Blind Kopi Gayo: Dari Tuna Netra, Oleh Tuna Netra, dan Untuk Tuna Netra

Oleh Lutfhie Febrianto, Jurnalis Liputan6.com*

Sikdam Hasim (32), pemilik usaha Blind Kopi Gayo. SIkdam sempat frustasi karena kecelakaan yang mengakibatkan penglihatannya hilang. (Liputan6.com/Lutfhie Febrianto)

Deretan bungkus Blind Kopi Gayo terpajang di meja ruang tamu sang pemilik, Sikdam Hasim (32). Baginya, Blind Kopi Gayo bukanlah kopi biasa melainkan jalan yang diberikan Tuhan untuk bangkit.

Sikdam adalah seorang penyandang tuna netra. Ia kehilangan pengelihatannya dalam sebuah kecelakaan mobil pada 2010, di saat umurnya masih 22 tahun. Pria Aceh yang lahir di Tapanuli Selatan itu pun mengaku sempat ingin bunuh diri.

Sikdam tak kuat menahan omongan miring orang-orang di sekitar tentang kondisi fisiknya. Selain itu, rencana yang telah ia susun berantakan karena kehilangan penglihatan.

Sejumlah beasiswa yang telah ia dapatkan pun melayang pergi. “Waktu itu saya sangat terpuruk. Sekitar sembilan atau 12 bulan, timbul keinginan mau bunuh diri. Saya tidak kuat lagi,” ujar Sikdam saat ditemui di rumahnya di Depok, Jawa Barat.

Namun pada akhirnya Sikdam sadar, ia sendirilah yang memegang kendali atas hidupnya. Ia enggan menyerah kepada nasib. “Ini kan tentang saya. Ini hidup saya bukan hidup mereka,” kata peraih penghargaan International Award for Young People dari Pangeran Philip Duke of Edinburgh 2014 itu.

Perlahan, Sidak pun mulai menata kehidupannya kembali.

Hingga pada April 2014, Sikdam berinisiatif membuka usaha Blind Kopi Gayo. Usaha itu dipilih Sikdam lantaran melihat potensi tempat ayah dan ibunya berasal yakni Aceh. “Kopi ini berasal dari petani tuna netra di Aceh di kabupaten Bener Meriah. Awal mulanya masih jual tanpa nama, hanya plastik kiloan,” kata Sikdam.

Sejak memulai Blind Kopi Gayo, Sikdam tak ingin menjadikannya sekadar bisnis belaka. Ia ingin pula mengikutsertakan para penyandang disabilitas di dalamnya.

“Ini kan usaha kopi dari tuna netra, oleh tuna netra, dan untuk tuna netra. Dari tuna netra artinya kopinya berasal dari petani tuna netra. Oleh tuna netra kan ya saya tuna netra. Hasilnya juga pasti untuk tuna netra,” kata Sikdam, yang pernah menjadi pembicara di Konferensi Pemuda Penyandang Disabilitas di Kenya 2013 silam.

Dalam perjalanannya, Sikdam tak hanya mengajak sesama penyandang tuna netra. Untuk mendesain logo misalnya, ia mengajak para penyandang tuna rungu. Sementara, para penyandang tuna grahita ia ajak untuk membungkus kopi.

“Alhamdulillah, sebelum pandemi saya bisa mempekerjakan mungkin lebih dari 10 penyandang disabilitas,”

Jalan Memutar
Produk Blind Kopi Gayo yang dipasarkan Sikdam Hasim (32). Produksinya melibatkan petani tuna netra dan penyandang disabilitas. (Liputan6.com/Lufthie Febrianto)

Untuk memasarkan Blind Kopi Gayo, Sikdam mengambil ‘jalan memutar’. Ya, para ekspatriat lah yang justru pertama-tama menjadi pelanggannya. Itu setelah Sikdam aktif mengikuti bazar-bazar yang diselenggarakan perkumpulan ekspatriat dan beberapa kementerian.

Menurut Sikdam, para ekspatriat itu sangat apresiatif terhadap Blind Kopi Gayo. “Mereka tahu kualitas kopi gayo yang asli seperti apa, sebab Blind Kopi Gayo benar-benar kopi murni.  Kalau yang lain kan mungkin suka dicampur beras atau jagung,” ujar Sikdam.

Baca juga: Asa Pemilik Rengginang Kidal Meraih Mimpi dengan Sebelah Tangan

Sikdam menjelaskan, dalam menjaga kualitasnya, ia selalu bekerjasama dengan petani yang sama. Petani itu, kata Sikdam, adalah tetangga sekaligus temannya di Aceh. “Dia selalu kirim kopi yang terbaik dari awal sampai sekarang,” katanya menambahkan.

Lebih lanjut Sikdam menjamin keaslian rasa Blind Kopi Gayo miliknya. Ia mengatakan, Blind Kopi Gayo diolah dengan proses tradisional antara lain dipanggang (roasting) bukan dengan mesin melainkan kayu bakar. Hal itu berdampak kepada rasa dan keawetan Blind Kopi Gayo.

“Rasanya tidak asam di lambung dan awet bisa delapan bulan. Meskipun, dia tidak terlalu wangi,”

Soal omset, Sikdam mengaku bisa mengantongi Rp 5-10 juta per bulan. Ia memasarkan per bungkus Blind Kopi Gayo dengan harga Rp 45 ribu. Sebanyak Rp 10 ribu ia donasikan untuk para penyandang disabilitas.

“Kita membeli kopi kan sekaligus berdonasi. Dari Rp 45 ribu, Rp 10 ribu untuk para penyandang disabilitas,”

Karena kualitasnya, Blind Kopi Gayo menjadi buruan para pecinta kopi. Sikdam mengatakan, ia memiliki beberapa pembeli loyal yang telah menjadi langganannya sejak awal. Mereka biasa membeli Blind Kopi Gayo mulai dari lima hingga 20 bungkus. “Alhamdulillah, saya bersukur sekali ada mereka,” ujar pria yang pernah mengajar Bahasa Inggris di SMA Adria Pratama Mulya, Tangerang.

Exit mobile version