Sejarah Suku Sasak: Perjalanan Panjang di Tanah Lombok

JNEWS – Suku Sasak adalah suku yang berasal dari Desa Sade, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bahasa yang digunakan dalam keseharian adalah bahasa Sasak dan sebagian besar penduduknya beragama Islam.

Jumlah populasi dari suku ini cukup besar yakni 3 juta orang yang tersebar di seluruh provinsi dan wilayah Indonesia lainnya. Dari angka tersebut, 2,5 juta masih mendiami Pulau Lombok, 500 ribu tersebar di provinsi lain dan yang tinggal di Desa Sade sekitar 700 orang.

Kehidupan suku ini ada yang masih menjalani hidup secara tradisional dan memegang teguh tradisi turun-temurun. Namun, ada juga yang sudah mengadopsi cara hidup modern.

Salah satu hal menarik dari suku ini adalah wan asli suku Sasak dikenal pandai menenun. Hasil tenunan dari Desa Sade sudah terkenal di seluruh nusantara hingga mancanegara karena memiliki ciri khas motif dan warna.

Sejarah Suku Sasak di Pulau Lombok

Sejarah Suku Sasak: Perjalanan Panjang di Tanah Lombok

Asal usul nama “Sasak” pertama kali disebut dalam Prasasti Pujungan. Prasasti tersebut ditemukan di Kabupaten Tabanan, Bali, dan diperkirakan berasal dari abad ke-11.

Namun, menurut sejarah nama Sasak di suku ini juga memiliki banyak arti. Ada yang menyebutkan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Kata ini juga kerap digunakan oleh suku Dayak yang artinya satu satu.

Di dalam kitab Negara Kertagama, kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok, yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Tradisi lisan warga setempat menyebut kata sasak dipercaya berasal dari kata “sa’-saq”, artinya yang satu. Lalu, Lombok berasal dari kata lomboq yang berarti lurus. Apabila digabungkan kata Sa’Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. Ada pula yang mengartikan sebagai jalan yang lurus.

Sebutan yang mirip juga ditemukan pada Kakawin Nagarakretagama (Desawarnana), kitab tentang kekuasaan dan pemerintahan Kerajaan Majapahit yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab tersebut ditulis Lombo Mirah Sasak Adi. Kata “lombok’ dalam bahasa kawi artinya jujur atau lurus, “mira” artinya permata, “sasak” artinya kenyataan dan “adi” berarti yang baik atau utama. Jadi, apabila digabungnya artinya kejujuran adalah permata kenyataan yang baik.

Baca juga: Mengenal Kampung Adat Praijing: Keindahan dan Keunikan Budaya Sumba

Ciri Khas Suku Sasak

1. Agama

Suku ini memiliki ciri khas yang bisa diamati dari cara hidup serta hasil budaya. Seperti yang sudah ditulis di atas, masyarakat suku Sasak masih menggunakan bahasa Sasak dalam berkomunikasi. Selain menganut agama Islam, ada pula yang menganut kepercayaan tua yakni ‘Sasak Boda’.

2. Rumah Adat

Untuk rumah adat suku Sasak disebut bale. Tidak sembarang orang bisa membangun rumah adat ini karena ada tiga tipe yang mesti menyesuaikan dengan status penghuninya.

  1. Bale bonter, tempat tinggal untuk pejabat.
  2. Bale kodong, tempat tinggal untuk pengantin baru atau orang tua yang ingin menghabiskan masa tua.
  3. Bale tani, tempat tinggal bagi mereka yang telah berkeluarga dan memiliki keturunan.

Keunikan rumah adat bale ini dilengkapi dengan lumbung padi, serta mempunyai bentuk pintu lebih rendah. Jadi, tamu yang masuk harus menunduk untuk melalui pintu tersebut.

Dalam pembangunan rumah adat, masyarakat suku ini menggunakan ilalang atau ijuk. Untuk lantai berupa tanah liat yang dicampur dengan sekam.

Ada salah satu hal menarik dari perawatan rumah adat bale ini yakni, mereka mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau. Menariknya, setelah diaplikasikan dalam rumah, tidak ada bau menyengat yang tertinggal. Kotoran kerbau ini dipercaya mampu membuat lantai tidak mudah pecah, dijauhi nyamuk serta rumah menjadi lebih hangat.

Rumah adat ini masih lestari hingga sekarang. Apabila ingin melihatnya secara langsung, bisa berkunjung ke Kampung suku Sasak Sade di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

3. Profesi

Laki-laki suku Sasak sebagian besar berprofesi sebagai petani. Sedangkan perempuannya bekerja sebagai penenun. Kegiatan menenun tersebut dilakukan di depan rumah dengan memakai dipan.

Kepiawaian perempuan Sasak dalam menenun sudah terkenal di seluruh pelosok nusantara. Tidak mengherankan, karena sejak usia 10 tahun mereka diajarkan menenun. Bahkan dalam tradisi Sasak, menurut penjelasan dari situs Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seorang perempuan Sasak tidak boleh menikah apabila belum bisa menenun.

Tradisi Unik Suku Sasak yang Masih Lestari

1. Kawin Culik atau Merarik

Salah satu tradisi unik dan masih dilakukan hingga sekarang ini adalah kawin culik atau merarik. Kawin lari ini terjadi apabila laki-laki dan perempuan saling suka dan setuju untuk menikah.

Apabila pasangan tersebut telah sepakat, maka si laki-laki akan “menculik” si perempuan ditemani kerabat atau teman yang bertindak sebagai saksi. Lalu, si perempuan akan dititipkan di rumah keluarga pihak laki-laki dan tidak akan langsung dibawa ke rumah si laki-laki.

Esok hari, keluarga pihak laki-laki akan mengirim utusan ke keluarga perempuan untuk memberi tahu bahwa anaknya ada di tempat mereka. Pemberitahuan ini disebut dengan Nyelabar. Pada saat Nyelabar, orang tua laki-laki tidak boleh ikut. Rombongan ini biasanya terdiri dari 5 orang. Mereka akan pergi terlebih dulu ke ketua adat setempat yang disebut kliang. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan sekaligus minta izin.

Selesai dari tempat kliang, rombongan akan menuju rumah orang tua si perempuan. Rombongan tersebut tidak diperkenankan masuk ke dalam rumah, jadi mereka duduk bersila di halaman depan rumah. Lalu, satu orang bertindak sebagai juru bicara yang akan menyampaikan kabar kepada orang tua si perempuan.

2. Bau Nyale

Tradisi Bau Nyale adalah menangkap cacing laut. Tradisi ini kerap dilakukan di Pantai Seger, Pantai Kute, Pantai Tanjung A’an, dan Pantai Molok atau Pantai Pondok Dende. Adapun untuk waktu pelaksanaannya setiap tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan suku Sasak atau tepat 5 hari setelah bulan purnama. Biasanya, di antara bulan Februari dan Maret setiap tahun.

Cacing laut yang ditangkap berbentuk panjang dan berwarna hijau, kuning, oranye. Cacing ini sering diolah menjadi pepes oleh masyarakat, bahkan ada yang mengonsumsinya secara langsung.

Tradisi ini erat kaitannya dengan legenda Putri Mandalika. Masyarakat setempat percaya bahwa nyale adalah jelmaan Putri Mandalika.

3. Peresean

Tradisi Peresean adalah kesenian tradisional dari suku Sasak yang mempertarungkan dua laki-laki (pepadu) dengan menggunakan senjata dari perisai dari kulit kerbau dan cambuk rotan. Tradisi ini sudah dilakukan sejak dulu dan masih lestari hingga sekarang.

Sebelum bertarung, pepadu akan ‘dihiasi’ dengan doa (jampi) serta dirawat menggunakan minyak khusus. Para pepadu akan menari mengikuti irama gendang sebagai bentuk penyemangat sebelum mengangkat senjata untuk bertarung.

Pertarungan ini tak sekadar tentang kekerasan saja. Namun, tetesan darah dari pepadu yang mengenai tanah menjadi simbol mantra, diharapkan bisa memanggil hujan dan menandai keberhasilan dari ritual.

Baca juga: 8 Ritual Cari Jodoh dari Seluruh Penjuru Indonesia yang Unik

Sejarah panjang dari suku Sasak ini dan bagaimana mereka mempertahankan tradisi warisan patut dibanggakan. Semoga ke depannya, tradisi tersebut masih terus lestari.

Exit mobile version