PATAH, dalam banyak makna, kerap dihadapi dan dialami manusia. Menyerah, putus asa, kehilangan gairah dan semangat karena merasa cobaan dan hadangan begitu dahsyat menerpa dan tak kuasa lagi dihadapi. Patah hati karena yang dikasihi sepenuh hati ternyata tak melirik sama sekali. Bertepuk sebelah tangan. Putus dan gagal harapan, karena bencana yang melanda sungguh teramat meluluhlantakkan dan berlangsung tidak singkat. Bayangkan, pandemi Covid19 hampir berlangsung selama tiga tahun, merenggut banyak nyawa orang-orang terkasih dan seperti mengubur harapan akan masa depan. Pintu-pintu asa seolah ditutup dan tertutup.
Lalu, apakah kita harus mati dalam hidup? Tamat sebelum berakhir?
Aku teringat semangat gambaru masyarakat Jepang yang negaranya “akrab” dengan bencana alam. Saat berada di sana, tanah tempat berpijak berguncang-guncang bukan sesuatu yang aneh dan langka. Teramat akrab, bahkan. Luluh lantak oleh “amuk alam” bukan kejadian satu-dua kali.
Tapi, mereka hadapi semua itu dengan tenang, teratur dan terkendali. Bukan berarti leyeh-leyeh, seraya mengeluh, “Mau bagaimana lagi, ini sudah takdir alam”, lalu “mundur teratur dan terkendali” dalam barisan panjang menyerah dan pasrah, kemudian mengiba-iba meminta donasi dan pertolongan pada warga dunia.
Sebaliknya, dengan semangat gambaru, mereka melakukan segala daya dan upaya, selelah dan sepahit apa pun itu, untuk menyelesaikannya dan mencapai yang terbaik. Berjuang mati-matian, bekerja bersama hingga batas kemampuan paling ujung untuk menghadapi semuanya. Peluluhlantakan oleh alam, tak meluluhlantakkan semangat mereka, bahkan sebaliknya, menaikkan semangat berjuang bersama menjadi berlipat-lipat ganda.
Hidup ini memang tumpukan masalah, memang susah, jangan jadi cengeng. Begitu pesan dan kesan yang disampaikan lewat semangat gambaru. Mau menghadapinya dengan perasaan gampang dan enak-enak saja, ya “gasss terus semangatnya!”
Mau menegakkan keadilan, mau meningkatkan sales, mau meraih prestasi di bangku sekolah atau di lapangan olahraga, ya berjuang, belajar dan berlatih mati-matian. Tidak ada tawar-menawar.
Di medan perang, mereka tampil sebagai kamikaze (“angin Ilahi”, berjuang dengan gagah dan berani mati, menumbukkan pesawat terbang yang mereka tumpangi pada sasaran, demi menjaga kehormatan). Di dunia bisnis, dikenal sebagai kaizen, terus melakukan perbaikan berkesinambungan untuk mencapai kesempurnaan dalam bekerja dan menghasilkan produk berkualitas. Pada praktiknya, kaizen menempatkan kualitas yang harus diperjuangkan dengan penuh semangat, pada prioritas tertinggi.
Dengan semua itu, ditambah “modal” penunjang, seperti bersikap benar dan penuh tanggung jawab; ksatria yang pemberani sekaligus murah hati; mencintai, santun, hormat dan tulus pada sesama; mengabdi dan loyal, serta tak putus menjaga martabat dan kehormatan, kita bisa melihat gambaran Jepang hari ini. Gambaran sebuah bangsa, yang warganya ketika berpamitan untuk berpisah, saling berucap “gambare” — semangat saling mengingatkan untuk terus bekerja keras hingga tujuan tercapai. Memicu semangat dengan teriakan “gambare” atau “gambatte”, agar atlet-atletnya bisa memenangkan pertandingan.
*
PELAJARAN hidup semacam ini, juga sebenarnya mengalir deras dalam kehidupan sehari-hari di negeri ini. Betapa sering kita mendengar nasihat, bahwasanya masalah bukan untuk dihindari. Sebaliknya, harus dihadapi, karena begitulah cara Pemilik Semesta menyayangi kita. Bukan dengan cara menghilangkan masalah atau meringankan masalah. Tapi, memicu kita untuk terus menguatkan jiwa dengan penuh semangat dan keyakinan, sehingga sedahsyat apa pun masalah yang dihadapi, kita bisa tetap bertahan dan tak menyerah. Pundak kita akan semakin kuat dan kokoh, karena beratnya beban yang ditaruh di atasnya.
Jalan yang terbentang di hadapan kita, tidak dimuluskan dan dimudahkanNya, agar kelak ketika kita berhasil melewatinya, akan meninggalkan goresan kenangan yang penuh kesan, istimewa dan tak bisa terlupakan.
Ya, semesta di Zamrud Katulistiwa ini memberi kita sinar matahari yang kerap teramat terik, gelombang samudera yang kerap teramat dahsyat, deras hujan yang tak jarang meninggalkan genangan dalam, dan panjang kemarau yang meninggalkan retakan-retakan di tanah yang kita pijak, ditambah guncangan alam berulang-ulang karena berada di wilayah Cincin Api Pasifik, tempat pertemuan tiga lempeng tektonik dunia.
Dengan semangat yang terus di-gasss, pantang menyerah, kita yakini bahwa semua itu dibutuhkan agar kita punya kekuatan dahsyat dalam menghadapi segala hal. Agar kita tahu cara bersyukur ketika menatap hamparan pemandangan indah hutan rimbun nan hijau, garis pantai dan kekayaan bawah laut yang luar biasa, barisan pegunungan pembawa angin dan hembusan hawa kedamaian, sungguh sepenggal surga yang diturunkan ke bumi dan ditempatkan di negeri ini.
Ibuku pernah mengingatkan, “Nak, kita butuh air mata untuk bisa menikmati indahnya hidup.” Karenanya, perih seperih apa pun, pedih sepedih apa pun, jangan biarkan dirimu larut dalam kepedihan berkepanjangan dan patah berkeping-keping. Gasss terus semangatmu juga gasss terus semangatnya orang-orang di sekeliling kamu. Percayalah, dengan semangat yang terus di-gasss, hidup ini akan terasa indah.
Klise dan terdengar membosankan. Sebagaimana orang-orang asing yang berkesempatan belajar dan tinggal di Jepang kala mendengar semangat gambaru yang tak putus-putus ditanamkan di hati dan jiwa warga Negeri Matahari Terbit itu. Terasa teramat membosankan.
Aku pun percaya itu. Kalau hanya diucapkan, akan sangat membosankan. Tapi kalau dimengerti dan dilakoni dalam kehidupan sehari-hari, sungguh terasa indah dan nikmatnya. Memberi manfaat bukan cuma untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk sesama dan semesta.
Jadi, ayo #GasssTerusSemangatnya !!!
*