JNEWS – Upacara Adat Peusijuek adalah salah satu tradisi sakral yang masih dijaga kuat oleh masyarakat Aceh hingga hari ini. Dalam upacara ini, ada ungkapan rasa syukur, harapan baik, sekaligus bentuk penghormatan terhadap momen-momen penting dalam hidup.
Tradisi ini hadir di berbagai kesempatan, dari pernikahan sampai musibah, dari keberangkatan haji hingga saat mendamaikan perselisihan. Meski terlihat sederhana, setiap gerak dan perlengkapannya punya makna simbolik yang lekat dengan nilai-nilai budaya dan spiritual.
Apa Itu Upacara Adat Peusijuek?
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, ada satu tradisi adat yang sangat kental maknanya dan masih terus dipertahankan hingga kini. Namanya Upacara Adat Peusijuek.
Tradisi ini bisa dikatakan sebagai bentuk penghormatan terhadap momen-momen penting dalam hidup seseorang. Peusijuek biasanya dilakukan dalam berbagai situasi. Misalnya, saat sepasang pengantin baru saja menikah, saat seseorang membangun rumah baru, atau ketika hendak menempati rumah yang belum pernah dihuni.
Tradisi ini juga hadir menyertai langkah besar lain seperti keberangkatan menunaikan ibadah haji, membeli kendaraan baru, bahkan ketika seseorang baru saja lulus kuliah atau mendapat promosi jabatan.
Namun, Peusijuek tak hanya muncul dalam suasana bahagia. Ada juga prosesi ini dilakukan sebagai bentuk penenang atau pemulihan secara emosional. Contohnya, ketika seseorang mengalami kejadian yang mengagetkan atau mengandung trauma, seperti terjatuh dari pohon, mengalami kecelakaan lalu lintas, atau diserang binatang buas. Dalam kasus lain, Peusijuek juga digunakan sebagai cara untuk mendamaikan dua pihak yang sedang berselisih atau bermusuhan.
Jadi, bisa dikatakan, tradisi ini menjadi alat yang digunakan masyarakat untuk merespons berbagai peristiwa penting dalam hidup. Baik yang membawa kebahagiaan maupun kesedihan.
Baca juga: Rumah Adat Aceh: Keunikan dan Makna dalam Arsitekturnya
Sejarah Upacara Adat Peusijuek
Untuk benar-benar memahami makna dari Upacara Adat Peusijuek, kita perlu melihat ke belakang. Upacara Adat ini sesungguhnya lahir dari percampuran budaya lokal dengan ajaran Islam.
Islam pertama kali datang ke Aceh melalui jalur damai. Sekitar abad ke‑7 M, para pedagang Arab menyebarkan ajaran Islam tanpa kekerasan. Mereka membaur dengan budaya lokal, tidak memaksakan. Sejak itulah proses islamisasi berjalan perlahan, hingga ajaran Islam semakin kuat dan diterima secara luas oleh masyarakat Aceh
Sebelum Islam datang, masyarakat Aceh masih mempraktikkan ajaran animisme dan Hindu. Salah satu ritual yang ada saat itu mirip dengan Peusijuek. Tradisi ini kemudian diserap ke dalam budaya Islam melalui akulturasi.
Kata “Peusijuek” berasal dari bahasa Aceh, yaitu dari kata sijuek yang berarti dingin atau sejuk, diberi imbuhan peu sehingga bermakna “mendinginkan” atau “menyiram” objek tertentu dengan harapan menenangkan atau menyucikan
Pada awalnya Peusijuek menggunakan mantra-mantra lokal yang dianggap sakral. Namun seiring berkembangnya Islam, terutama pada masa Sultan Iskandar Muda dengan ulama seperti Nuruddin ar‑Raniry, mantra-mantra tersebut diganti dengan doa-doa Islami. Bahkan dibuat qanun yang mengikat, seperti Syara’ al-Asyi, yang menetapkan bahwa ritual adat seperti Peusijuek harus mengikuti aturan agama.
Hingga kini Peusijuek tetap lestari, terutama di Aceh Selatan. Setiap desa punya tokoh seperti teungku atau imam yang memimpin ritual ini. Meskipun ada beberapa adaptasi, seperti kemasannya yang bisa disisipkan musik atau sastra tradisional, nilai dasarnya tetap sama dan utuh, yakni kombinasi harmonis antara akulturasi budaya lokal masa lalu dan nilai-nilai Islam masa kini.
Urutan Upacara Adat Peusijuek
Meskipun terlihat sederhana di mata orang luar, setiap langkah dalam Upacara Adat Peusijuek memiliki makna simbolik yang kuat. Ada urutan tertentu yang harus diikuti, dan semua perlengkapan yang digunakan pun tidak dipilih sembarangan. Nah, berikut ini adalah tahapan-tahapan dalam pelaksanaan upacara yang sarat makna ini, seperti dikutip dari situs Kemdikbud.
1. Persiapan Perlengkapan Peusijuek
Sebelum upacara dimulai, perlengkapan tradisi ini harus disiapkan terlebih dahulu. Semua bahan diletakkan rapi di atas talam atau nampan besar. Talam ini biasanya dibawa oleh tokoh adat atau orang yang ditunjuk memimpin prosesi. Berikut ini isi perlengkapannya:
- Breuh padee (beras padi biasa, belum digiling) dalam satu mangkuk.
- Bu leukat, yaitu nasi ketan yang dikukus. Warnanya putih atau kuning, tergantung acara.
- Teupong taweu atau air tepung tawar, yang dibuat dari tepung beras dan air putih.
- Tumpô, yaitu penganan khas yang dibuat dari tepung, pisang, dan kelapa merah.
- Oun sîneujuek, daun khusus yang digunakan untuk menyiram atau menepuk peserta prosesi.
- Tambahan dedaunan lain seperti on anekmano dan on naleung sambô, yaitu sejenis rerumputan berakar kuat.
- Glok ie, wadah air untuk cuci tangan.
- Sangèe, tudung saji untuk menutup makanan dan perlengkapan agar tetap bersih.
Semua barang tersebut punya makna simbolik. Misalnya, breuh padee melambangkan kesuburan dan keberkahan. Air tepung tawar berarti ketenangan dan kesejukan. Daun-daunan pun diyakini membawa perlindungan dari hal buruk.
2. Penaburan Beras Padi (Breuh Padee)
Upacara dimulai dengan menaburkan breuh padee ke arah orang yang sedang dipeusijuek. Penaburan dilakukan secara lembut, biasanya oleh seorang tokoh adat, imam, atau orang tua yang dituakan. Beras ditaburkan dari atas kepala sambil diiringi bacaan doa atau salawat.
Makna dari prosesi ini adalah harapan agar orang tersebut mendapatkan rezeki yang melimpah, kehidupan yang subur, dan hati yang bersih. Penaburan ini dilakukan tiga kali, dari kepala hingga bahu.
3. Penyiraman Air Tepung Tawar (Teupong Taweu)
Langkah selanjutnya adalah menyiram atau menepuk air tepung tawar menggunakan daun sineujuek. Air ini dipercikkan pelan ke tubuh atau pakaian orang yang dipeusijuek. Penyiraman dilakukan secara hati-hati, dengan gerakan melingkar kecil. Makna dari ritual ini adalah untuk menyejukkan hati, membersihkan diri dari energi buruk, serta mendoakan keselamatan dalam langkah hidup berikutnya.
4. Menyunting Bu Leukat (Nasi Ketan) ke Telinga
Setelah itu, nasi ketan putih atau kuning disuntingkan ke bagian daun telinga sebelah kanan orang yang dipeusijuek. Jumlahnya sedikit saja, sekepal kecil. Penempatan ini tidak dilakukan sembarangan, harus dengan hati-hati dan penuh doa.
Bu leukat melambangkan kekuatan ikatan batin. Harapannya, orang tersebut akan selalu lekat dengan keluarganya, dengan adatnya, dan dengan nilai-nilai baik dalam hidup. Ketan juga sering dikaitkan dengan rezeki yang “lengket”, artinya tidak gampang hilang.
5. Pemberian Teumutuek
Terakhir, sebagai pelengkap atau penutup, biasanya orang yang memimpin upacara akan memberikan teumutuek. Disa berupa uang, kado kecil, atau bingkisan lainnya. Tujuannya adalah sebagai bentuk berkah, sekaligus penghormatan bagi orang yang dipeusijuek. Pemberian ini juga menjadi simbol keikhlasan dan bentuk dukungan dari lingkungan sekitar.
Baca juga: 15 Senjata Tradisional Aceh: Warisan Budaya dan Penggunaannya
Upacara Adat Peusijuek merupakan warisan budaya Aceh yang mencerminkan kedekatan masyarakatnya dengan nilai-nilai religius dan kebersamaan. Lewat prosesi yang tampak sederhana, ada pesan kuat tentang rasa syukur, doa, dan harapan baik yang disampaikan secara turun-temurun.
Tradisi ini mengajarkan bahwa setiap langkah dalam hidup layak disambut dengan kebaikan dan restu, bukan hanya secara pribadi, tapi juga secara sosial. Meski zaman terus berubah, Upacara Adat Peusijuek tetap punya tempat di hati masyarakat Aceh.