Makanan tradisional tidak kalah enak dengan makanan-makanan modern. Namun banyak makanan tradisional yang makin langka dan hampir punah. Umumnya penyebab utama kelangkaan tersebut adalah bahan baku yang semakin sulit dicari dan kemasan yang kurang higienis atau estetik.
Meski begitu, banyak pula makanan tradisional yang bisa terangkat dan kembali populer. Misalnya talam durian khas Pekanbaru yang tiba-tiba mencuat menjadi salah satu ikon oleh-oleh sehingga mendominasi toko-toko besar. Itu berarti ada banyak harapan pada makanan-makanan tradisional lainnya agar bangkit dan dikenal kembali.
10 Makanan Tradisional yang Hampir Punah
Mengangkat nama makanan tradisional yang hampir punah merupakan salah satu upaya untuk melestarikan budaya Indonesia. Berikut adalah 10 makanan tradisional yang hampir punah dan apa yang bisa dilakukan untuk melestarikannya.
1. Lompong Sagu Khas Minang
Lompong sagu adalah kudapan yang terbuat dari campuran sagu, gula merah dan pisang yang dibungkus daun pisang, lalu dibakar. Makanan ini pernah menjadi oleh-oleh favorit daerah pesisir Sumatra Barat yang banyak pohon sagu. Namun sekarang sepi peminat sehingga pembuatnya ikut berkurang.
Lompong sagu yang berukuran 20 cm dianggap sebagai salah satu penyebab orang enggan membeli. Ukuran tersebut terlalu besar untuk disantap dalam perjalanan. Dibutuhkan inovasi dalam hal kemasan agar lompong sagu kembali menarik sebagai oleh-oleh.
Baca juga: Daftar Lengkap 15 Makanan Khas Jawa Barat yang Selalu Dicari Wisatawan
2. Recok Khas Palembang
Recok adalah semacam pempek yang disajikan dengan kuah model. Pempek dan model adalah makanan khas Palembang yang sudah terkenal. Di Palembang, pempek dan model dijual di berbagai sudut kota, dari kakilima hingga restoran. Sementara recok yang hampir punah dan hanya dijual di satu tempat di Palembang, yaitu di Jalan Lingkaran.
Perlu inovasi untuk isiannya agar lebih menarik. Mungkin bisa mencontoh inovasi yang dilakukan para penjual bakso dengan menambahkan aneka varian, dari varian keju hingga sambal di dalam bakso.
3. Sayur Babanci Khas Betawi
Umumnya sayur babanci dimakan bersama ketupat. Sayur ini berbahan utama daging kepala sapi, terutama pipi. Itulah sebabnya dinamakan babanci karena disebut sayur tetapi tidak ada sayurannya. Sayur babanci bisa ditemui di bulan Ramadan, Idulfitri, Iduladha atau di Setu Babakan.
Kelangkaan sayur babanci akibat semakin sulitnya mendapatkan rempah-rempah yang lengkap untuk bumbu, antara lain kedaung, temu kunci, bangle, dan sebagainya. Pembuat sayur babanci perlu bekerja sama dengan kelompok atau pemilik kebun tanaman herbal atau rempah-rempah agar bisa mendapatkan pasokan yang dibutuhkan.
4. Jubada Khas Sumenep
Jika berkunjung ke Pulau Madura, mampirlah di Pasar Kapedi, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep karena jubada atau jubede hanya ada di sana. Makanan tradisional sejenis dodol yang diikat itu terbuat dari tepung tapioka, gula merah, dan air nira siwalan. Jubada tercatat dalam laporan ketua komite pangan Hindia Belanda yang dibuat oleh William Frederick Donath pada tahun 1935.
Saat ini, hanya tinggal 8 produsen Jubada. Jubada perlu diperkenalkan lagi dengan kemasan yang lebih menarik untuk dijadikan oleh-oleh. Misalnya dibungkus secara individual seperti permen atau kukis.
5. Kue Rangi Khas Betawi
Kue rangi terbuat dari tepung kanji dan parutan kelapa yang dibakar di atas api kecil. Pembuat bisa menggunakan cetakan kue pancong, tetapi bisa juga tanpa cetakan. Dahulu kue rangi dijajakan oleh pedagang keliling. Kue rangi ini sebaiknya dinikmati selagi hangat, apalagi kue ini mudah basi.
Jika ingin dikenal lagi, kue rangi bisa dihadirkan di pameran-pameran atau di tempat-tempat strategis seperti kerak telor, yang kini hadir di acara-acara kuliner tak hanya di Jakarta saja, tetapi di seluruh Indonesia.
6. Cethot Khas Kulonprogo
Dahulu cethot merupakan makanan penolong ketika terjadi musim paceklik. Waktu itu bahan makanan dari luar daerah susah didapatkan dan tanaman tidak bisa tumbuh subur, kecuali singkong. Singkong muda enak direbus atau dikukus. Bagaimana dengan singkong tua?
Cethot terbuat dari singkong tua segar yang diparut, dikukus, didinginkan, lalu diiris kotak kecil-kecil. Di atas cethot umumnya ditabur serundeng. Bahan bakunya masih ada sekarang, tetapi perlu inovasi peralatan agar prosesnya cepat dan penampilannya dipercantik seperti getuk legendaris dari Magelang.
7. Timbungan Khas Bali
Mengutip dari situs resmi Pemkot Denpasar, timbungan ini unik karena kelangkaan makanan ini disebabkan oleh cara memasaknya. Timbungan adalah makanan apa pun yang dimasukkan ke bambu muda dan diletakkan di dekat api selama 12 jam. Isinya tergantung selera, bisa daging ayam, bebek atau babi yang telah dilumuri bumbu genep.
Cara memasak yang lama ini sulit digantikan dengan cara memasak yang lain, karena itulah inti dari timbungan. Mungkin yang bisa dilakukan adalah membuat konten yang menarik sebanyak-banyaknya di media sosial dan membuat sistem pemesanan sehari sebelumnya atau preorder.
8. Cao Khas Sulawesi Selatan
Jika di Jawa es cao merujuk ke cincau atau camcao, cao di Sulsel ini benar-benar beda. Cao dari Sulsel merupakan hasil fermentasi ikan atau udang menggunakan ragi. Fermentasi dilakukan di dalam botol selama 3 hari hingga warnanya berubah pink. Setelah itu cao dimasak lagi dengan bumbu sebelum disantap.
Cao adalah cara warga Pulau Salermo mengawetkan ikan karena jarak rumah dengan pasar yang jauh di pulau lain. Mungkin perlu penelitian agar cao bisa lebih tahan lama dan dikemas seperti kimchi dari Korea yang merupakan produk fermentasi.
9. Kerupuk Pipih Khas Kalimantan Tengah
Kerupuk pipih terbuat dari ikan pipih. Kelangkaan kerupuk ini karena sekarang ikan pipih termasuk hewan yang dilindungi. Kerupuk pipih masih dibuat hingga sekarang tapi menggunakan ikan gabus atau haruan yang cita rasanya berbeda.
Untuk hal ini yang dapat dilakukan adalah terus mencari cita rasa ikan pengganti yang mirip dengan ikan pipih karena tak ada yang bisa dilakukan terhadap hewan yang dilindungi kecuali mematuhi aturan larangan menangkapnya.
10. Sayur Pucuk Keladi Khas Kepulauan Sula
Kepulauan Sula terletak di Maluku Utara. Penyebab warga tak lagi memasak sayur ini adalah karena sulitnya mendapatkan pucuk keladi. Dahulu keladi tumbuh liar di rawa-rawa yang bebas diambil warga. Sekarang sebagian besar rawa-rawa tersebut sudah beralih fungsi menjadi perumahan, pertokoan, dan fasilitas publik lainnya.
Baca juga: 10 Makanan Khas Surabaya dengan Rasa Unik yang Tak Ada di Tempat Lain
Itulah 10 makanan Indonesia yang hampir punah dan cara melestarikannya. Masyarakat bisa mendukung dengan cara masing-masing, antara lain mencari resep dan belajar memasaknya, membeli makanan tersebut jika masih ada yang menjualnya, atau mencoba mengemas ulang dan membuat merek yang sesuai dengan perilaku konsumen zaman sekarang.