JNEWS – Bali memang tidak pernah kehabisan cerita tentang budaya dan tradisi yang masih hidup sampai sekarang. Salah satunya adalah Upacara Mekare-kare, sebuah ritual khas dari Desa Tenganan Pegringsingan yang berbeda dari kebanyakan upacara di Bali.
Dari namanya saja sudah terdengar unik, apalagi kalau tahu bagaimana cara masyarakat setempat merayakannya. Tradisi ini bukan hanya sekadar warisan leluhur, tapi juga bagian dari identitas yang membuat desa ini begitu istimewa di mata banyak orang.
Bagi yang pertama kali mendengar, upacara ini mungkin terdengar aneh bahkan sedikit ekstrem. Tapi di balik itu semua, ada nilai budaya yang dalam dan kisah sejarah yang menarik untuk dipahami.
Suasana desa yang berubah total saat perayaan membuat siapa pun yang datang bisa merasakan energi berbeda. Tidak hanya warga lokal, banyak wisatawan pun sengaja datang untuk melihat langsung bagaimana tradisi ini dijalankan dari generasi ke generasi.
Sejarah dan Asal Usul Upacara Mekare-kare
Upacara Mekare-kare berasal dari Desa Tenganan Pegringsingan, salah satu desa Bali Aga yang masih memegang erat tradisi leluhur. Bali Aga sendiri merujuk pada masyarakat Bali asli yang sudah ada jauh sebelum pengaruh kerajaan besar masuk ke pulau ini. Karena itu, banyak adat di Tenganan terasa berbeda dengan desa-desa Bali lainnya, termasuk dalam hal upacara dan kepercayaan. Mekare-kare menjadi salah satu warisan penting yang terus dijalankan hingga sekarang.
Ritual ini erat kaitannya dengan pemujaan kepada Dewa Indra. Dalam keyakinan Hindu, Indra dikenal sebagai dewa perang sekaligus pelindung. Masyarakat Tenganan percaya bahwa keberanian dan pengorbanan adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada Dewa Indra.
Karena itu, pertarungan simbolis dalam Upacara Mekare-kare dianggap sebagai cara untuk meneladani semangat juang Dewa Indra. Luka yang muncul dari pandan berduri dipandang bukan sebagai penderitaan, melainkan persembahan yang bernilai sakral.
Penggunaan pandan berduri sebagai senjata juga punya makna tersendiri. Durinya yang tajam dianggap sebagai simbol kesakitan dan tantangan hidup. Dengan berani menghadapinya, laki-laki Tenganan membuktikan ketangguhan sekaligus pengabdian mereka.
Baca juga: 8 Tradisi dan Upacara Adat Bali: Warisan Budaya yang Terjaga
Jalannya Upacara Mekare-kare

Dikutip dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, Upacara Mekare-kare biasanya dilaksanakan setahun sekali selama dua hari, tepatnya saat rangkaian besar Sasih Sambah. Perayaan adat ini biasanya berlangsung pada bulan Juni.
Bagi masyarakat Tenganan, bulan ini dianggap waktu yang tepat untuk mempersembahkan penghormatan kepada Dewa Indra. Maka tidak heran jika seluruh warga desa, baik tua maupun muda, ikut ambil bagian dalam persiapannya.
Ritual utama berlangsung di balai desa Tenganan, sebuah lapangan terbuka yang menjadi pusat kegiatan adat. Di sinilah para laki-laki desa tampil dengan pakaian adat, bersiap mengikuti pertarungan simbolis.
Pertandingan dilakukan oleh dua orang, dengan senjata pandan berduri di tangan dan tameng rotan di dada. Pandan itu panjangnya sekitar setengah meter dengan duri tajam yang bisa melukai kulit. Sementara tameng rotan dibuat sederhana, cukup untuk menahan serangan meski sering kali tak mampu menutupi semua bagian tubuh.
Selama pertarungan, suasana terasa semakin hidup dengan iringan gamelan selonding. Musik tradisional khas Tenganan ini mengiringi setiap gerakan, membuat pertarungan tidak hanya terlihat keras, tetapi juga berirama. Bagi masyarakat Tenganan, musik selonding adalah bagian tak terpisahkan dari upacara, karena menjadi penguat nuansa sakral yang ingin dibangun.
Menariknya, upacara ini tidak hanya melibatkan laki-laki. Perempuan desa juga mengambil peran penting lewat prosesi sesajen dan doa. Mereka menyiapkan persembahan dengan penuh teliti, memastikan segala ritual berjalan sesuai tradisi. Kehadiran mereka membuat suasana upacara lebih lengkap. Pertarungan pandan mungkin menjadi pusat perhatian, tapi doa dan sesajen inilah yang menjaga esensi spiritualnya tetap kuat.
Jadi Daya Tarik Wisata Budaya
Saat Upacara Mekare-kare digelar, seluruh sudut Desa Tenganan akan dihias. Ada berbagai kegiatan ritual turut meramaikan suasana. Warga desa sibuk dengan persiapan, mulai dari membuat sesajen, membersihkan balai adat, hingga menyiapkan pakaian tradisional.
Saat itu, akan ada banyak penonton yang datang, mulai dari masyarakat Bali di sekitar hingga wisatawan mancanegara. Mereka duduk mengelilingi arena untuk ikut menyaksikan pertarungan pandan.
Walaupun tajam dan bisa melukai, suasana tetap meriah, karena semua tahu bahwa pertarungan ini hanyalah simbol pengorbanan, bukan permusuhan. Tepuk tangan dan sorakan penonton kerap terdengar setiap kali peserta menunjukkan keberanian di tengah arena.
Setelah pertarungan usai, luka-luka yang muncul di tubuh peserta diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit dan minyak kelapa. Obat alami ini dipercaya bisa meredakan rasa perih sekaligus mempercepat penyembuhan. Momen ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Tenganan masih mengandalkan warisan pengetahuan leluhur dalam kehidupan sehari-hari hingga sekarang.
Upacara Mekare-kare pun menjadi magnet wisata budaya yang semakin dikenal luas. Banyak wisatawan sengaja datang ke Bali pada bulan Juni hanya untuk menyaksikan tradisi ini.
Meski begitu, masyarakat Tenganan tetap menjaga kesakralannya. Upacara tidak pernah diubah menjadi sekadar tontonan komersial. Inti dari ritual, yaitu penghormatan kepada Dewa Indra dan semangat solidaritas, tetap dipegang teguh.
Baca juga: Mengenal Gamelan Bali: Instrumen dan Makna di Baliknya
Lebih dari sekadar hiburan, Upacara Mekare-kare membawa pesan edukatif bagi siapa saja yang melihatnya. Ritual ini mengajarkan arti keberanian, solidaritas, dan penghormatan terhadap tradisi yang sudah diwariskan turun-temurun. Itulah sebabnya, upacara Mekare-kare tidak hanya menjadi bagian dari identitas Desa Tenganan, tetapi juga menjadi cermin kekayaan budaya Bali yang patut dihargai.