JNEWS – Banda Neira adalah setitik surga di Kabupaten Maluku Tengah. Keindahan alam dan sejarahnya menjadi magnet magis dari pulau kecil yang memiliki dua belas desa dan dihuni oleh 14.000 jiwa.
Sejarah panjang mengiringi perjalanan pulau ini. Dimulai dari pergerakan melawan penjajahan Belanda yang ingin menguasai Banda karena kaya akan rempah-rempah hingga menjadi tempat pengasingan para tokoh nasional.
Menilik Sejarah Kolonial di Banda Neira
Tanah di Banda Neira terkenal subur dan tidak banyak terkena hujan. Hal inilah yang membuat tanaman pala dan cengkih tumbuh subur di pulau ini. Pulau ini pun dikenal sebagai satu-satunya penghasil pala bernilai tinggi hingga abad ke-19. Tidak mengherankan banyak bangsa asing yang berlomba-lomba ingin menguasai Banda.
Pala begitu populer di masa itu karena mitosnya bisa digunakan sebagai obat sekaligus ramuan vitalitas. Tanpa adanya buah pala, kaum bangsawan dan borjuis di Eropa seperti menyantap bangkai dan makanan basi.
Keberadaan pulau ini pertama kali diketahui oleh orang Eropa. Beberapa masyarakatnya datang ke Banda untuk transaksi jual beli rempah saja, tidak untuk menjajah. Awalnya, bangsa Inggris yang tiba di pulau ini membantu penduduk lokal dengan membekali sejumlah persenjataan dan melatih perang.
Ketika Belanda datang, terjadilah perang antara pihak Belanda dan penduduk setempat yang dibantu oleh Inggris pada tahun 1609. Walaupun awalnya berseteru, ternyata kedua bangsa ini sama-sama ingin menguasai Banda Neira dengan cara menjajah.
Rangkaian perang antar dua bangsa ini mereda setelah ditandatanganinya Traktat Breda tanggal 31 Juli 1677. Adapun salah satu poin isi dari perjanjian tersebut adalah Inggris harus angkat kaki dari Pulau Run, Kepulauan Banda. Dengan demikian, pulau ini pun jatuh ke tangan Belanda.
Sebagai ganti dari serah terima tersebut, Belanda menawarkan Nieuw Amsterdam pada Inggris. Nieuw Amsterdam saat ini dikenal sebagai Manhattan, New York.
Bagaimana dengan Pulau Run? Sayangnya pulau ini tidak berkembang seperti yang diharapkan. Pulau ini tidak seglamor Manhattan bahkan jauh tertinggal.
Selain menjadi saksi bisu pembantaian dan penguasaan kolonial Belanda, di sini juga menjadi tempat pengasingan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir. Kedua tokoh tersebut diasingkan pada waktu bersamaan yakni 11 Februari 1936.
Kendati menjadi tahanan politik Belanda, dengan semangat cinta tanah air, kedua tokoh mendirikan sekolah sore yang mengajari anak-anak lokal untuk belajar bahasa Inggris dan aritmatika. Dari sekolah itu, lahirlah Des Alwi, seorang sejarawan dan diplomat dari Banda Neira.
Baca juga: Menyelami Keindahan Bawah Laut Banda Neira, Surga bagi Penyelam
Jejak Benteng Saksi Bisu Kolonialisme Belanda di Banda Neira
Dalam riwayat sejarah Nusantara, Banda Neira merupakan daerah tertua dan meninggalkan banyak tempat bersejarah. Bisa dikatakan, tingkat kolonialisme di kepulauan ini paling maksimal yang pernah dilakukan Belanda. Alasannya tak lain karena ingin menguasai hasil bumi di pulau yang daratannya tidak lebih dari 60 kilometer persegi.
Demi keamanan, kepulauan ini dijaga ketat dan dibangun dua belas benteng buatan Belanda hingga Portugis. Benteng itu antara lain Benteng Nassau, Belgica, Hollandia, Revenge, Concordia, Cullenburg, De Post, Calombo, De Pot, De Morgenster, Lakui, dan Ourien.
Sayangnya di antara dua belas benteng tersebut, kini tersisa dua benteng saja yang masih terawat baik dan dijadikan sebagai destinasi wisata.
1. Benteng Belgica
Benteng ini awalnya dibangun oleh Portugis dan dilanjutkan Belanda. Posisi dari Benteng Belgica sangat strategis. Dengan posisi ini, di masa itu VOC mudah mengawasi kapal-kapal yang keluar masuk Kepulauan Banda. Namun sekarang, di benteng ini wisatawan bisa menikmati pemandangan ke segala penjuru pulau.
Bentuk bentung ini terbilang unik yakni persegi lima dan terletak di atas bukit. Konstruksinya terdiri dari dua lapis bangunan. Untuk memasuki benteng, wisatawan harus menaiki anak tangga. Di bagian tengah, ada ruang terbuka luas yang dikhususkan untuk tahanan.
Selain itu, di ruang ini juga ada dua buah sumur rahasia. Konon, sumur ini menghubungkan benteng Belgica dengan pelabuhan dan Benteng Nassau yang ada di tepi pantai.
2. Benteng Nassau
Awalnya benteng ini dibangun oleh bangsa Portugis tetapi hanya sampai di fondasi saja, lalu meninggalkan Banda karena penolakan masyarakat. Di tahun 1609, Belanda memilih bekas fondasi tersebut untuk membuat Benteng Nassau. Selain digunakan sebagai tempat pertahanan, benteng ini juga menjadi kantor administrasi Belanda di Pulau Banda.
Benteng Nassau berukuran lebih besar dibanding Benteng Belgica. Namun untuk kemegahan, Belgica masih lebih unggul walau jarak keduanya tidak begitu jauh. Bentuk benteng ini segi empat dengan gerbang utama menghadap pesisir selatan Pulau Banda. Di tiap sudut, ada bastion yang mirip anak panah. Di zamannya, benteng ini dikelilingi parit dengan lebar kurang lebih empat meter yang terhubung dengan kanal menuju laut.
Kedua benteng ini menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Banda melawan penjajah dan simbol keserakahan Belanda. Hingga kini, bangunan Benteng Nassau masih utuh seperti Belgica.
Warisan Budaya Banda Neira yang Masih Lestari
Selain Benteng Belgica dan Benteng Nassau yang masih berdiri sebagai saksi perjuangan, ada juga beberapa warisan budaya yang masih lestari hingga saat ini di Banda Neira.
1. Rumah Pengasingan Bung Hatta
Rumah pengasingan Bung Hatta terletak di samping penjara Banda Neira dan tidak jauh dari Benteng Belgica dan Nassau. Model rumah ini terdiri dari tiga bangunan yakni bangunan utama, bangunan samping, dan bangunan belakang.
Bangunan utamanya memiliki atap bertipe perisai sedangkan dua bangunan lainnya menggunakan tipe pelana. Untuk plafon menggunakan papan kayu sedangkan lantai bahannya terakota. Di bangunan utama ini dulu digunakan Bung Hatta untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti membaca buku, tidur, menulis, dan menemui tamu-tamu beliau.
Ruang kamar masih disimpan sejumlah furnitur peninggalan Bung Hatta seperti lemari, meja, dan tempat tidur. Di ruang kerja pun masih ada mesin ketik yang digunakannya untuk menumpahkan isi pikiran dalam sebuah tulisan. Di ruang tamu, berjejer foto-foto Bung Hatta dan masih ada furnitur seperti meja juga kursi.
2. Rumah Budaya Banda Neira
Bentuk bangunan ini masih tetap mempertahankan konsep lama. Di sini, wisatawan bisa belajar mengenai seluk-beluk sejarah kepulauan ini. Sejumlah barang bersejarah dari zaman kolonialisme masih ada di rumah ini untuk menjadi pengingat besarnya perjuangan rakyat untuk mempertahankan pulau ini.
Selain itu, di dalam rumah budaya ini ada lonceng bernama Spice Eaves yang di masa lampau digunakan sebagai pengingat para pekerja yaitu warga asli Indonesia untuk memulai atau berhenti bekerja.
3. Gereja Tua
Gereja ini sudah berusia berabad-abad. Di masa lampau, gempa bumi dahsyat meluluhlantakkan bangunan ini. Pembangunan pun dilakukan kembali pada tahun 1852 dan digunakan sebagai tempat ibadah warga Belanda.
Nuansa klasik masih tetap dipertahankan sehingga ketika mengunjunginya serasa seperti di masa lampau. Lokasi gereja ini ada di daerah taman yang letaknya dekat Benteng Nassau.
Baca juga: Pesona Alam Kepulauan Selayar: Jejak Wisata Alam Tersembunyi di Indonesia Timur
Banda Neira layak disebut sebagai surga tersembunyi di Indonesia timur. Mengunjungi pulau ini, wisatawan bisa belajar betapa Nusantara sangat kaya di masa lampau. Tak hanya itu saja, pesona alam pulau ini tidak kalah dengan pulau lainnya.