Kamu pasti sudah pernah mendengar brand minuman Haus! atau Haus kan? Ya, brand minuman yang berdiri sejak 2018 ini telah hadir di sejumlah kota di Indonesia dengan total cabang sebanyak 126 outlet. Tapi, tau nggak sih kamu kalau berdirinya Haus ini karena ingin mengincar segmen minuman new tea dan boba yang ada di segmen menengah ke bawah.
“Kalau kita lihat di brand minuman warna ungu dari Taiwan (Chatime), itu kan top of mind-nya untuk segmen tertentu, middle sampai middle up lah. Jadi, pas kita bedah lagi untuk level middle low-nya belum ada top of mind,” terang Founder sekaligus CEO Haus! Gufron Syarif.
Padahal, menurut fakta yang ditemukan oleh Gufron, 70% masyarakat Indonesia berada di level market yang ada di bawah. Karenanya, Gufron pun melihat ada peluang untuk menciptakan sebuah brand minuman untuk memenuhi permintaan di pasar tersebut yang kemudian kita kenal dengan nama Haus.
Baca Juga: Kisah Rizal Djibran Populerkan Himego Fish yang Kaya Nutrisi
Dengan menggarap pasar tersebut, Gufron pun ingin Haus menjadi brand yang disebut di dalam segmen minuman affordable. Walaupun, menurut Gufron, lepas dirinya mendirikan Haus, segmen pasar tersebut langsung diserbu oleh brand lain.
Namun, hal tersebut tidak menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi dirinya dan tim. Menurut Gufron, Haus memiliki strategi untuk menjaga pelanggan agar tetap loyal dengan brand-nya, yakni dengan memberikan service excellence kepada pelanggan.
“Intinya kami ingin memberikan customer satisfaction yang pasti. Salah satu misi dan visi kami adalah “deliver happiness through cup of drink”. Jadi yang ingin kami deliver adalah kebahagiaan, dan bukan cuma produknya aja yang bikin happy, tapi experience,” terangnya.
“Ketika dia datang ke toko, bertemu crew yang menyapa dengan ramah dan senyum, bikin pelanggan merasa seperti teman. Kemudian tempatnya juga nyaman, bersih, dan pastinya pelayanannya juga cepat. Sehingga pelanggan benar-benar bisa bahagia setelah pembelian,” tambahnya.
Bicara mengenai dunia usaha, tentu tidak lepas dari pengalaman semasa pandemi Covid-19. Gufron pun menyebut bahwa Haus termasuk salah satu yang beruntung ketika pandemi menyerang di 2020 hingga 2021. Bahkan Gufron dengan bangga menyebut bahwa Haus masih mengalami pertumbuhan dengan profitability yang plus bila dibandingkan dengan merek lain.
Baca Juga: Tips Memilih Kemasan Makanan yang Aman untuk Dikirim
Salah satu strategi atau alasan karena outlet Haus tidak menyediakan dine-in atau makan/minum di tempat. Gufron mengatakan bahwa pada dasarnya Haus merupakan brand minuman yang memand diciptakan untuk melayani pembelian secara online atau delivery melalui ojek online maupun take away (dibungkus).
“Jadi, sebelum pandemi itu 50% take away atau offline, 50% delivery. Dan ketika pandemi menyerang, konsumen kami berubah menjadi delivery dengan persentase take away 25%, sementara deliver 75%. Jadi, walaupun pandemi, kami tetap masih sangat bagus. Mungkin kalau ada penurunan sales per store, itu masih sangat sedikit lah, sekitar 10%-an,” paparnya.
Minuman Kekinian akan Jadi Budaya
Sama seperti usaha Food & Beverage (F&B) pada umumnya, Haus juga terus shifting dan berubah. Strategi Haus berikutnya menurut Gufron adalah selalu tap in dengan tren yang ada. Bahkan menurutnya setiap dua bulan sekali Haus selalu meluncurkan produk atau varian rasa baru, walauun terkadang produk tersebut tidak permanen atau limited time offering.
Dirinya pun meyakini bahwa usaha minuman kekinian atau newt tea dan boba ini akan bertahan lama dan bisa menjadi global culture. Sebab, usut punya usut, minuman jenis ini sudah ada di Taiwan bahkan sejak tahun 1985.
Bahkan Gufron menyebut ada satu brand di China yang sudah berdiri sejak 1995 yang hingga tahun 2021 tetap bertumbuh sampai saat ini memiliki 12.000 cabang di seluruh dunia dengan revenue mencapai Rp14 triliun. Sementara di Indonesia, tren minuman kekinian mulai ada dari brand minuman Chatime dari 2011 dan akan terus bertumbuh.
“Bahkan saya prediksi itu lima tahun ke depan market size minuman kekinian bisa mencapai Rp20 triliun per tahun. Bahkan ini nggak cuma di Asia, teman-teman di Australia dan Amerika Serikat juga sudah merasakan. Jadi, menurut saya ini bukan bisnis musiman tapi akan menjadi budaya,” tutupnya.
Baca Juga: Miss Konsepsi Digitalisasi UMKM, Apa Saja?