- Kotler, Philip. Hermawan Kertajaya. Iwan Setyawan. 2010. Marketing 3.0. Jakarta. Erlangga.
- Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. 2012. Marketing Management, 14th Upper Saddle River, N.J. Pearson Education, Inc.
- Maulana, Amalia E. 2012. Brandmate: Mengubah Just Friend menjadi Soulmate. Jakarta. Etnomark Consulting.