JNEWS – Kota Surakarta, atau biasa dikenal dengan Solo, merupakan kota yang kental dengan budaya dan sejarah. Di kota ini ada dua ikon kebudayaan dan sejarah yang berasal dari pecahan Kerajaan Mataram Islam. Namun, masih banyak yang belum tahu beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran.
Baik Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran masih lestari hingga saat ini. Bahkan kedua ikon Kota Solo tersebut menjadi destinasi wisata budaya, sejarah, dan edukasi terbaik yang wajib dikunjungi.
Kedua tempat ini selalu memiliki agenda budaya setiap bulan. Jadi, masyarakat setempat dan wisatawan bisa mempelajari tentang tradisi, seni, dan budaya Jawa lebih dekat.
Menariknya, ada agenda budaya yang selalu dinantikan oleh banyak orang yakni kirab malam Satu Suro untuk memperingati datangnya Tahun Baru Jawa. Saat malam satu Suro, seluruh anggota keluarga, abdi dalem beserta pusaka-pusaka dari Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran akan mengadakan kirab keliling area setempat.
Ketahui Beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran
Keraton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran, sama-sama terletak di lokasi strategis pusat kota. Jadi, tidak sulit untuk menemukannya. Setiap hari selalu ramai dan puncaknya ada di akhir pekan.
Bagi wisatawan yang akan mengunjungi Pura Mangkunegaran, harga tiket masuknya sebesar Rp30.000 per orang dengan jam operasional mulai pukul 9 pagi sampai 3 sore. Sedangkan Keraton Surakarta, harga tiket masuknya Rp25.000 per orang (Rp10.000 untuk pemandu) dengan jam operasional 9 pagi sampai 3 sore.
Agar tidak salah kaprah terkait dua tempat ikonik budaya Kota Surakarta ini, berikut adalah beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran yang menarik untuk diketahui.
1. Latar Belakang Sejarah
Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran memiliki sejarah yang cukup panjang. Mulai dari pecahnya Kerajaan Mataram Islam, pergolakan di dalam internal keraton dan pergantian raja dari masa ke masa.
Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat
Keraton Surakarta Hadiningrat mulai dibangun sejak tahun 1743 dan diresmikan tepat pada tanggal 17 Februari 1745 atau 17 Suro 1670 (kalender Jawa). Keraton ini didirikan oleh Pakubuwono II yang merupakan pindahan dari keraton sebelumnya yang berlokasi di Kartasura. Perpindahan ini karena Keraton Kartasura hancur akibat Geger Pecinan pada 1743.
Setelah itu, pusat pemerintahan dipindahkan ke Desa Sala, atau yang kini dikenal dengan nama Kota Solo. Menurut catatan sejarah, Keraton Solo adalah pecahan dari Kerajaan Mataram Islam. Menurut Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) dan Kasultanan Ngayogyakarta (Keraton Yogyakarta).
Setelah perjanjian tersebut, Keraton Solo dipimpin oleh Sunan Pakubuwono III dan Keraton Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Kedua pemimpin keraton terbesar tersebut adalah kakak adik dan putra dari Sunan Amangkurat IV, penguasa Kerajaan Mataram Islam.
Sejarah Pura Mangkunegaran
Dikutip dari website resmi Pura Mangkunegaran, Mangkunegaran telah berdiri sejak tahun 1757, didirikan oleh Raden Mas Said, yang setelahnya dikenal sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenagoro I.
Pura Mangkunegaran didirikan setelah menandatangani Perjanjian Salatiga. Adapun perjanjian ini merupakan perjanjian politik yang bertujuan menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Salah satu isi perjanjian adalah membagi wilayah Mataram menjadi tiga kekuasaan yakni Hamengkubuwono I (Keraton Yogyakarta), Pakubuwono II (Keraton Surakarta) dan Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said (Pura Mangkunegaran).
Berdasarkan perjanjian itu, Raden Mas Said pun diakui sebagai pangeran merdeka dengan wilayah otonom berstatus kadipaten yang disebut Praja Mangkunegaran. Kemudian, Raden Mas Said diangkat menjadi pendiri sekaligus penguasa pertama Mangkunegaran, dengan gelar Mangkunegara I, dan berkedudukan di Pura Mangkunegaran.
Adapun pembangunan istana baik meliputi pendirian bangunan baru dan revitalisasi bangunan yang sudah ada terus dilakukan dari masa ke masa oleh penguasa Mangkunegaran berikutnya. Misalnya di tahun 1886, Mangkunegaran IV (1853-1881) melengkapi bangunan dengan menambah bangsal besi di sekeliling pendopo.
Penyempurnaan bangunan Pura Mangkunegaran hingga memperoleh bentuknya seperti sekarang ini dilakukan oleh Mangkunegara VII (1916-1944).
Baca juga: 10 Tips Hemat Liburan ke Solo untuk Backpacker
2. Status Pemerintahan dan Gelar Penguasa
Beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran berikutnya adalah Keraton Surakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan atau kasunanan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar sunan. Saat ini, Keraton Solo memiliki raja yang disebut Sri Susuhunan Pakubuwana XIII yang bertakhta sejak tahun 2004.
Sementara, Pura Mangkunegaran adalah kadipaten yang berada di bawah pemerintahan Keraton Solo. Pengangkatan dari pemimpin Pura Mangkunegaran yang bergelar Pangeran Adipati Arya, harus persetujuan dari Keraton Solo. Sekarang ini Pura Mangkunegaran dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkoenagoro X, Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwa.
Di masa pemerintahan Mangkunegaran VIII, beliau menyatakan gabung ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terjadinya revolusi sosial di Solo pada tahun 1945—1946, menyebabkan Pura Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya. Kendati demikian, Pura Mangkunegaran tetap memegang komitmennya untuk menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya.
Sejak pengakuan de facto pada 16 Juni 1956, Pemerintah Kota Solo memiliki kewenangan mengatur daerahnya sendiri. Oleh karena itu, Keraton Kasunanan Solo dan Pura Mangkunegaran tidak lagi memiliki kekuasaan dalam pemerintahan. Kini, keberadaan keduanya menjadi cagar budaya yang dilestarikan sekaligus wisata sejarah di Kota Solo.
3. Arsitektur Bangunan
Di awal pembangunan, Keraton Surakarta dibuat bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruangnya agar tetap sama. Kemudian beberapa tahun berikutnya, dilakukan restorasi besar-besaran wilayah keraton. Ada pengaruh dari arsitektur Eropa yang melekat saat restorasi. Hal ini bisa dilihat dengan nuansa putih biru yang menghiasi beberapa areanya dengan arsitektur gaya campuran Jawa-Eropa.
Dalam pembangunannya, khusus konstruksi bangunan menggunakan bahan kayu jati yang diperoleh dari Alas Kethu dekat Kota Wonogiri. Adapun setiap tempat dan bangunannya memiliki nama serta fungsi masing-masing. Penamaan bangunan di keraton memiliki makna filosofis agar bisa belajar mengenal kawula dan Gusti-nya (mengenal pribadi diri dan Tuhannya).
Sedangkan arsitektur bangunan Pura Mangkunegaran mencerminkan perpaduan harmonis antara gaya tradisional Jawa dan pengaruh kolonial Belanda. Salah satu bagian arsitektur bangunan yang paling menarik adalah Pendopo Ageng. Ini adalah aula terbuka yang besar, ditopang dengan pilar-pilar megah dan ukiran kayu yang cukup rumit. Beberapa elemen di pendopo ini ada bergaya Eropa.
Arsitektur Pura Mangkunegaran mencerminkan perpaduan yang harmonis antara gaya tradisional Jawa dan Empire, sebuah gaya arsitektur yang berasal Perancis berkembang antara abad ke-18 hingga 19.
Untuk tata letak bangunan Pura Mangkunegaran cenderung lebih kecil dibandingkan dengan Keraton Solo. Bangunan yang terdapat pada kompleks Pura Mangkunegaran, yakni Pendopo Ageng, Pringgitan, dan Dalem Ageng.
4. Alun-Alun dan Taman
Pura Mangkunegaran tidak diperkenankan memiliki alun-alun laiknya yang dimiliki Keraton Surakarta Hadiningrat. Inilah yang menandakan beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran. Adapun alun-alun Keraton Solo terbagi atas dua yakni Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan.
Kendati tidak memiliki alun-alun, Pura Mangkunegaran memiliki satu taman yang indah yaitu Taman Pracima Tuin.
Pracima Tuin selesai direvitalisasi di tahun 2023 dan dibuka untuk umum. Bangunan ini sangat kental perpaduan budaya Jawa dan sentuhan Eropa. Hal ini bisa dilihat dari desain geometris, ukiran, tata ruang tradisional Jawa, dinding bangunan dikelilingi kaca hingga kursi dan meja yang terbuat dari kayu dengan gaya Eropa.
5. Gelaran Acara
Setiap tahun Keraton Surakarta rutin mengadakan berbagai acara kebudayaan. Salah satu yang khas dan rutin diadakan adalah Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Selain itu ada juga sekaten yang dilaksanakan selama tujuh hari.
Sedangkan Puro Mangkunegaran memiliki agenda budaya tersendiri seperti peringatan naik tahta, penobatan penguasa Praja Mangkunegaran, seminar kebudayaan, ruwahan hingga acara entertainment seperti Mangkunegaran Jazz Festival, Laras Hati Mangkunegaran, festival UMKM, dan lain-lain.
Baca juga: Batik Solo: Sejarah dan Tempat Terbaik untuk Membelinya
Beda Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran di atas bisa menambah pengetahuan terkait sejarah, budaya hingga gaya arsitekturnya. Peran kedua bangunan bersejarah sekarang ini menjadi pilar pelestari dan pengembang kebudayaan Jawa. Selain itu, baik Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran menjadi destinasi wisata sejarah dan budaya terbaik yang dimiliki Kota Surakarta.