JNEWS – Di era modern dengan kecanggihan teknologi dan semua serbacepat, terkadang bagi sebagian orang merasa terjebak dengan rutinitas yang melelahkan dan penuh tekanan setiap hari. Gaya hidup slow living pun mencuat, seolah menjadi ‘oase’ bagi para pekerja agar bisa mengurangi segala tekanan, hidup lebih bermakna, dan kesehatan mental terjaga.
Harus diakui, kemajuan teknologi membuat pekerjaan bisa diselesaikan lebih cepat, bahkan komunikasi pun tidak mengalami hambatan seperti zaman dulu. Teknologi mampu membantu orang-orang yang menghadapi tuntutan kehidupan yang harus memiliki keuangan stabil agar bisa membiayai diri sendiri, keluarga inti bahkan saudara juga orang tua. Hal ini membuat orang-orang terpacu bekerja dua kali lipat sehingga menumbuhkan hustle culture dan fast living.
Memang benar, secara keuangan bisa tercapai apa yang diinginkan, tapi dari sisi psikologis, tekanan dan rutinitas yang serbacepat ternyata menciptakan sebuah ‘bom waktu’ yang bisa meledak kapan saja. Sebagian orang merasa begitu tertekan, stres kronis, emosi tidak stabil yang bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan jantung dari rutinitas serbacepat ini.
Hal inilah yang harus diantisipasi oleh para pekerja. Mau bekerja untuk memenuhi kebutuhan tentunya wajib dilakukan tetapi harus bisa menyeimbangkan dengan kesehatan. Konsep gaya hidup slow living pun muncul sebagai cara bagaimana menikmati hidup dengan santai tetapi tetap produktif.
Apa itu Slow Living?
Dikutip dari Slowng Living LDN, slow living adalah pola pikir yang memungkinkan seseorang bisa menciptakan gaya hidup lebih bermakna, dan sadar serta sejalan dengan apa yang dihargai dalam hidup. Ringkasnya, gaya hidup ini menekankan hidup lebih bermakna, lebih baik bukan lebih cepat.
Konsep ini sudah ada sejak lama tepatnya gerakan yang awalnya berkembang di Italia pada tahun 1980-an. Gerakan yang dinamakan slow food movement ditujukan sebagai bentuk penentangan terhadap budaya fast food dan industri makanan besar.
Dalam perkembangannya, gerakan ini pun menjadi landasan munculnya konsep slow living. Carl Honoré, seorang penulis dan pembicara populer, memperkenalkan gaya hidup ini ke publik di tahun 2004 dengan menerbitkan buku berjudul In Praise of Slowness.
Gaya hidup slow living merupakan kebalikan dari fast living dan juga hustle culture. Alih-alih berusaha melakukan segala sesuatu lebih cepat, gaya hidup ini membuat seseorang lebih fokus melakukan segala sesuatu. Gaya hidup ini lebih berkonsentrasi pada kualitas daripada kuantitas.
Dalam pola pikir slow living tidak berpijak pada kesibukan sama dengan kesuksesan. Gaya hidup ini mengajak semua orang untuk bisa lebih memaknai kehidupan sekarang yang tengah dijalani, merayakan kualitas, hidup secara sadar, dan penuh pertimbangan.
Walaupun gaya hidup ini menekankan untuk hidup lebih santai tetapi bukan berarti malas dan tidak produktif. Justru, orang-orang yang menerapkan gaya hidup ini lebih tekun dan fokus karena mereka lebih mencurahkan perhatian pada apa yang dikerjakan agar bisa mendapatkan hasil yang berkualitas.
Slow living akan membuat seseorang bisa berkonsentrasi terhadap diri sendiri, menghargai proses serta apa yang dimilikinya saat ini. Kesadaran diri ini membuat mereka lebih mengutamakan proses, tidak tergesa, tidak asal-asalan untuk mencapai tujuan.
Baca juga: Mindfulness: Pengertian dan Cara-Cara Menerapkannya di Hidup Sehari-hari
Manfaat Slow Living bagi Kehidupan
1. Hidup Menjadi Lebih Bermakna
Menerapkan gaya hidup ini bukan berarti malas-malasan di rumah maupun tempat kerja tetapi lebih menekankan nilai penting dalam kehidupan. Seseorang bisa menemukan value dasar yang akan membuat kehidupannya lebih baik.
Tak hanya itu saja, seseorang bisa memilah maka yang harus dikerjakan lebih dulu dan mana yang bisa menunggu.
2. Menjaga Kesehatan Mental
Kesehatan mental harus dijaga dan dirawat. Melakukan slow living, bisa mengurangi beban stres dan tekanan akibat pekerjaan maupun kehidupan sosial. Pasalnya, menjalankannya membuat seseorang mampu menyingkirkan hal-hal yang berisiko membuat stres dan lebih memilih ke hidup berkualitas.
Contohnya, menyusun to do list harian, memberikan apresiasi terhadap pencapaian diri hingga mengatur pola makan. Hal-hal seperti ini terlihat sepele tetapi memiliki dampak besar mengurangi risiko stres.
3. Bonding dengan Keluarga Lebih Meningkat
Coba jujur dengan diri sendiri, pekerjaan yang banyak bahkan harus lembur, membuat hubungan dengan keluarga terasa jauh tidak?
Gaya hidup ini akan membantu seseorang bisa meluangkan waktu bersama keluarga dan diri sendiri. Ada ruang untuk bekerja dan keluarga. Hal ini bisa meningkatkan bonding keluarga, kualitas hidup pun lebih baik.
4. Menjadi Individu Lebih Baik
Menjadi individu lebih baik adalah salah satu manfaat menerapkan gaya hidup ini. Seseorang lebih menghargai dirinya, secara sadar dan penuh melakukan aktivitas yang memang diperlukan.
Gaya hidup ini bisa menumbuhkan self love yang sangat berpengaruh positif terhadap kesehatan mental seseorang. Ketika seseorang bisa menghargai dirinya, maka emosi akan lebih stabil, rasa percaya diri makin tumbuh hingga bisa menghindari stres.
Cara Melakukan Slow Living
1. Mulailah dari Hal-Hal Kecil
Melakukan slow living bisa dimulai dengan mengubah kebiasaan kecil. Misalnya, awali hari tanpa perlu tergesa-gesa, bisa siapkan perlengkapan untuk ke kantor dari malam. Atau makan dengan perlahan, nikmati suapan makanan tanpa perlu terdistraksi notifikasi yang muncul di ponsel.
2. Kurangi Overthinking dan Lebih Fokus ke Hal yang Bisa Dilakukan
Sebagian orang kadang mengkhawatirkan hal-hal di luar kendali mereka. Misalkan melakukan self diagnose ketika mengalami sakit, maupun memikirkan kehidupan orang lain. Hal ini akan mendatangkan kecemasan, stres, dan overthinking.
Coba untuk fokus ke hal-hal yang memang perlu dilakukan. Fokus ke diri sendiri dan hal yang bisa dikendalikan. Daripada memusingkan kehidupan orang, lebih baik bekerja menyelesaikan pekerjaan.
3. Memberikan Ruang untuk Diri Sendiri
Memberikan ruang untuk diri sendiri perlu untuk dilakukan. Seperti melakukan kembali hobi-hobi yang sudah lama ditinggalkan karena rutinitas harian. Istirahatkan pikiran dan tubuh dari kesibukan harian. Dengan demikian, bisa menghasilkan lebih banyak hormon endorfin, merasa lebih tenang dan bahagia.
4. Kurangi Sekrol Media Sosial dan Penggunaan Ponsel
Harus diakui, berada di ruang digital itu bikin ‘candu’. Satu jam saja kadang tidak cukup. Asyik membaca komen, ternyata sudah 2 jam di media sosial. Hal ini bisa membuat jadwal menjadi berantakan dan efek buruknya bisa membuat kesehatan mental terganggu.
Dalam menerapkan slow living, bisa dimulai dengan mengurangi penggunaan media sosial dan ponsel. Habiskan waktu lebih banyak dengan bercengkrama bersama keluarga, menggeluti kembali hobi, dan fokus bekerja. Lakukan secara bertahap dan rasakan apa efek positifnya.
5. Hindari Multitasking
Multitasking bisa membuat pekerjaan kelar cepat tetapi kadang tidak tepat. Daripada melakukan banyak tugas di satu waktu sekaligus, lebih baik membagi fokusnya dengan skala prioritas. Jadi, pikiran tidak terasa penuh, pekerjaan bisa selesai tepat waktu dan kualitasnya lebih baik.
Baca juga: Hygge: Seni Menikmati Kenyamanan dalam Kesederhanaan
Slow living membuat seseorang menjalani hidup lebih bermakna tanpa khawatir produktivitas menurun. Ciptakan kebahagiaan versi dirimu, perubahan tidak selalu drastis tapi mulailah dari langkah kecil.