Bocah kecil yang sudah berganti nama menjadi Soeprapto Soeparno itu beranjak remaja. Seperti kebanyakan penduduk pribumi yang hidup dalam masa pergolakan revolusi sebelum maupun sesudah kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945, kehidupan keluarga Soeparno kala itu juga dalam taraf ekonomi yang berkekurangan.
Para penjajah, terutama Belanda, salah satu tujuannya ingin kembali menjajah Indonesia adalah menguasai dan mengeruk kekayaan akan rempah-rempah dan bahan tambang di perut bumi ibu pertiwi. Termasuk di Kepulauan Bangka Belitung yang kaya akan timah.
Baca juga : Jejak Spiritual H. Soeprapto Soeparno (Bagian 1)
Setelah Belanda benar-benar hengkang dari Indonesia, tambang timah di Bangka Belitung yang semula dikuasai para mener-mener Belanda beralih ke pemerintahan Indonesia. Lapangan kerja di pertambangan timah terbuka untuk penduduk pribumi Bangka Belitung kala itu.
Soeprapto muda pun ikut bekerja di pertambangan timah untuk membantu perekonomian keluarganya. Termasuk, agar adik-adiknya bisa terus sekolah setinggi mungkin.
Salah satu adik kandung Soeprapto adalah almarhum H. Soelasmo, yang pernah menjabat sebagai direktur maupun komisaris di JNE. Dalam sebuah wawancara dengan JNEWS, kala itu alamarhum H. Soelasmo berbagi kisah tentang bagaimana perjuangan dan kebaikan kakak kandungnya tersebut.
Karena keterbatasan ekonomi, sementara Soelasmo kecil ingin sekolah setinggi mungkin, sudah merantau ke Jawa, tepatnya sejak lulus SD merantau ke Yogyakarta untuk meneruskan sekolah SMP.
“Untuk membantu mebiayai hidup dan biaya sekolah di Yogya, saya dibantu oleh Pak Soeprapto yang kala itu bekerja di pertambangan timah dan mengajar les dansa di Bangka Belitung,” kenang H. Soleasmo, seperti termuat dalam JNEWS edisi Juni 2013 dalam rubrik ‘In Memoriam H. Soelasmo’.
Baca juga : Serunya Menggambar Bareng Si Joni di Kandank Jurank Doank
Di tanah Jawa, karena tidak ingin terus menerus menyusahkan keluarga di kampung halaman, termasuk menyusahkan kakaknya lagi, setamat SMA, Soelasmo pun memilih pindah ke Jakarta.
“Saya tidak melanjutkan kuliah, namun hijrah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan,” tambah H. Soelasmo, yang sebetulnya dalam hati kecilnya merasa miris karena banyak anak-anak dari luar daerah yang datang untuk kuliah ke Yogyakarta kala itu.
Kelak di Jakartalah, kedua kakak beradik ini bertemu, saat H. Soeprapto mendirikan TIKI kemudian juga JNE. Bila sang adik di tanah Jawa tengah berjuang tanpa ada sanak saudara demi meraih cita-citanya, nun di Kepulauan Bangka, Soeprapto muda terus mengasah kemampuannya berdansa. Selain hobi, dia juga menjadikan sebagai mata pencaharian sampingan. Lewat kemahirannya berdansa pergaulan Soeprapto semakin luas.
Dalam banyak kesempatan di acara-acara JNE, almarhum H. Soeprapto dahulu juga sering unjuk kebolehan bagaimana mahirnya dia berdansa baik jenis rumba, chacha, tango maupun waltz. Dari semua jenis dansa klasik tersebut, H. Soeprapto paling menyukai jenis chacha dan waltz.
Walau kondisi perekonomian keluarganya pas-pasan kala itu, namun jiwa sosial Soeprapto muda sudah terasah. Bila sanak saudara atau teman-temannya meminta pertolongan, selagi mampu ia tidak akan pernah menolaknya.
Bahkan, bila ada rezeki berlebih, Soeprapto sering menukar uang recehan, yang kemudian uang tersebut dia sebar hamburkan ke anak-anak kecil. Ada rasa gembira di hati kala melihat anak-anak kecil yang memang kebanyakan anak dari keluarga miskin tersebut mendapatkan uang receh yang ia tebarkan. *