Ratusan tahun mereka menyimpan rapat-rapat budaya hidup dalam pengasingan di hutan pedalaman: tanpa sabun, pasta gigi, dilarang memakai sandal sepatu, listrik, berpantang naik kendaraan, makan daging kambing dan tidak bercerai. Sesekali mereka keluar, nyaba bapak gede untuk menyerahkan upeti. Mereka juga tak pernah sakit, karena mempunyai ilmu kesaktian yang turun temurun. Berikut sepenggal kisah perjalanan JNEWS akhir Februari 2020 silam (sebelum pandemi Covid-19) menelusuri perkampungan Baduy Dalam di Kabupaten Lebak, Banten. Sebagai catatan, JNE kerap memberi bantuan masyarakat Baduy di bidang kesehatan, alat penunjang pendidikan dan bantuan sosial lainnya melalui Bidan Ros dan suaminya, termasuk setahun silam saat salah satu perkampungan Badui Luar ludes terbakar. Dua buah unit mobil kesehatan disumbangkan oleh JNE untuk mobilitas bidan Ros.
Suara angklung yang saling bersahutan itu samar-samar terdengar dari balik bukit. Peluh yang terus meleleh dan rasa lelah setelah sekitar 3 jam menelusuri jalan setapak yang membelah hutan perbukitan, sepertinya lenyap seketika. Jarum jam di tangan berdetak menuju angka 9 pagi. Udara mulai hangat. Matahari pelan menanjak.
Benar saja, sepelemparan batu berjalan lagi, dari sebuah bukit yang gundul, tampak belasan orang Baduy Dalam tengah duduk bersila memainkan angklung. Nada yang dimainkan terdengar mendayu riang. Mereka berpakaian khas Suku Baduy dengan samping aros (celana) yang menyerupai rok pendek dan telekung (baju atas).
Warna pakaiannya seragam, kalau tidak hitam, mereka selalu pakai warna putih. Begitu juga ikat kepalanya. Hanya kalung atau gelangnya saja yang tampak warna-warni. Tak lupa mereka selalu menyandang golok di pinggangnya.
Mereka terus khusyu’ memainkan angklung. Asap pelepah pohon kelapa muda yang juga mereka bakar terus membumbung, membentuk liukan dan bulatan-bulatan kecil sebelum ditelan kabut tipis yang masih tersisa.
Merasa ada orang asing yang datang, mereka terusik. Spontan, setelah lagu selesai dimainkan, mereka pun menghambur menuruni bukit. Raut wajah dan sorot matanya tampak liar dan menusuk. Mereka terlihat tidak suka atas kedatangan orang asing disaat tengah menggelar upacara ‘tanam padi huma’.
Dengan terus mengawasi, mereka pindah ke bukit seberang. Seorang dari mereka, menghampiri dan memberitahu kalau dilarang mengambil gambar (memotret). Di bukit sebelah, mereka kembali duduk berjajar dan memainkan angklungnya lagi.
Setelah selesai, mereka pun berjalan beriringan untuk pulang ke perkampungannya yang bernama Cibeo. Sebelum melewati jembatan sepanjang 10 meter yang di bawahnya adalah kali berbatu, mereka terlihat berhenti sejenak. Seorang yang paling depan seperti sedang membaca mantera. Pas melewati jembatan dengan langkah cepat mereka kembali serentak membunyikan angklung.
Menurut Naldi, salah satu penduduk Kampung Cibeo yang ikut memainkan angklung, mereka terlebih dahulu mengadakan acara adat memainkan angklung sebelum bukit-bukit yang sudah mereka gunduli untuk dijadikan ladang terasering tersebut ditaburi benih padi (gabah).
Malam harinya, biasanya penduduk Baduy Dalam berkumpul di rumah orang yang punya hajat ingin tanam padi. “Macak pantun (bermain pantun),” ungkap Naldi singkat. Lelaki usia 40 tahun ini –sebab seperti halnya penduduk lain, Naldi juga tidak tahu berapa persis umurnya– menambahkan macak pantun maupun memainkan angklung bertujuan agar benih gabah yang ditabur kelak tumbuh subur. Mereka tak mengenal Dewi Sri, pantun maupun musik angklung tersebut mereka persembahkan kepada roh-roh para pu’un (sesepuh) kampung yang bersemayam di hutan tutupan (larangan). Saat berpantun, biasanya diiringi dengan petikan kecapi.
Baca Juga: Amankah Kita Traveling di New Normal Seperti Sekarang?
RITUAL PUASA
Banyak larangan untuk masuk ke perkampungan Baduy Dalam (Cibeo, Cikesik, Cikeurtawanan). Diantaranya pengunjung tidak boleh melintasi sungai yang menjadi batas kampung tanpa izin, karena bila melanggar akan sakit.
Begitu juga saat masyarakat Baduy memasuki bulan Kawalu. Bulan di mana selama 3 bulan berturut-turut mereka puasa. Saat bulan ini tiba –tentu saja menurut penanggalan Baduy– masyarakat Baduy yang menganut agama Sunda Wiwitan tersebut berpuasa.
Namun, tidak seperti halnya orang Muslim pada umumnya, mereka berpuasa tidak ada patokan waktu. Ada yang berpuasa dihitung dari mulai mereka tidur sampai tengah hari (pukul 12 siang). Ada juga yang mulai berpuasa dari matahari terbit sampai tengah malam hari, atau ada juga yang berpuasa sehari-semalam penuh. Selain itu, mereka juga tidak setiap hari berpuasanya. Sehari berpuasa, dua hari tidak. Atau dua hari berpuasa sehari tidak. Mereka punya ritual keagamaan sendiri.
Yang menentukan kapan tibanya bulan Kawulu adalah Pu’un atau sesepuh kampung. Setiap perkampungan Baduy dipimpin oleh seorang Pu’un. Selain sebagai sesepuh, pu’un juga dianggap sebagai orang “pintar” layaknya dukun. “Banyak yang meminta keberkahan kepada Pu’un,” ungkap Narja, salah satu penduduk Kampung Cibeo yang sudah tua dan bisa berbahasa Indonesia ini. Maklumlah Narja sudah beberapa kali “turun gunung” dan berkelana sampai ke Jakarta dengan berjalan kaki. “Ke Istana presiden saya pernah, ke markas Kopassus di Cijantung juga pernah,” tambahnya.
Orang yang ingin mengunjungi Pu’un, apa pun alasan atau tujuannnya diwajibkan membawa syarat, yakni: dua bilah pisau dapur, minyak wangi, kain putih dan kemenyan. Setelah hajatnya selesai, oleh sang Pu’un tersebut minyak wangi dan kemenyan diberikan kembali ke orang yang mengunjunginya. Sedangkan kain putih dan dua buah pisau diambil oleh Pu’un. Para Pu’un ini juga yang selalu memimpin upacara Lebaran Kawalu di kampungnya masing-masing.
Seperti halnya orang muslim yang merayakan hari Lebaran setelah puasa, masyarakat Baduy Dalam juga merayakannya. Mereka mengadakan semacam kenduri setelah puasa Kawalu selama 3 bulan selesai. Semua penduduk berkumpul di tanah lapang yang ada di dalam kampung. Saat Lebaran Kawulu inilah, menurut Sami, lelaki usia 50 puluh tahunan, penduduk Cibeo boleh memotong ayam sebagai lauk pauk selain pada waktu ada acara kawinan. “Potong ayamnya, pas Lebaran Kawalu sama pas ada kawinan,” terang Sami.
Secara adminitratif pemerintahan, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar (Cikaroya, Kadu Keuter, Kadu Keutuk, Cisadane, Batu Belah) masuk dalam wilayah Desa Kanekes yang dikepalai seorang Jaro (lurah). Nah, setiap kampung ditunjuk seorang untuk menjadi wakil Jaro, yang bertugas membantu kelancaran tugas Jaro, seperti mengatur (memberi tahu) kepada penduduk kalau ada orang-orang yang hendak berkunjung ke kampung mereka.
Baca Juga: 5 Festival Kebudayaan di Indonesia yang Menarik Disambangi
KEMATIAN
SELAIN keberadaan hutan tutupan (larangan), salah satu misteri orang Baduy Dalam adalah keberadaan kuburan dan cerita tentang bagaimana prosesi kematian mereka. Sebab sepanjang perjalanan naik-turun bukit selama 3 jam dari Ciboleger, tidak terlihat adanya kuburan.
Begitu juga ketika menjejakkan kaki di semua perkampungan Baduy Dalam, tidak ada satu pun gundukan kuburan. Yang banyak hanyalah lumbung padi berbentuk rumah panggung kecil segi empat lonjong yang di kaki tiang penyangganya diberi coretan gambar warna putih.
Tujuannya, agar padi tersebut tidak lekas busuk, dan konon padi yang disimpan di dalam lumbung ini mampu bertahan puluhan bahkan hingga ratusan tahun. Sejumput keterangan, kenapa tidak ada kuburan yang ditemukan? Sebab bila ada salah satu penduduk Baduy yang meninggal maka setelah 7 hari dikuburkan, kuburan tersebut kemudian diratakan kembali dan boleh ditanami pohon pisang atau padi.
Orang yang meninggal, mula-mula dimandikan dengan air yang diambil dari kali dengan memakai sebatang bambu yang bagian atasnya diberi dua lubang kecil. Pu’un-lah yang memimpin ‘nyarekat’ kematian ini.
Menurut Sakim, salah satu penduduk yang sudah cukup tua umurnya, memang ada sebuah tempat di sebuah bukit sebagai tempat yang dijadikan kuburan. Namun dia enggan menunjukkan di mana keberadaannya dan juga enggan berkisah lebih lanjut selain berkata, “Kalau sudah dikubur dikasih kembang di ujung-ujungnya,” katanya singkat. Maksudnya, kuburan orang yang meninggal tersebut ditaburi kembang, namun hanya pada ujung kaki dan kepalanya. “Setelah tujuh hari bisa ditanami lagi,” tambahnya.
Dalam waktu 8 atau 10 tahun sekali orang Baduy Dalam maupun Badui Luar bedol desa. Pindah ke tempat lain. Alasannya untuk mencari tempat yang lebih luas lagi, seiring bertambahnya penduduk mereka, seperti Kampung Cibeo yang sudah beberapa kali pindah tempat.
Kampung Cibeo tak sebegitu luas. Jumlah penduduknya sekitar 600 orang, sedangkan rumahnya berjumlah 102 buah, dengan 120 kepala keluarga. Dalam satu rumah bisa dihuni 2-3 keluarga. Semisal ditempati keluarga orang tua dan keluarga anaknya yang sudah punya istri. Untuk membedakan gampang saja, di dalam rumah tersebut ada berapa paroka (dapur).
Dalam hal perkawinan kebanyakan masyarakat Baduy Dalam dijodohkan. Dan mereka tidak bercerai, kalau nekad bercerai maka si lelaki harus keluar dari Baduy Dalam dan tidak boleh kembali sebelum masa hukuman selesai.
Malam itu, saat JNEWS bermalam di Cibeo, sempat menemani seorang pemuda bernama Sani untuk nganjang (apel) ke rumah pacarnya. Lelaki yang baru mulai tumbuh dewasa ini tampak rapi: pakaian hitam-hitam, berikat kepala, memakai manik-manik gelang, cincin dan kalung berwarna-warni dan tak lupa menyandang golok. Dia tampak malu-malu mengajak JNEWS untuk menemani ke rumah sang pacar. Sebagai bekal berkunjung, JNEWS memberi sebungkus biskuit dan snack.
Hari sudah redup. Jarum jam menunjuk angka tujuh malam. Di atas, bulan setengah bertabur bintang mulai keluar. Kami pun berjalan menuju rumah pacarnya, yang berjarak sepelembaran batu dari rumah Sani.
Terpojok dari deretan beberapa rumah, sang pacar sudah menunggu di depan rumahnya. Dalam keremangan, tampak gadis usia belasan tahun tersebut habis bersolek. Memakai lipstik yang dipakai terbuat dari ramuan buah. Seperti adat di Cibeo, ia tidak boleh sendirian. Dia harus ditemani oleh gadis lain, begitu juga Sani, dia juga harus ditemani laki-laki lain.
Saat bertemu keduanya tampak malu-malu, sebelum akhirnya mereka masuk ke dalam rumah Sang pacar yang berpenerang lampu sumbu minyak kelapa tersebut. JNEWS dan dua gadis temannya juga harus masuk ke dalam rumah.
Entahlah, apa yang diobrolkan Sani dan sang pacar yang duduk agak berjauhan. Hanya sesekali terdengar tawa dan selintas tampak keduanya berpandangan dan tersenyum sambil makan biskuit dan snack yang dibawa Sani. Di luar sayup terdengar bunyi kecapi dan sesekali nyalak anjing.
Baca Juga: Jenuh di Rumah? Deretan Pantai Eksotis Sabang Bisa Jadi Pilihan Liburan
GOLOK, IKAN ASIN DAN CORETAN DINDING
KALAU Anda berkunjung ke Baduy, jangan heran dan takut kalau semua penduduknya menyandang golok. Walau mereka selalu menenteng golok ke mana pun pergi, mereka tidak akan pernah mengancam atau melukai para pengunjung.
Di Suku Baduy, baik itu Baduy Luar maupun Baduy Dalam, anak kecil sudah dibekali golok oleh orang tuanya masing-masing. Golok bagi mereka, ibarat HP bagi kita orang kota. Dan golok juga menjadi salah satu harta yang paling berharga.
Selain golok, masyarakat Baduy juga setiap hari sering hanya makan nasi berlauk ikan asin yang dibakar dan diberi garam saja. Mereka baru menyantap daging ayam bila lebaran Kawalu atau pas ada hajatan kawinan. Minum teh atau kopi sesekali kalau ada pengunjung yang memberinya.
Jangan salah sangka, banyak di antara mereka yang sudah bisa baca tulis. Mereka belajar secara otodidak. Jadi, saat kami berkunjung tampak coretan di dinding-dinding kayu rumah mereka. Mereka menuliskan namanya seperti: ‘Baduy Grup, Sapri, Sanip, Sajum’ dan kata-kata lain dalam bahasa Sunda.
Melongok keadaan rumah, hampir semuanya sama. Rumah mereka berbentuk panggung dan tidak seberapa besar. Di dalam rumah ada dapur, namun tidak ada sama sekali perabotan masak kecuali seeng (dandang) dan beberapa mangkuk untuk minum. Tidak ada sendok, piring atau hal lainnya, cuma itu saja. Bumbu dapur yang ada pun hanya garam. Untuk menampung air mereka memakai bambu batangan yang atasnya diberi dua lubang kecil.
Seumur hidup mereka tidur beralas tikar. Paling banter satu penduduk punya dua buah baju. Mereka jarang mandi. Kalau toh mandi tentu tidak pakai sabun. Mereka tidak gosok gigi, hanya sesekali nyereh (menginang).
Rumah mereka semua tidak dikunci. Namun, setiap siang dan malam ada yang bertugas meronda secara bergiliran. Bila malam tiba, keadaan kampung seperti dalam goa, gelap gulita. Hanya ada titik kecil api sumbu dari beberapa rumah. Kalau sudah waktunya mereka tidur, api tersebut wajib dimatikan. Namun anehnya, penduduk Baduy tak menemui kesulitan berjalan dalam kegelapan. Bisa tiba-tiba muncul dari kegelapan dan berlalu dengan cepat.
JNEWS bermalam di rumah Sanip. Sanip berkisah tentang kebaikan Bidan Ros dan suaminya yang sudah banyak membantu di bidang kesehatan penduduk Badui. Segelas kopi dan biskuit yang JNEWS bawa jadi hidangan penutup, setelah Sanip menyuguhkan hidangan nasi berlauk ikan asin bakar. Saat hari masih gelap, Sanip sudah tidak ada di tempat, sudah pergi berladang. JNEWS pun pamit kepada penduduk yang bertugas jaga perkampungan. Di balik rerimbunan pohon perbukitan yang luas, gurat mentari pagi bersinar cerah, dari kejauhan tampak hutan larangan yang menyimpan kisah menarik lainnya. *
Baca Juga: Traveling Yuk! 4 Pulau Eksotis di Sumbar