JNEWS – Suku Betawi memiliki sejumlah seni tari yang masih dilestarikan hingga saat ini. Selain Tari Topeng dan Tari Zapin Betawi, dikenal juga Tari Cokek yang lahir dari akulturasi berbagai budaya salah satunya Tionghoa.
Tarian ini lahir pada abad ke-19 dan cukup populer. Tari Cokek hampir mirip dengan sintren dari Cirebon, ronggeng di Jawa Tengah, dan identik keerotisan para penarinya.
Para penari tarian ini akan berjejer memanjang sambil melakukan gerakan maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Posisi tangan dari penari digerakkan setinggi kepala dan seirama gerakan kaki.
Kemudian, para penari akan mengajak tamu untuk menari bersama dengan mengalungkan selendang atau sampirnya. Tamu pertama yang diajak oleh penari adalah tamu terhormat.
Apabila tamu yang diajak bersedia, maka penari dan tamu mulai menari berpasang-pasangan. Setiap pasangan menari berhadapan dengan jarak yang dekat tetapi tidak bersentuhan.
Itulah mengapa, tarian ini kerap dipertunjukkan ke berbagai acara dengan tamu penting seperti pejabat negara hingga publik figur. Hal ini sangat kontras dengan sejarah perkembangan Tari Cokek di masa lampau yang lekat dengan kesenian masyarakat Betawi pinggiran.
Menilik Sejarah Tari Cokek
Tari Cokek adalah kesenian yang lahir di lingkungan masyarakat Betawi-Tionghoa pinggiran Jakarta, tepatnya di Teluk Naga Tangerang. Di masa itu, cokek menjadi salah satu hiburan yang populer. Penyebarannya cukup cepat dan digemari masyarakat Betawi kota sampai pinggiran.
Menurut kutipan dari website Warisan Budaya Takbenda Indonesia, awal mula tari ini berasal dari joget yang diucapkan oleh orang Tionghoa. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa cokek adalah nama orang berbangsa Tionghoa dengan nama panjangnya yaitu Tan Chiou Kek. Di masa lampau, Tan Chiou Kek adalah pemimpin grup kesenian yang populer (Atiek Soepandi 1990:46).
Namun ada pula referensi yang menyebutkan bahwa cokek berasal dari bahasa Hokkian yakni choun kek, yang memiliki arti menyanyikan lagu. Cokek kemudian menjadi sebutan bagi penyanyi yang mengiringi alunan gambang kromong sambil menari. Lalu, para cokek ini kemudian dikenal dengan sebutan wayang cokek.
Tari Cokek awalnya hanya ditarikan oleh tiga orang perempuan sebagai pelengkap ritual pesta rakyat. Namun, seiring berjalannya waktu, tarian ini berkembang menjadi tari berpasangan antara laki-laki dan perempuan.
Di Betawi, penyebutan ‘cokek’ adalah hasil kesepakatan bersama dari masyarakat suku Betawi yang tinggal di daerah pesisir dan pinggiran Kota Jakarta. Keputusan ini diambil untuk mempermudah penyebutan choun kek menjadi cokek.
Di masa lampau, tarian ini tak sekadar menjadi kesenian khas Betawi, tetapi sekaligus memikat para tamu laki-laki untuk ikut serta ngibing (menari bersama). Itulah kenapa tarian ini kerap disebut sebagai tarian pergaulan.
Saat pertunjukan, wayang cokek mengenakan baju kurung dan celana panjang dari bahan sejenis sutera yang berwarna cerah serta mencolok. Lalu ada selendang panjang kain yang terikat di bagian pinggang para penari dan dibiarkan terjuntai.
Dengan kostum tersebut, para penari terlihat begitu gemulai dan paripurna saat menari. Untuk bagian rambut, biasanya disanggul kecil dan menggunakan aksesori kepala berupa kembang goyang serta burung hong.
Wayang cokek akan menyanyikan lagu-lagu yang diminta oleh para tamu. Tak hanya lagu berbahasa Betawi tetapi juga Hokkian. Di tengah pertunjukan tari, wayang cokek akan mengajak tamu untuk ngibing dan mengenakan selendang.
Seiring waktu, ada perubahan dilakukan terhadap gerakan tari ini, agar lebih dinilai sopan sehingga dapat diterima secara lebih luas. Para seniman Betawi berusaha merekonstruksi Tari Cokek menjadi tradisi yang akan diwariskan turun-temurun. Setelah itu, mulailah bermunculan sanggar-sanggar yang mengkreasikan gerakan tarian ini.
Tak hanya pada gerakan, perubahan pun terjadi pada segi kostum dan instrumen. Baju kurung dan celana sutera digantikan kebaya modern. Tatanan rambut penari dibiarkan terurai. Gambang kromong yang kerap mengiringi mendapat tambahan dari alat musik modern seperti gitar, bass, dan keyboard.
Baca juga: Menggali Keindahan Tari Ronggeng Blantek dari Betawi
Makna dan Fungsi Tari Cokek
Seperti yang diulas di atas, tarian ini tak sekadar menjadi kesenian khas Betawi saja, tetapi berfungsi sebagai tarian pergaulan. Pada dasarnya, tarian ini memiliki makna khusus yang positif.
Misalnya, gerakan tangan menengadah ke atas berarti meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, ada juga gerakan yang mengarah ke mata, melambangkan usaha manusia dalam menjaga kebersihan terutama dari hal negatif. Gerakan menunjuk kening, mengingatkan manusia untuk selalu menggunakan akal sehat dalam memikirkan hal positif.
Sementara itu, fungsi dari Tari Cokek pun beragam. Fungsi-fungsi ini mencerminkan betapa kekayaan budaya Betawi menjadi bagian dari warisan budaya bangsa yang patut dilestarikan. Berikut beberapa fungsi dari tarian ini.
1. Sebagai Seni Pertunjukan Bersifat Pergaulan
Tarian ini bertujuan menghibur tamu dan penonton. Umumnya tarian ini kerap ditampilkan di berbagai acara. Gerakannya lincah, ekspresi yang genit dan alunan musik ceria, membuat tarian ini disukai berbagai kalangan.
2. Menjalin Keakraban
Tari ini dilakukan sebagai upaya dalam menjalin keakraban serta mempererat silaturahmi antar sesama.
3. Fungsi Religi
Di masa lampau, tarian ini memiliki fungsi religi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas panen berlimpah. Tarian ini ditampilkan pada ritual tertentu seperti bersih desa dan sedekah bumi.
4. Fungsi Edukasi
Menyampaikan nilai-nilai dari budaya Betawi pada generasi muda. Dengan gerakan dan syair lagu, para penari menyampaikan pesan moral dan budi pekerti pada penonton.
5. Sumber Pendapatan
Tari Cokek pun menjadi sumber pendapatan bagi para penari. Penampilan mereka di berbagai acara dibayar dengan uang, sehingga bisa membantu meningkatkan taraf hidup para penari tersebut.
Baca juga: Rumah Adat Betawi: Sejarah, Arsitektur, dan Ciri Khasnya
Dari Tari Cokek, kita bisa belajar bahwa akulturasi budaya bisa menghasilkan sebuah kesenian yang memadukan berbagai elemen menjadi kesatuan harmonis. Warisan turun temurun ini wajib untuk dilestarikan dan dikenalkan pada generasi muda.